She

135 11 0
                                    

"Dari sorot mata penuh tanya itu aku paham, bahwa dia mencoba mencari tahu sesuatu yang tak bisa aku jawab. Nyatanya, dia tak lagi sehangat dulu."

🍁

Angin musim gugur yang berhembus lembut di kota terpencil seperti Pearl Garden, membuat orang-orang perlahan mengutuk sebab kedinginan dan perlahan merindukan musim panas yang penuh dengan tawa atau mungkin musim semi penuh dengan bunga yang bermekaran. Kenyataannya, manusia memang selalu memgutuk apapun yang menyebalkan. Hanya segelintir yang benar-benar bersyukur, mengucap dengan hati penuh kasih atas nikmat yang sudah diberikan. Setidaknya, meskipun angin musim gugur itu dingin, akan ada keindahan yang diberikan; dedaunan oranye dan merah yang berterbangan.

Suara derit besi yang menjadi penyanggah ayunan terdengar menggema bersamaan dengan suara desau angin yang meniup dedaunan, bergeming semenjak datang ke tempat itu dengan mata menyorot lekat pada pohon palm tua di depan sana. Sekilas Nata mendesis ketika ingatannya kembali ke waktu di mana semua masih baik-baik saja, setidaknya waktu di mana dia tidak mengerti kenapa Ibu suka marah-marah padanya dan memukulinya.

'Ayo kita buat nama kita di sini, Ta. Pasti akan seru saat kita sudah dewasa dan melihatnya masih terpahat cantik di sini,' Mentari mengarahkan telunjuknya pada permukaan pohon, kala itu musim panas dengan ngengat yang terdengar begitu berisik.

Nata hanya diam, mata sipit bak bulan sabit miliknya menyorot tajam ke arah senyum manis yang terpatri pada wajah gadis itu. 'Tapi nanti pohonnya terluka,' gadis itu kembali menarik napasnya, menoleh ke arah Nata yang masih setia mengatupkan belah bibirnya. 'Bagaimana ini?' lalu menghela napas.

'Nata, kau punya ide?' tanyanya kepada Nata, bocah itu masih enggan membuka mulut sebab memang tidak tahu harus merespon seperti apa.

Nata sebenarnya bingung kenapa gadis itu bisa tahan berteman dengan bocah sepertinya, sudah pendiam, suka di marahi Ibu pula. Kata anak-anak lainnya, kalau suka di marahi itu berarti nakal. Jadi, kalau berteman dengan orang nakal nanti bisa ikutan nakal. Tapi Mentari malah menghampirinya dengan setangkai bunga matahari yang katanya dia ambil dari taman milik Paman John, padahal anak-anak begitu takut pada Paman dengan tubuh besar dan botak itu. Hanya Mentari yang berani, tersenyum dengan riang lalu berbicara banyak hal kepada Paman itu.

Nata ingat betul alasan yang Mentari katakan, saat itu mereka sedang bermain ayunan dan Nata terjatuh. Dia tidak menangis, karna Ibu tidak pernah menyuruhnya menangis. Anak lelaki tidak boleh menangis, kata Ibu begitu. Jadi, saat Mentari sedang mengobati luka yang ada di lutut Nata saat mereka sudah sampai di depan rumah gadis itu. Nata bahkan tidak meringis, hanya diam dengan wajah datar menatap ke arah Mentari.

'Itulah kenapa aku ingin berteman denganmu, Ta. Kau itu istimewa,' katanya. Nata diam-diam bertanya, kenapa gadis ini tiba-tiba berkata begitu. 'Anak-anak lain bilang kau nakal, tapi aku pikir mereka salah. Kau baik, kau sering memberi makan kucing di taman. Aku melihatnya,' lalu gadis itu tersenyum.

Omong-omong soal mengukir nama di permukaan pohon, mereka tetap melakukannya. Susah payah menulis di sana menggunakan paku yang mereka cari di tempat rongsokan milik Kakek Baram, lalu mengukirnya bersama-sama. Mentari sempat meringis, berpikir kalau pohonnya akan menangis karna ulah mereka. Tapi Nata dengan polosnya berkata tidak, menggelengkan kepala dengan pelan dan memberikan penjelasan.

'Pohon itu benda hidup yang tak bernyawa, mereka hanya tumbuhan yang bermetamorfosis. Tidak merasakan sakit, tidak menangis dan tidak terluka,'

Mentari mendelik, lalu berkata. 'Benarkah?'

Lantas Nata mengangguk pelan, sebab dia memang mempelajari hal-hal semacam itu. Di saat anak-anak seusianya dicekoki dengan buku dongeng, Nata malah dicekoki buku pengetahuan oleh Ibu. Di suruh belajar setiap saat, harus menjadi anak yang pintar dan bisa membuat Ibu bangga. Nata tidak tahu alasannya, tapi dia hanya bisa menerima sebab tidak mau Ibu marah. Kalau Ibu marah, nanti orang-orang akan berpikir Nata itu nakal. Ibu juga suka memukul, jadi Nata tidak suka.

Dan memori-memori itu tetap terpatri sebagai memori menyedihkan di kepalanya, sebab Nata sadar bahwa semuanya telah berubah. Harapannya, ada kehangatan yang terpancar ketika gadis itu kembali. Namun yang dia temukan tak jauh beda seperti matahari yang terbit di kutub Utara; dingin dan sendu. Meski nama yang terukir di pohon yang kini sudah semakin menua masih ada di sana, nampak menyedihkan sebab sang empu sudah pergi. Nata juga jarang datang ke sana, kalaupun memang ingin itu berarti dia sedang merasakan lelah. Seperti sekarang, barangkali.

"Sendirian?" rambut panjangnya tertiup angin, tubuh berbalut cardigan putih tebal dengan gaun selutut berwarna pink pastel. Senyumnya terpatri cantik, Nata yang tadi menatap lurus kini mendongak setelah tadi tersentak kaget. "Boleh aku bergabung?" tanyanya lagi.

Nata tak langsung menjawab, hanya memilih mengikuti tubuh itu bergerak pelan. Tangan kanannya memegangi perut, sementara tangan kirinya memegangi tali ayunan dengan kaki yang bergerak pelan menggoyang ayunan yang tengah dia naiki. Pemuda itu masih bergeming, terlalu nikmat memandang ciptaan Tuhan di depannya ini. Begitu sempurna, seolah Tuhan sedang dalam mood yang begitu baik ketika menciptakannya.

"Aku merasa seperti tidak asing dengan tempat ini," katanya lagi, lantas menoleh dan tersenyum lagi ke arah Nata. "Dan juga kau,"

Keduanya hanyut dalam hening dengan kedua manik kembar masing-masing yang terpaku pada satu tatap, pun detak jantung yang perlahan bertambah cepat. Baik Mentari, maupun Nata memilih untuk mengunci bibirnya dan menikmati bagaimana saat-saat detik berlalu ketika mereka tenggelam dalam kesunyian seperti sekarang. Terkadang, Nata tidak mengerti dengan tatapan yang mendadak asing itu. Tapi terkadang, dia mengerti bahwa ada jutaan pertanyaan yang terpancar di sana.

"Ibu bilang kita teman, tapi aku tidak ingat. Semenjak insiden itu...," gadis itu terdiam, memilih menggantung ucapannya lantas terkekeh. "Lupakan," lanjutnya.

Nata ingin bertanya, sebab dia sekarang sedang kelewat penasaran. Tapi tidak, Nata pikir semuanya terlalu cepat untuk memuntahkan segala pertanyaan yang hadir di dalam kepala. Kenapa gadis ini kembali, kenapa gadis ini hamil, di mana suaminya, kenapa dia tidak ingat apa-apa dan apakah Nata masih menyimpan perasaan itu. Semuanya. Dia ingin bertanya. Dia ingin mengetahui segalanya. Tapi opsi di mana dia lebih memilih diam adalah yang terbaik ketimbang bertanya dan membuat suasana semakin memburuk.

"Apa ada tempat untuk bisa mencicipi makanan enak di kota ini?" gadis itu kembali bertanya, "aku merindukan makanan pedas, tapi aku lupa namanya apa."

Mungkin isi kepalanya sudah benar-benar melupakan segala hal, tapi Nata yakin kalau lidahnya tidak melupakan makanan kesukaannya. Mentari sangat menyukai mie pedas buatan Bibi Lani, mereka sering pergi kesana saat pulang sekolah dan memesan setengah porsi karena uang yang tidak cukup lalu berakhir dengan Nata pencernaan Nata yang terganggu besok paginya. Lucu sih, kalau diingat-ingat. Tapi sayangnya, Mentari tidak akan mengingatnya. Rasanya seperti sedang berhadapan dengan orang asing, padahal Nata ingat betul bahwa mereka berteman cukup lama.

"Ada kedai di pusat kota yang menjual mie pedas," kata Nata akhirnya, lantas berdiri. "Kalau kau mau, aku bisa menunjukannya."

To Be Continued

Untuk pertama kali dalam sejarah, aku masukin nama kotanya hehe. Pearl Garden Town itu cuma imajinasi doang kok, tenang aja. Sejauh ini, nggak ada nama kota begitu demi menghindari konflik huhu. Aku terlalu takut berurusan sama hukum woy :'))

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang