The Memory

97 11 0
                                    

"Ada memori-memori usang yang kembali hadir, menguap bersama dengan senyum yang dia perlihatkan. Aku pikir, senyumnya nampak begitu asing."

🍁

Kota Pearl Garden hanyalah kota terpencil yang tertinggal, orang-orang asli kelahiran kota ini masih banyak yang tinggal untuk melanjutkan usaha keluarga. Meski ya, ada beberapa yang pergi untuk mengadu nasib ke kota yang lebih besar lagi. Kota ini terkenal akan penghasilan mutiara laut dan air tawarnya, cukup makmur untuk kota yang terlalu asing di telinga orang-orang. Ada lautan biru yang membentang luas, bukit-bukit yang nampak menjulang tinggi, pun rumah-rumah tradisional yang masih kokoh berdiri. Memang sih, sudah ada beberapa ruko berlantai di pusat kota. Tapi itu hanya sedikit, sisanya adalah gedung-gedung tua yang membuat kota ini jelas sekali nampak tertinggal dari kota-kota lainnya.

Barangkali Mentari tak usah banyak berekspektasi terlalu tinggi saat mendengar kata pusat kota, sebab yang dia lihat tak jauh berbeda dari lingkungannya tinggal tadi. Lima belas menit berkendara dengan bus tua, akhirnya mereka sampai di tempat yang tak jauh berbeda. Bangunan-bangunan tua, cat yang terkelupas, dinding berlumut, rumah makan sederhana, tapi tetap terlihat estetik dengan grafiti cantik di dinding gedung kosong itu. Nata yang memperhatikan reaksi dari Mentari langsung menjelaskan.

"Anak-anak muda di kota ini banyak yang pergi, sementara orang-orang tua fokus pada tambak mutiaranya. Jadi jangan aneh kalau kota ini nampak tua begini,"

Mentari yang mendengarkan lantas menganggukkan kepalanya, merasa sedikit tercengang sebab kota tempatnya tinggal tidak seperti ini. Ada begitu banyak gedung pencakar langit, mobil-mobil bermesin ganda yang memekakkan telinga, orang-orang berpakain modern dengan merk luar negeri yang harganya selangit, tempat hangout anak-anak muda yang fotoable, aspal hitam yang licin, pohon-pohon imitasi, lampu-lampu neon yang begitu terang ketika malam datang. Semuanya. Semuanya terlalu berbeda dengan tempat sekarang dia berpijak.

"Jadi, kita mau kemana?" tanya Mentari akhirnya, kedua manik senada dengan karamel itu menelisik sekeliling dengan lamat.

"Kedai Bibi Lani," jawab pemuda itu.

"Si penjual mie pedas?" mendengar pertanya yang terlontarkan tadi, Nata langsung menoleh dengan manik melebar. "Ah, kau yang mengatakannya padaku tadi."

Ya, Nata ingat kalau dia yang mengatakannya saat di taman tadi. Memilih untuk tak melanjutkan konversasi keduanya, Nata melanjutkan perjalanan hingga sekitar sepuluh menit setelah mereka turun dari bus, terlihat sebuah kedai dengan baleho tua yang besinya sudah berkarat. Mentari menoleh, sementara Nata tak menghiraukan dan langsung berjalan ke sana dengan langkah lebar. Setelah sampai, Nata memesan sementara Mentari sudah duduk di salah satu bangku.

"Apa tempat ini sudah lama berdiri?" tanya Mentari setelah Nata duduk.

Pemuda itu tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat dengan tangan yang telaten menuangkan air minum untuk mereka berdua. Setelahnya, dia menyerahkan salah satu gelas dan disahut ucapan terima kasih oleh Mentari. "Ya, sudah cukup lama. Meski Bibi Lani sudah meninggal, tapi rasa mie-nya tetap sama. Anaknya yang mewarisi,"

Mengangguk-angguk paham, lantas setelahnya obrolan kedua orang itu menemukan ujungnya. Lantas seorang pelayan datang, memberikan dua mangkok mie dengan warna merah menyala. Ketika hidung mencium baunya, liur langsung menetes antara reaksi lapar dan juga pedas. Nata diam-diam terkekeh melihat reaksi Mentari, sementara gadis itu langsung menyantapnya begitu saja.

"Bagaimana? Enak?" Nata bertanya guna mengetahui reaksi dari gadis itu, yang akhirnya di jawab dengan acungan kedua jempol jari tangan Mentari.

Setelah suapan kedua, wajah gadis itu berubah merah. Bibirnya juga. Jangan lupakan dengan keringat yang mulai bercucuran, air mata yang menetes dan desisan dari belah bibirnya. Nata yang melihat langsung memberikan susu kalengan yang dia beli sebab sudah mengira reaksinya akan begini, terkekeh pelan melihat Mentari yang kepedasan sementara gadis itu sudah hampir kehilangan akal.

"Kau ingin membunuhku, ya?" sungutnya. "Ini pedas sekali,"

Sudah lama Nata tidak melihat reaksi itu, raut wajah yang dia ingat sekali pernah membuatnya tertawa terbahak-bahak. Bahkan sekarang, Nata merasakan perasaan itu lagi. Debar yang membuat darah berdesir, hingga bermuara pada kedua pipi. Mentari masih mencoba menahan rasa pedas yang menjalar, sementara Nata masih mencoba menahan tawa yang hampir menggelegar.

"Sialan kau Nata!" makinya, lantas pemuda itu langsung terbahak.

Melanjutkan makan tanpa mengatakan apa-apa lagi setelah tertawa, keduanya lantas kembali hanyut dalam hening dengan suara decap sebab mulut yang tengah mengunyah. Setelah mie habis, keduanya tak langsung pergi. Memilih untuk berdiam diri, setidaknya sampai makanan tercerna dengan baik sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Orang-orang datang dan pergi, waktupun berlalu begitu saja. Pun setelahnya, Nata membayar makanan mereka di kasir lalu pergi diikuti oleh Mentari di sampingnya.

"Apa orang-orang di sini tidak merasa aneh dengan gadis muda berperut besar seperti aku?" Mentari yang sejak tadi menyimpan perasaan aneh, langsung bertanya setelah mereka keluar dari kedai.

Sebelum pergi tadi, Mentari sebenarnya agak takut sebab teringat dengan reaksi orang-orang di tempatnya tinggal dulu. Reaksi berlebihan dengan tatapan jijik, yang membuat perut bergolak mual. Tapi ketika sampai, Mentari tidak menemukan itu. Bayang-bayang di mana orang-orang akan melihatnya seperti wanita menyedihkan, berperut besar dengan wajah kelewat muda untuk memiliki seorang anak sirna begitu saja. Orang-orang di sana bahkan nampak tersenyum, lalu pergi tanpa berbisik setelah melihat dirinya.

Nata lantas menggeleng, tersenyum kecil dan melanjutkan langkah kakinya. "Ibu muda lumrah di sini," katanya.

"Benarkah?"

"Apa di kotamu dulu tidak ada yang seperti ini?"

"Ada, tapi orang-orang masih menganggapnya tabu. Mereka berpikir kalau gadis-gadis muda yang bisa hamil itu bodoh, terlalu lugu di samping teknologi yang semakin canggih seperti sekarang. Jadi ya, begitulah. Aku sedikit kaget saat melihat reaksi orang-orang di sini,"

"Begitu, ya?" Nata menjeda sebentar ucapannya, "di sini anak-anak berusia belasan sudah banyak yang menikah,"

Kaget, lantas setelahnya manik gadis itu melebar. "Kenapa bisa begitu?"

"Kurangnya sex education dan pengetahuan yang minim tentang bahaya teknologi, mungkin? Meski kebanyakan dari mereka menikah muda karena faktor ekonomi,"

"Bukannya menikah muda tidak bisa menjamin ekonomi seseorang? Malahan, kalau di pikir-pikir lagi akan menambah angka persentase kemiskinan. Iya, 'kan?"

"Well, ekonomi yang rendah dengan minat belajar yang tak kalah rendah. Anak-anak lebih memilih melanjutkan pekerjaan orang tuanya seperti bertani, atau menambak mutiara ketimbang menghabiskan uang untuk sekolah. Pemerintah tidak berfokus pada hal-hal semacam itu aku rasa,"

Menghela napas, lantas menunduk dengan tangan yang beralih mengelus perutnya yang semakin hari semakin membesar. "Aku juga berpikir begitu, pemerintah terlalu fokus pada program-program baru tanpa memikirkan dampaknya. Harusnya mereka paham kalau anak-anak bukanlah kelinci percobaan,"

"Mereka hanya ingin unjuk taring masing-masing," Mentari menoleh, mengerutkan keningnya bingung dengan perkataan Nata barusan. "Dengan membuat program baru, mereka ingin memperlihatkan program siapa yang lebih unggul. Begitulah,"

Nata melanjutkan langkah kakinya, sementara Mentari bergeming di tempatnya terakhir berdiri. Kepalanya mendadak pening, ada perasaan tak asing ketika obrolannya dengan Nata terhenti. Kakinya seperti tak mampu lagi berdiri dengan benar, sedikit terhuyung tapi Nata yang melihat Mentari masih berdiri di sana buru-buru menghampirinya. Tatapan khawatir itu, napas yang terdengar sedikit tersengal, pun detak jantung yang membuatnya seperti melihat ke masa lalu.

"Kau tidak apa-apa?"

To Be Continued

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang