Someone

40 6 0
                                    

"Aneh rasanya ketika aku melihat kau bersama dengannya, tertawa seolah kau begitu bahagia. Hingga satu pertanyaan muncul di dalam kepala; bolehkah aku menggantikan posisinya?"

~•~

Sepulang dari klinik, Nata singgah sebentar ke minimarket. Rencananya ingin menikmati makan malam dengan satu cup mie instan, juga satu botol soda rasa lime kesukaannya. Tapi rencana itu menguap begitu saja, bahkan mie yang tadi dia seduh sudah mengembang. Kuahnya bahkan sudah tidak ada lagi, dan Nata yakin kalau rasanya pasti tidak enak lagi. Sebab ya, entah kenapa tiba-tiba dia ada di sana berdiri tepat di depan kedua manik yang pernah membuatnya terperangkap dalam harapan semu.

Hening masih mengisi semenjak dua puluh menit mereka menjejalkan pantat ke permukaan kursi yang disediakan pihak minimarket. Saling tatap, dengan air muka yang tak bisa di baca. Seolah sedang memikirkan sesuatu, seolah sedang menyembunyikan sesuatu, dan seolah sedang menyimpan sesuatu. Tak ada satupun kalimat yang terucap, bahkan kalimat basa-basi layaknya teman lama yang sudah lama tak bertemu. Hanya saja, kalimat yang tadi diucapkan oleh orang ini masih jelas terngiang di kepalanya.

Apa kabar? Bisa bicara sebentar. Katanya.

"Ada cerita menarik yang ingin dibagikan padaku?" tanyanya, tersenyum ramah dengan kedua kaki bersilang.

Masih sama, pikir Nata. Masih tetap terlihat begitu anggun dengan dress motif bunga-bunga di balik coat abu-abu yang dia pakai, pun rambut yang dulunya panjang nun hitam menjuntai kini sudah dipangkas hingga sebahu. Tatapannya pun masih sama, tetap bisa mengunci tatap Nata yang mencoba begitu keras untuk memutus kontak mata. Entahlah. Gadis ini seolah memiliki ilmu magis untuk menarik dirinya, untuk membuat pemuda itu terus memusatkan perhatian ke arahnya.

Berdehem, lantas bergerak guna memperbaiki posisi duduknya. "Aku tidak yakin kalau kau jauh-jauh datang ke sini untuk bertanya sesuatu hal yang tidak menguntungkanmu," mengabaikan pertanyaan yang tadi menguar dari sang gadis, Nata malah mengatakan kalimat sarkas dengan intonasi suara yang terdengar bergetar. "Kau bukan orang seperti itu,"

Sarah, namanya. Gadis yang begitu terkenal dengan wajahnya, proporsi tubuhnya, juga kecerdikannya memanfaatkan sekitar. Primadona sekolah. Teman satu kelas. Seseorang yang begitu licik, menjebak Nata untuk menuruti apa yang dia mau untuk sekedar memanfaatkan kondisi pemuda itu. Nata itu pintar sekali menggambar, di sekolah dulu dia terkenal menjadi murid yang serba bisa. Begitu handal. Berotak cerdas. Kebanggaan sekolah. Meski tidak dengan sikapnya yang kelewat dingin, sulit berteman, antisosial, dan juga penyendiri.

Gadis itu memanfaatkan semua yang ada pada Nata, berlagak menjadi seorang gadis baik hati, dan pengertian. Nata yang tidak tahu apa-apa terjebak, merasakan kehangatan semu yang disuguhkan untuknya, hingga harapan itu mulai datang dengan jantung yang berdetak semakin tak karuan ketika berada di dekat gadis itu. Ya, cerita klise antara anak cupu dengan seorang the most wanted sekolah. Hanya saja tidak, mereka tidak menjalin hubungan seistimewa itu. Hanya berteman, tapi mesra. Nata saat itu hanyalah seorang pemuda yang tidak tahu-menahu, lantas dihadapkan oleh seseorang yang menjanjikan kebahagiaan untuknya.

Hingga semua muslihat itu terbongkar, bertepatan ketika selesainya acara ulang tahun sekolah. Saat itu Nata hanya ingin mengobrol berdua dengan Sarah, barangkali menceritakan semua keluh kesahnya, juga rasa lelahnya. Tapi sayang, Nata mendadak menyesal dengan semua tingkah lakunya yang begitu bodoh. Gampang sekali di depan seorang gadis. Tertunduk lesu dengan kedua telapak tangan yang teremat erat, juga gigi bergemelatuk, dan telinga yang berdengung.

"Kenapa? Mau marah padaku? Memukulku? Silahkan! Kau juga tidak berguna lagi untukku, dasar sialan!"

Dan lagi, Nata kembali menjadi seorang manusia menyedihkan yang ditinggalkan oleh seseorang yang dia anggap sumber kebahagiaan. Rasanya ingin marah, menangis untuk menumpahkan semua rasa kesalnya. Hanya saja Nata tahu, bahwa apa yang dia lakukan tidak akan mengubah keadaan. Dia dipermainkan, lalu dipermainkan. Begitulah faktanya. Tapi melihatnya kembali lagi ke sini, setelah sekian lama tak bertemu. Bahkan Nata yakin, bahwa rumah gadis ini belum pindah. Puluhan kilometer jaraknya dari rumah Nata, kalau pemuda itu tidak salah ingat.

Gadis itu lantas tertawa pelan, meraih kopi kemasan hangat yang ada di depannya, lantas menyeruputnya pelan. "Kau masih mengenalku dengan baik ternyata," katanya setelah meloloskan satu tegukan cairan pahit itu ke dalam tenggorokan, "aku hanya ingin mengatakan sesuatu sebelum terlambat,"

Nata mencelos, sesuatu yang keras seolah baru saja menghantam, dan menghunus jantungnya. Terdiam dengan kedua manik bergetar, pun sorot mata tajam yang dia perlihatkan pada Sarah. Gadis itu mendengus, menunduk sebentar dengan tangan yang merapikan rambut di balik telinga. Dia sadar bahwa pemuda di depannya sedang memperlihatkan tatapan tak suka, meski sejak tadi memang itu yang dia rasakan.

"Aku akan kuliah ke luar negeri," katanya, membuat Nata sukses menghembuskan napas panjang.

"Kau belum kuliah?" mencoba memberanikan diri untuk bertanya, Nata sukses membuat gadis itu tertawa pelan, lagi.

Menggeleng, lantas menjawab dengan intonasi suara dibuat-buat. "Aku sepertinya dapat kutukan darimu," tapi Nata tetap saja tak bereaksi apa-apa, sementara Sarah yang melihat langsung buru-buru membenarkan ucapannya. "Aku gagal ujian tahun lalu, dan baru lulus tahun ini. Tapi serius, semenjak kejadian itu hidupku penuh dengan masalah. Aku pikir itu karma yang aku dapatkan karena mempermainkanmu,"

Bergeming dengan tatapan lembut yang terarah pada Sarah, pemuda itu masih tetap mempertahankan ekspresi wajahnya yang dingin. "Aku minta maaf atas semuanya," lanjut gadis itu.

Tak menjawab, hanya memilih bergeming untuk kesekian kalinya. Nata bahkan baru sadar bahwa gadis ini mencoba menahan air matanya sejak tadi. Hingga gadis itu mengalihkan pandangannya, lalu bangkit setelah menyeka air mata yang tadi terjun bebas dari kelopak matanya. Tersenyum, lalu membentangkan tangannya. Nata lantas kebingungan, tidak paham atas apa yang akan dia lakukan dengan gadis ini. Tapi semua pertanyaan itu menguar begitu saja ketika Sarah mendekat, suara hentakan sepatu bertumit tingginya bahkan terdengar jelas memasuki rungu.

"Pelukan perpisahan," ujarnya lagi, "semoga beruntung," lalu pelukan di lepas, dengan satu senyum sendu yang terpampang pada wajah memerah menahan tangisan milik Sarah.

Gadis itu lantas berbalik, melangkahkan kakinya meninggalkan Nata dengan sejuta pertanyaan juga rasa bersalah. Ketika gadis itu sudah menyentuh kenop pintu mobil berwarna merah menyala miliknya yang terparkir di parkiran minimarket, Nata mengejar dengan jantung yang kembali bertalu tak beraturan.

"Sarah," panggilnya yang sukses membuat sang empu nama berbalik, "kau juga, semoga beruntung. Sampa jumpa," lalu di balas senyuman manis dari wajah cantik milik Sarah.

Cukup lama Nata berdiam diri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, juga kedua manik yang terpaku pada jalanan yang mana tadi membawa Sarah pergi dengan mobilnya. Hingga menit berlalu, pemuda itu melangkahkan kakinya dengan perasaan berkecamuk. Setelah kata maaf itu, dia pergi. Baru langkah kelima, Nata kembali menghentikan kakinya ketika menemukan seseorang berdiri di depannya dengan wajah cemberut.

"Hi, Tari. Kau sedang ap...."

Pertanyaan yang ingin diucapkan terhenti ketika gadis itu berbalik, meninggalkannya dengan perasaan aneh. Nata bingung. Apalagi dengan tingkah Mentari yang menghentakkan kakinya. Tapi, itu menggemaskan.

Dia kenapa?

To Be Continued

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang