One Day

32 4 0
                                    

"Satu hari, kau akan tahu betapa berartinya hidupmu. Merasa berterima kasih pada waktu terberat yang sempat membuatmu terluka."

~•~

Nata ingat kali terakhir dia datang ke tempat ini, tempat yang terasa begitu nyaman, hangat di kala musim dingin melanda, dan juga harum. Saat itu dia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang akan terjadi, mata seumpama bulan sabit miliknya menatap ke arah kedua orang dewasa yang tersenyum manis padanya. Makanan akan selalu terhidang di atas meja, tak akan ada teriakan yang membuat Nata merasa ketakutan, atau bahkan jatuh sakit keesokan harinya.

Hari ini, setelah sekian lama, kaki itu kembali menginjak lantai yang sama seperti dia waktu kecil dulu. Tapi sekarang, bau harum bunga levender sudah berganti dengan harum dari minyak bayi yang menenangkan. Ah, kenapa bau bayi selalu harum begini? Nata masuk dengan jantung yang berdebar tak karuan, kepalanya mendadak pening tatkala melihat seorang perempuan tengah menikmati makanan ringan di atas meja. Perempuan itu, seseorang yang sama dengan yang dulu sempat membelanya.

"Oh, Nata?" Ujarnya terdengar tak yakin, bola matanya membola dan tubuhnya langsung berdiri.

Langkah itu berhenti, sementara mata pemuda itu nampak bergetar. Ada rasa takut yang membuat tubuhnya jadi stagnan seperti sekarang, sementara Mentari yang tadi berjalan di hadapannya menoleh dengan kerutan pada keningnya. Menyadari bahwa Nata merasa tak nyaman, perempuan itu lantas mengulas senyum dengan tangan yang menggengam erat tangan Nata yang terasa dingin dan juga bergetar, serta berkeringat.

"Ibu, apa baby sudah bangun?"

Lani tersentak, lalu berkedip dan sejenak berdehem. Kepalanya kemudian mengangguk, memaksa sebuah senyuman yang lebih mirip seperti pisau untuk menghancurkan hati Nata yang sudah hancur. Kenangan itu mendadak kembali membuatnya terenyuh, belum lagi tentang kejadian di rumah sakit sewaktu Mentari bersalin. Rasanya canggung, bingung sendiri ingin mengatakan apa. Nata merasa terlalu malu untuk kembali berhadapan dengan perempuan itu, sekalipun pada akhirnya dia mencoba menarik sudut bibirnya.

"Baby belum bangun," jawabnya setelah beberapa menit terpaku menatap Nata.

Bukan, Lani hanya merasa heran dengan kedekatan kedua orang ini. Apa yang dia dengar di rumah sakit ternyata tidak salah, kalimat pertama yang Mentari ucapkan ternyata bukanlah sebuah kalimat mengigau dari pasien yang baru saja terbangun dari koma. Mentari dan Nata kembali disatukan, entah dengan bantuan semesta atau memang karena mereka memang memiliki kisah yang belum selesai. Lani hanya menebak, sekalipun ada sebagian dari dirinya yang tak terlalu yakin dengan tindakan yang Mentari lakukan.

Lani pikir, Mentari akan lupa dengan sosok ini. Semua kenangannya sudah terkubur begitu dalam, tak ada yang bisa membuat Mentari mengingat tentang masa lalu bahkan kenangan manis sekalipun. Hanya saja, apa yang ada di hadapannya sekarang membuktikan bahwa keduanya tak bisa dipisahkan dengan alasan apapun. Apa cinta mereka sekuat itu? Dia tak tahu, tak ada yang tahu--selain masa depan yang akan menyambut mereka. Entah itu dengan senyum bahagia, atau dengan sebuah tangis penuh luka.

Tangan yang digenggam kuat itu ditarik untuk dibawa menaiki tangga, sementara kepalanya menunduk dalam. Lani terduduk dengan pertanyaan yang belum sempat dia lontarkan, sementara keterkejutan sudah lebih dulu memakan habis kesadarannya; apa kalian menjalin hubungan?

Pintu berbahan kayu yang dicat dengan warna putih tulang itu kini terbuka, menampakkan sebuah ruangan berdinding putih dengan furniture yang beragam warna itu. Sebuah kondisi yang teramat berbeda dengan miliknya, membuat Nata merasa malu sendiri. Kalau kamarnya, sudah berantakan, bau apek, berdebu, tidak pernah dimasuki cahaya matahari juga. Sementara ruangan ini berbau harum, belum lagi perlengkapannya yang rapi.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang