"Malam ini, senang rasanya ketika melihatmu terpejam begitu damai dengan kepala yang bersandar pada bahuku. Jadi, selamat tidur."
~•~
Setelah asyik bermain, menghabiskan waktu seharian berdua, akhirnya mereka pulang. Gadis itu masih tersenyum lebar, kedua iris yang menatap lekat pada deretan pertokoan yang sudah tutup di jam sembilan malam. Rasanya benar-benar berada di tempat asing, sebab Mentari ingat di kotanya dulu jam segini toko-toko masih banyak yang buka, dan orang-orang baru keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi sekarang, yang dia lihat jauh berbeda. Hanya beberapa dari orang-orang yang terlihat masih berlalu-lalang, anak-anak muda dengan kenalpot yang memekakkan telinga.
Nata diam-diam melirik lewat ekor mata, sesekali terkekeh saat Mentari meringis ketika anak-anak lewat dengan motor kenalpot memekakkan milik mereka. Rasanya seperti mimpi, tapi Nata pikir semuanya terlalu nyata untuk dianggap sebagai sebuah bunga tidur. Tubuh hangat yang mampu Nata peluk ketika berada di rumah hantu, tawa merdu yang menggema, senyum manis yang terlihat begitu indah, juga kedua manik yang berbinar seperti kelap-kelip bintang di langit gelap.
Kalau diingat-ingat, Nata sudah sangat lama tidak pergi ke pusat kota untuk sekedar makan mie pedas legendaris milik Bibi Lani. Entahlah, Nata hanya terlalu malas untuk sekedar beranjak dari rumah, dan terlalu enggan untuk kembali mengingat kenangan lama. Pemuda itu masih mengingat betul bagaimana bahagianya Mentari ketika mereka bisa kabur dengan beberapa lembar uang, pergi ke pusat kota, dan datang ke kedai bibi Lani untuk memesan setengah porsi mie pedas. Sangking seringnya, bibi Lani bahkan mengingat mereka berdua, pun mereka yang sering mendapatkan bonus mie dari wanita itu.
Terakhir kali Nata pergi ke sana setelah tamat SMA, itupun karna harus pergi ke rumah sakit. Sendirian, tanpa pendamping bahkan wali yang bisa menuntunnya. Di usia awal sembilan belas tahun sepertinya, pergi ke rumah sakit pertama kali untuk melakukan pemeriksaan, tidak tahu apa-apa. Ah, kalau diingat-ingat rasanya begitu menyesakkan. Tatapan orang-orang, kerutan penuh tanda tanya dari petugas di rumah sakit. Dan, senyuman penuh arti yang diberikan oleh dokter ketika selesai melakukan pemeriksaan.
Suara deru mesin tua dari bus yang kini mereka tumpangi menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan semenjak mereka menjatuhkan bokong pada bangku bus, sesekali saling lirik dengan ekor mata sebab masih merasakan kecanggungan yang entah kenapa membuat tubuh merasakan gelenyar aneh. Bukan, bukan. Kalau menggambarkan perasaan yang membuat beberapa bagian tubuh sensitif jadi bergetar, maka salah besar. Sebab yang tengah kedua orang itu rasakan, hanyalah perasaan yang kelewat membingungkan. Terlalu banyak. Membuat syaraf terasa tak berfungsi dengan benar.
"Apa di sini memang di atur jam malam?" Mentari menoleh, lantas bertanya. Suaranya lembut, membuat Nata yang tadi diam tersentak kaget.
Pemuda itu lantas mengangguk, lalu tersenyum. "Biasanya jam dua belas malam, polisi sudah berpatroli untuk menyuruh orang-orang pulang. Memangnya kenapa?"
Memilih untuk melirik ke arah jendela, gadis itu kemudian mendengus. "Aku benar-benar berada di tempat asing ternyata,"
Setelah mengatakan hal itu tadi, Mentari kembali diam. Hening, sunyi, dan hanya di isi deru mesin tua bus. Entah kenapa keadaan semacam ini lebih nyaman ketimbang konversasi yang membuat jantung berdebar tak karuan, sebab kepala yang terasa pusing memikirkan kalimat-kalimat selanjutnya yang harus diucapkan untuk membuka obrolan, atau bahkan untuk melanjutkan obrolan yang tadinya tertunda. Rasanya benar-benar asing, Nata bahkan awalnya bingung apakah ini nyata. Tapi setelah menyadari kondisi, dia benar-benar yakin kalau seseorang di depannya adalah orang asing.
Seperti bertemu teman lama, tapi tak ada satupun kenangan yang tersimpan di dalam kepala. Ada jutaan kejanggalan, perasaan aneh, tapi Nata tidak bisa mempertanyakan semua hal itu. Terlalu dini untuk membuat keadaan menjadi semakin canggung. Barangkali seperti itu. Jadi, memilih menyimpan semua pertanyaan dan mengubur dalam-dalam semua rasa penasaran, pemuda itu kembali menatap ke arah depan. Tatapannya kosong, sebab isi kepalanya dipenuhi tentang Mentari.
Dulu, Nata masih merekam kenangan itu sempurna di dalam kepalanya. Tentang Mentari yang menangis karena kehilangan gantungan tas berbentuk boneka kelinci berwarna merah muda, Nata sudah mencoba mencarinya bahkan bolak-balik ke toko bibi Lani tapi tidak juga menemukan benda itu. Terduduk di depan halte, bahkan membiarkan beberapa bus berlalu begitu saja. Nata bahkan sudah merasa takut, kalau-kalau ibu malah datang, kemudian memberikannya hukuman karena pulang terlambat. Hanya saja, membicarakan semua hal ith kepada Mentari bukanlah pilihan yang tepat.
Nata tidak mau Mentari menjauhinya karena ibu yang suka memukul, tidak mau Mentari malah merubah pikirannya karena menganggap Nata sebagai anak nakal seperti yang lain. Jadi, dia hanya diam saja sambil memperhatikan Mentari yang tertunduk lesu di tempatnya duduk. Hampir tiga puluh menit berlalu, kedua bocah itu akhirnya menoleh saat sebuah suara menggema. Nama Mentari di panggil, sontak membuat bocah perempuan itu berlari ke arah seorang pria dewasa dengan pakaian polisi.
'Kenapa Tari masih di sini, hm? Kenapa tidak pulang?' kata lelaki itu, Nata bahkan masih ingat wajah ramah penuh senyum yang memancarkan kasih sayang itu.
Tari yang sudah berada di dalam pelukan sang ayah lantas menggeleng, mengeratkan pelukannya di leher ayah lalu mengadu. 'Tari kehilangan gantungan tas kelinci yang ayah berikan waktu itu,' lantas suara isakan pelan terdengar, 'Tari dan Nata sudah mencarinya, tapi tidak juga ketemu. Maafkan Tari, ya, Ayah?'
Pria itu hanya merespon dengan tawa, benar-benar berbeda dari respon yang akan ibu berikan saat Nata mengadu kehilangan sesuatu. Bahkan, dia pernah merusak satu vas bunga yang ada di rumah karena mengejar anak kucing yang masuk lalu Nata mendapatkan pukulan dari ibu. Rasanya sakit, Nata bahkan hanya bisa menangis sambil meminta maaf berulang kali pada ibu tapi tidak juga diberikan ampun. Tapi sekarang, apa yang dia lihat benar-benar sukses membuatnya iri.
Nata iri, hanya dengan senyuman hangat yang pria itu berikan untuk Mentari.
'Tidak apa-apa, kok. Nanti Ayah belikan lagi,' lalu mengusap kedua pipi Tari yang sudah basah dengan air mata, 'ayo pulang. Ayah hantar kalian sampai ke rumah,' belum sempat berbalik untuk menuju mobil patroli yang terparkir di tepi jalan, pria itu menoleh ke arah Nata yang diam membeku sambil menatap sendu dengan kedua mata seperti bulan sabit miliknya. 'Ayo Nata, kita pulang.'
Tenggelam dalam khayalan adalah salah satu hobi yang membuat Nata hampir kehilangan separuh dari kesadarannya, pun akhirnya dia tersentak saat merasakan sesuatu jatuh pada bahunya. Menoleh, lalu tersenyum lebar ketika mendapati Mentari yang sudah tertidur dengan bahunya sebagai sandaran. Melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan, Nata lantas membatin; baru jam setengah sembilan malam. Barangkali, Mentari kelelahan setelah seharian bermain dengannya. Jadinya gadis ini cepat sekali terlelap, bahkan tidak sadar sedang berbaring di mana.
Menelisik wajah yang matanya terpejam erat itu, jemari Nata lantas bergerak menyentuh rambut yang menghalangi sebagian dari wajah manis milik Mentari. Menyampirkannya di balik daun telinga, lalu tersenyum dengan batin yang kembali bermonolog.
Selamat tidur, Mentari. Besok jangan lupa untuk terbit lagi, ya?
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
General Fiction[M] Semenjak kedatangan Mentari, Nata seolah menemukan kembali alasannya untuk menikmati hidup. Tapi sayangnya, kesempatan yang diberikan semesta untuknya hanya sebentar. Sebelum akhirnya, semesta membawanya pulang. Start : 21 Oktober 2019 Finish :...