"Di pikir lampion itu terbang untuk mengabulkan harapan-harapan, tapi kenyatannya lampion itu membawa harapan-harapan itu untuk dihancurkan."
~•~
Terduduk di depan salah satu minimarket dengan sebotol air mineral di tangan, Mentari merasa sedikit lebih baik. Dia pikir, mungkin terlalu lelah. Sudah lama dia tidak berpergian seperti sekarang, jadi tidak aneh ketika kandungannya memasuki usia lima bulan dia menjadi merasa lebih gampang lelah. Dokter memang menyarankan untuk istirahat di rumah, tapi Mentari sudah kelewat bosan jika terus-terusan di rumah seperti orang bodoh begini. Jadi saat Ibu pamit untuk pergi bekerja, dia malah kabur dan menemukan lelaki yang Ibu kenalkan bernama Nata itu.
"Kau sudah mendingan?" Nata kembali bertanya, tatapannya jelas sarat akan rasa khawatir yang begitu besar.
Mentari akhirnya menoleh, lalu tersenyum manis meski kepalanya kembali di dera rasa sakit. Tidak, ini bukan karena kelelahan. Rasanya ada yang aneh, tapi dia tidak bisa menjelaskannya. Semacam sebuah proyektor baru saja terputar di kepala, seolah kembali mengingatkannya pada sesuatu. Tangisan itu, senyuman itu, suara itu, tawa itu. Semuanya. Tiba-tiba muncul seperti rasa pilu yang membuatnya merasakan sakit di hulu hati, lalu pening dan mual.
'Apa kau akan pergi?' tatapan sendu dengan suara melantun lembut itu tiba-tiba datang, membuat Mentari merasakan sakit itu lagi.
'Ayahku harus pindah tugas, jadi aku dan Ibu harus ikut. Maaf,'
'Kalau kau pergi, siapa yang akan menjadi temanku setelahnya?'
"Tari, kau mendengarku? Hey, Mentari! Mentari!"
Seketika semua hal yang muncul di dalam kepala lenyap begitu saja, membuyar ketika sebuah suara menggema di gendang telinga dan membuat gadis itu tersentak. Kedua maniknya jelas sekali memancarkan rasa sakit, tapi bibirnya tidak mampu mengatakan apa-apa dan memilih bergeming dalam beberapa detik sementara maniknya menyorot sendu pada wajah Nata yang tepat berada di depan wajahnya. Tidak asing, seperti pernah bertemu tapi tidak tahu kapan dan di mana.
"Kau baik-baik saja?" ulang Nata.
Mentari menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, lalu kembali menenggak air minum yang ada di tangannya sementara Nata sudah menghela napas lega dan duduk bersandar pada bangku di samping gadis itu. Malam sudah datang, perlahan kegelapan menelan habis cahaya yang tadi menyilaukan kedua mata. Ketika Mentari sudah duduk diam dengan mata menyorot jalanan, Nata kembali melanjutkan perkataannya.
"Ayo kita pulang, aku takut kau kenapa-napa. Barangkali kau kelelahan,"
Mentari tak menggubris, hanya langsung berdiri dari tempatnya duduk dan pergi menjauh. Nata pikir gadis itu akan pulang, pergi menuju halte bus dan beristirahat. Tapi tidak, gadis itu malah melawati halte bus dan menjauh dari sana. Nata yang melihat buru-buru berlari mengejar, takut kalau Mentari dalam bahaya. Melihat wajah pucatnya seperti tadi saja sudah hampir membuat Nata kehilangan setengah dari napasnya. Terlalu khawatir, sampai-sampai lupa dengan dirinya sendiri.
"Mau kemana, Tari? Hari sudah malam, lebih baik kita pulang. Ya?"
Menghentikan langka kakinya, Mentari lantas menoleh ke samping tepat pada sumber suara yang terdengar lebih menyebalkan ketimbang Ibu ketika dia tidak juga tidur padahal sudah tengah malam karena terlalu menikmati drama lewat ponselnya. Berdecak lalu mendengus, Mentari kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Sementara Nata di depannya menatap bingung, bersamaan dengan kening yang berkerut.
"Aku sudah lama tidak pulang ke kota ini, seharusnya kau lebih peka sedikit. Ini malah menyuruhku untuk pulang," sungutnya.
"Maksdunya?"
"Ya, ajak aku jalan-jalan. Memperkenalkan aku pada tempat ini, barangkali ada tempat baru yang harus di datangi. Bukannya malah langsung peri, sekarang saja masih jam setengah tujuh malam. Lihat, lihat!" menjelaskan panjang lebar sambil memperlihatkan jam tangan yang melilit di pergelangan tangannya, Mentari sukses membuat Nata terdiam.
"T-tapi...."
Mentari langsung menyela dengan decakan, tatapannya yang terlihat tajam langsung membuat nyali seorang Nata menciut. Mungkin berjalan-jalan beberapa jam lagi tidak masalah, lagipula di dekat sana ada acara yang bisa menjadi tempat berkunjung mereka setelahnya. Nata lantas menganggukkan kepalanya, berjalan perlahan bersisian dengan kedua mata yang mengunci tatap dari sosok gadis di sampingnya supaya tidak luput dari pandangan.
Pun akhirnya kedua orang itu sudah sampai di pameran, memang ada acara ulang tahun kota yang diselenggarakan sekali setahun. Tidak terlalu meriah sebab muda-mudi di sana tidak terlalu banyak untuk memeriahkan, hanya berisi acara anak-anak TK, SD, SMP dan SMA. Selain itu, hanya ada stan makanan juga jualan pernak-pernik lainnya. Tapi bagi Mentari yang sudah hidup cukup lama di kota besar, acara seperti ini cukup menarik untuknya.
Setelah puas menjelajahi stan, mencicipi berbagai kuliner dan melihat pernak-pernik buatan tangan, mereka sekarang ada di depan rumah hantu yang entah kenapa malah ada di acara sejenis ini. Di samping kiri ada kora-kora dengan teriakan menggema dari penumpangnya, lalu di sebelah kanan ada komedi putar yang berisi anak-anak dan juga di belakangnya ada sangkar burung yang sedikit pengunjungnya. Rumah hantu berada di sana, di tengah-tengah suasana romantis dengan teriakan menggema.
Nata pikir Mentari akan memaksa untuk naik komedi putar, atau kalau tidak akan meminta untuk menaiki sangkar burung bersama. Tapi yang gadis itu pilih malah rumah hantu, padahal Nata orangnya penakut. Tidak suka dengan hal-hal semacam itu, dia tinggal di rumah karena sudah terbiasa. Kalau awal-awalnya dulu, Nata sering menangis karena ketakutan. Tapi rumah dan rumah hantu itu dua hal yang berbeda. Nata harus menghadapi hantu-hantu di dalam sana, belum lagi suara memekakkan dan nyanyian dari pengeras suara yang membuat suasana semakin mencekam.
"Ayo kita kesana," ujar Mentari antusias, berjingkrak kegirangan dengan mata berbinar. Kalau sudah begini, opsi menolak seketika lenyap di dalam kepala dan membuat Nata hanya bisa pasrah ketika tubuhnya di tarik masuk setelah membayar tiket.
Di dalam sana, sumpah demi apapun Nata terus-terusan berteriak. Tanpa sadar memeluk, bahkan menggengam erat pergelangan tangan Mentari yang nampak biasa saja dengan wajah datar dan bibir mencebik sambil mengomentari betapa buruknya dekorasi rumah hantu yang ada di sana. Mentari bahkan membuat semua hantu bayaran di sana kebingungan, sebab yang berteriak malah pemuda yang ada di belakangnya. Benar-benar sebuah revolusi dan tidak ada kata kepalsuan di dalam sana, menakjubkan memang.
Ketika sudah keluar, Mentari tak henti-hentinya tertawa terbahak-bahak sambil memperhatikan wajah pucat pasi milik Nata dengan keringat bercucuran dan napas tersengal. Benar-benar lucu, rasanya Mentari ingin mengabadikannya dengan kamera ponsel tapi sayangnya dia tidak membawa ponsel agar Ibu tidak mengganggunya. Nata yang melihat raut bahagia dari gadis itu sejenak terdiam, ketika gendang telinganya menangkap suara gelak tawa itu, hatinya mendadak merasakan kedamaian.
Kalau begini, rasanya Nata rela bolak-balik rumah hantu sambil berteriak ketakutan kalau bisa melihat tawa itu setiap saat.
Ketika Mentari sedang asyik tertawa dan Nata yang asyik memperhatikan, suara decap kagum dengan teriakan menggema lantas memutus atensi keduanya. Di atas sana, beberapa lampion berterbangan. Nampak cantik seperti kunang-kunang raksasa, yang perlahan menggantikan bagaimana bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Mentari yang melihat langsung menganga lebar, matanya menatap lekat pada lampion-lampion yang terbang di atas sana.
Aku berharap bisa melihat tawamu lebih sering, Tari.
To Be Continued
Btw, Pearl Garden Town itu gambaran buat kota kelahiran aku 🙃
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
General Fiction[M] Semenjak kedatangan Mentari, Nata seolah menemukan kembali alasannya untuk menikmati hidup. Tapi sayangnya, kesempatan yang diberikan semesta untuknya hanya sebentar. Sebelum akhirnya, semesta membawanya pulang. Start : 21 Oktober 2019 Finish :...