Absurd

25 5 0
                                    

"Ada perasaan abu-abu yang tak dapat aku pecahkan, terlalu enggan keluar dari mulut sementara kepala memikirkan begitu banyak spekulasi yang membuat mual."

~•~

Ada sesuatu yang aneh menyangkut pemuda yang tengah berdiri di depannya, sontak membuat Mentari terdiam dengan kening berkerut yang terlihat jelas. Bukan hanya perihal kalimat yang baru saja dia ucapkan, tapi juga perhal kedua manik yang menatap dengan binar penuh harap. Rasanya perut permpuan itu baru saja dikocok, hingga membuat mual. Kepalanya mendadak pening, dengan kaki bergetar yang entah kenapa membuatnya jadi stagnan begitu.

Wajahnya tampan, Mentari akui itu. Kedua manik bulat yang berbinar, yang perempuan itu yakini mampu membuat terpesona setiap gadis yang bertatapan dengannya. Tubuh tinggi dengan urat yang muncul di balik hoodie yang dia pakai, jangan lupakan dengan rambut hitam legamnya yang tertata begitu rapi. Sepatu mengkilap, pakaian santai yang membuat pemuda itu terlihat dua kali lebih mempesona. Jujur, Mentari terpesona hanya saja rasa itu menguap begitu saja setelah dia merasa kalau orang ini terlihat menyimpan begitu banyak rahasia di balik bibir bergetarnya.

Sementara Nata hanya bergeming, tak kalah bingung seperti Mentari saat ini. Hanya saja ya, Nata melihat ada sesuatu yang tak mampu dia jabarkan dari tatapan yang terpancar pada pemuda luar biasa tampan di depannya ini. Seolah radar milik Nata yang telah lama tak aktif, mendadak kembali berfungsi hingga membuat tangannya langsung meraih bahu Mentari. Yang sontak membuat Mentari, maupun pemuda itu membelalakan matanya.

"Ada apa mencari Tari?" tanya Nata mencoba berani.

Pemuda yang masih belum diketahui identitasnya itu mencebikkan bibir, lantas mendengus. "Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya,"

Mentari yang merasa tak nyaman, langsung menjauhkan tangan Nata yang ada di bahunya. Nata yang merasa kalah, hanya bisa bersembunyi dibalik wajah kagetnya. "Maaf, aku tidak kenal denganmu. Jadi...."

Belum selesai berbicara, pemuda itu lebih dulu menyela. "Aku Leo," katanya, "aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu, berdua. Aku mohon,"

Meski suaranya terdengar memelas dengan kalimat permohonan, tapi Mentari masih merasa tidak nyaman sebab pemuda itu terlihat begitu menakutkan dari tatapannya. Benar-benar menunjukkan kekuasaannya, otoriter pada kondisi yang terasa begitu tak nyaman. Lantas, perempuan itu hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Meraih telunjuk Nata untuk dia genggam, lalu menyembunyikan sebagian dari tubuhnya di balik tubuh milik Nata. Kalau dibandingkan dengan tubuh pemuda yang mengaku bernama Leo ini, Nata bukanlah saingannya.

"Tidak," ujar Mentari dengan intonasi suara bergetarnya, "tidak mau,"

"Tari, aku mohon. Aku ha...."

"Dia tidak mau berbicara denganmu, Tuan. Jangan memaksa," sela Nata lagi.

Pemuda itu lantas menoleh ke arah Nata, sebelum akhirnya berujar kelewat dingin yang sukses membuat genggaman pada telunjuk itu lepas. "Aku ingin membicarakan tentang kami, Tuan. Jadi aku mohon untuk memberikan aku, dan Tari waktu berdua."

~•~

Musim gugur memang cantik, ada begitu banyak dedaunan yang berjatuhan ke atas tanah. Bahkan, ada yang berterbangan hingga membuat petugas kebersihan menggerutu. Angin kencang, terkadang tiba-tiba saja malamnya turun hujan. Cuaca mulai dingin sebab sebentar lagi musim dingin akan datang, para petani sudah selesai panen. Menyimpan beberapa bahan makanan di gudang untuk bertahan hidup di musim dingin yang panjang, sebab di musim dingin nanti harga-harga bahan pokok pasti akan naik.

Hanya saja ya, sekalipun angin bertiup kencang hingga membuat lekuk tubuh mereka yang ada di luaran sana terlihat, Mentari malah merasa gerah. Mungkin bawaan bayi yang ada di dalam kandungan, tapi dia tidak terlalu yakin sebab dia tidak pernah merasakan kondisi seperti ini. Atau barangkali suhu tubuhnya melonjak naik karena suhu ruangan di dalam cafe yang di atur terlalu tinggi, tidak seperti biasa dia berada di rumah. Hanya saja, kalau melihat orang-orang yang ada di sini, Mentari mendadak merasa bahwa yang salah ada pada dirinya.

Sudah sekitar tiga puluh menit semenjak mereka sampai, duduk di salah satu kursi di pojokan cafe, memesan minuman, hingga pesanan mereka sampai. Sudah sejauh itu, tapi tak ada juga satupun konversasi yang terjadi di antara mereka. Hanya diam, membisu dengan manik Leo yang terus tertuju ke arah Mentari. Sialnya, mungkin hal itulah yang membuat Mentari jadi gerah begini. Jiwa mudanya bergejolak kelewat banyak, hingga membuat kedua pipinya memerah. Dan sumpah demi apapun yang aneh di dunia ini, Mentari ingin pulang saja ketimbang diam saja begini. Minuman hangat yang mereka pesan bahkan sudah dingin, sudah tak enak lagi untuk di minum.

"Dia," kalimat pertama yang keluar dari ceruk bibir tipis itu sukses membuat Mentari tersentak kaget, dan juga bingung sebab pemuda itu terlihat takut melanjutkan kalimatnya. "Dia... baik-baik saja, bukan?"

"Dia?" Mentari bertanya, memastikan dengan kerutan di kening sebab dia bingung. Hingga akhirnya perempuan itu mengerti setelah melihat arah gerak dari kedua iris sehitam jelaga itu, "oh, bayiku? Dia baik-baik saja,"

Leo mencelos, kalimat yang baru saja Mentari katakan mampu membuat hatinya tersentak sakit. "Syukurlah," terdengar seperti bisikkan, tapi kalimat itu tetap bisa Mentari dengar.

"Omong-omong, tadi kau mau membicarakan apa?" tanya Mentari akhirnya, lantas meraih cangkir teh hijau miliknya yang berada di atas meja sebelum akhirnya meneguk cairan manis dengan sedikit kecut yang tertinggal di ujung lidah.

"Tentang kita," jawab Leo singkat.

"Kita? Memangnya kita saling kenal, ya?"

Jujur, Mentari benar-benar tidak tahu makanya dia bertanya. Meski di telinga Leo malah terdengar seperti sarkas, dan sukses membuatnya meneguk ludah susah payah. Mentari yang menangkap raut wajah itu langsung gelagapan, lantas menggelengkan kepalanya begitu cepat. "Bukan, bukan begitu. Aku benar-benar bertanya," katanya, lantas menghela napas. "Maaf, ada sesuatu yang terjadi denganku. Makanya aku jadi lupa begini,"

Leo tertegun, bergeming setelah mendengar kalimat tadi. "A-apa maksudmu? Kau amnesia?"

Menggeleng, Mentari lantas menjawab. "Demensia lebih tepatnya,"

"Kenapa? Kenapa bisa begitu?"

Mengedikkan bahunya, Mentari kembali meneguk teh miliknya tadi sebelum menjawab. "Aku tidak tahu, yang aku tahu hanyalah terbangun di rumah sakit dengan memori yang menghilang satu persatu. Aku bahkan lupa kalau wanita yang ada di sampingku waktu itu adalah Ibu,"

Pemuda itu kembali terdiam, kedua tangan yang berada di atas paha langsung terkepal hingga membuat celana yang dia pakai terlihat kusut. "Jadi kau benar-benar lupa siapa aku?"

Mengangguk, perempuan itu lantas meneguk kembali cairan berwarna itu. Sementara Leo hanya diam, tangannya bergerak guna menggenggam gelas kopi miliknya yang tak tersentuh semenjak di pesan. Rasanya suasana kembali terasa tak nyaman, apalagi dengan diamnya Leo yang membuat Mentari kembali bertanya-tanya. Kalau sudah begini, rasanya Mentari tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya diam, sembari memperhatikan gerak-gerik dari Leo yang sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke luar guna melihat orang-orang yang tengah berlalu-lalang.

Sesuatu yang begitu tak nyaman lagi-lagi membuat Mentari merasakan degup anomali itu lagi, membuatnya merasa sesak. Bukan hanya tentang perasaan asing yang tak bernama, yang tak mampu dia jelaskan, tapi juga tentang ribuan pertanyaan yang sukses membuat Mentari pusing lagi. Hingga akhirnya, satu pertanyaan meluncur begitu saja dari ceruk bibir Leo yang lagi-lagi sukses membuat Mentari merasa ketakutan, juga merasa bingung.

"Kalau aku mengatakan bayi yang ada dalam kandunganmu itu adalah anakku, apakah kau akan percaya?"

To Be Continued

Kenalin, dia Leo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenalin, dia Leo. New character in this story 😬

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang