I Remember Everything, Mom

28 4 0
                                    

Aku ingat semuanya, Ibu. Kenangan indah yang aku pikir, tak aku punya semasa hidupku. Kenangan manis yang aku pikir, tak berhak untuk aku miliki sebelumnya.

~•~

Kedua orang yang kini mengarahkan atensinya pada sosok perempuan yang tengah duduk, berselonjor kaki, dan fokus memberi ASI pada bayi lucu yang masih terlihat rapuh itu. Setelah dua hari tak sadarkan diri setelah melalui serangkaian operasi caesar, berada di antara hidup dan mati, yang pada akhirnya membawa Mentari pada kenyataan yang paling menyesakkan dari apa yang pernah dia bayangkan.

Senyum tak henti-hentinya luntur pada wajahnya dengan mata yang nampak berbinar-binar, menatap pada bayi kecilnya yang memejamkan mata menikmati makanan pertamanya itu. Selama mengandung bayi ini, Mentari menjadi sesosok daging tanpa ingatan. Seolah tengah melangkahkan kaki di jalan setapak tanpa tujuan, kebingungan dengan kepala kosong. Tidak tahu siapa ayahnya, tidak mengerti kenapa dia bisa berada di dalam perutnya, tumbuh, dan hidup di sana.

"Bayinya sudah tidur," celetuk Mentari tatkala bayi itu melepaskan mulutnya dari puting payudara sang ibu.

Kedua orang yang tadi diam dan membiarkan hening mengisi ruangan, kini sama-sama tersentak dan tersenyum. Sang ibu lalu menghampiri, berdiri dari tempat duduknya dan membawa bayi itu dalam gendongannya. "Ibu antar dulu ke ruangannya, ya?" Ujarnya kemudian, lantas menghilang di balik pintu yang tertutup kembali.

Ruangan itu lagi-lagi berisi kekosongan, sementara Mentari nampak memalingkan wajahnya memberi isyarat bahwa dia tak menginginkan lelaki itu ada di sini bersama dengannya. Tapi Leo tetap bersikukuh, tetap di sana, berdiri di samping ranjang dengan mata yang fokus menatap Mentari yang acuh padanya. Bibir lelaki itu nampak terbuka dan terkatup, seolah ragu-ragu untuk mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya. Lantas, lelaki itu dibuat terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari bibir kering Mentari.

"Di mana Nata?"

Kalimat yang sama kembali dia dengar, Leo ingin marah karena perempuan itu terus menanyakan pemuda lain dan mengabaikan entitasnya. Tapi alih-alih begitu, Leo hanya diam. Bergeming, mengatupkan bibirnya rapat-rapat persis seperti beberapa jam yang lalu tatkala Mentari membuka matanya. Jengah dengan perilaku keras kepala Leo, perempuan itu menolehkan kepalanya dan mendengus.

"Kenapa kau selalu diam saat aku menanyakan soal pemuda itu, Leo?" Tanya Mentari, nampak menuntut jawaban dari raut wajahnya yang serius. "Kau punya masalah dengannya?"

Leo nampak ragu untuk menjawab, sebelum akhirnya memberi anggukan pelan yang sontak saja membuat Mentari berdecih. "Kenapa?" Tanya perempuan itu lagi.

"Karena aku mencintaimu, Tari." Lelaki itu tak berani menatap pada sosok Mentari yang terlihat terkejut, "aku mencintaimu." Ulangnya dengan intonasi suara yang pelan, terdengar seperti berbisik.

Mentari rasanya ingin tertawa terbahak-bahak, memberikan tamparan atau bahkan membunuh lelaki ini untuk melampiaskan ketidakpercayaan terhadap apa yang baru saja dia dengar. Tapi alih-alih melakukan semua kegilaan itu, Mentari hanya berdecih. Hatinya terasa sakit, diam-diam tangannya meremat selimut yang membalut kakinya di atas ranjang sebagai pelampiasan dari rasa sakit yang kembali menggerogoti rongga dadanya.

"Apa sekarang kau sedang bertindak menjadi pemeran lelaki yang menyesali perbuatannya?"

Leo membelalakan matanya, mulutnya bahkan terbuka sangking terkejutnya. "Apa maksudmu, Tari?"

"Aku mengingat semuanya," jawab perempuan itu, "kenangan manis di masa kecilku, dan kenangan pahit di masa remajaku."

"Mentari, aku bis...."

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang