"Kalau saja hidup adalah sebuah film, maka bagiku kau adalah bagian terbaik."
~•~
Terhitung sudah tiga hari semenjak kepulangannya dari rumah sakit, yang berarti bahwa bayinya sudah berumur lima hari. Bayi perempuan dengan berat 2,1 KG itu terlihat begitu cantik, bibirnya kecil dan merah, pipinya terlihat begitu berisi dan membuat bagian hatinya Mentari merasa seperti diselimuti kehangatan dari sebuah kebahagiaan yang entah datangnya darimana. Atau kalau boleh jujur, Mentari bingung perihal rasa itu. Setiap hari, dia akan diajari oleh sang ibu untuk memandikan bayinya, memakaikan baju, dan menyusuinya.
Selama lima hari ini, perempuan itu mengambil cuti. Tidak tega saja membiarkan anaknya sendirian di rumah, menjaga seorang bayi di usianya yang akan menginjak usia 21 tahun. Sebenarnya Mentari keberatan, dia pikir bahwa dia sudah bisa merawat dan menjaga bayinya sendirian tanpa bantuan sang ibu lagi. Tapi tetap saja, ibunya itu tak kalah keras kepalanya dengan Mentari. Mengangguk pasrah, pada akhirnya dia membiarkan sang ibu mengambil cuti selama seminggu.
Setelah bayinya tertidur di ranjang bayi yang ibunya siapkan jauh-jauh hari itu, Mentari beranjak dari tempatnya dan melangkah keluar setelah menutup pintu perlahan agar bayinya tak terganggu. Tubuhnya lalu stagnan, menatap lekat pada jendela sebuah kamar yang masih terkatup rapat itu. Hatinya tergelitik, untuk kesekian kalinya memberanikan diri untuk mendatangi rumah itu. Setidaknya, dia ingin mengatakan pada Nata bahwa dia sudah mengingat semuanya kembali.
"Ibu," panggil perempuan itu pada Lani yang kini tengah duduk menikmati keripik kentang di atas sofa dengan TV yang memperlihatkan serial drama, "apa buah apel yang Ibu dapatkan dari Paman Po kemarin masih ada?" Tanya Mentari kemudian.
Lani menoleh, mengalihkan atensinya dari serial drama yang sedang berada di bagian klimaks itu. "Masih ada," jawabnya, lantas kembali melihat ke arah TV. "Memangnya kenapa?"
Mentari tak memberikan jawaban, sebab perempuan itu sudah melangkah meninggalkan ruang tengah dan menuju dapur. Lani yang menyadari kalau anaknya sudah pergi, hanya mengedikkan bahu dan kembali fokus pada TV. Setelah sampai di hadapan kulkas, tangannya terulur untuk membuka pintu kulkas dan melihat sekeranjang buah apel yang diberikan adik dari ayahnya tempo hari. Buah apel itu terlihat masih segar, rasanya juga sangat mania dan Mentari kembali mengingat memori lama ketika mereka datang ke kebun apel Paman Po bersama keluarganya dan juga Nata.
"Kalau sudah besar nanti aku mau punya kebun buah apel seperti Paman Po, Nata. Kalau kau bagaimana?" Tanya Mentari kecil dengan gaun sebatas lutut dan topi itu.
Nata hanya diam, melirik pada hamparan kebun buah apel yang sudah memerah itu. Lantas, mata bocah lelaki itu melihat ke arah Mentari yang sejak tadi diam menunggu jawabannya. "Entahlah, Ibu bilang kalau aku harus jadi dokter seperti Ayah."
"Benarkah?" Suara Mentari kecil terdengar sedih, matanya bahkan beberapa detik melirik pada sepatunya yang kotor karena tak sengaja menginjak lumpur. "Padahal aku ingin mengajakmu menjaga kebun bersama-sama, Nata. Seperti Paman Po dan Bibi Juli,"
"Aku mau, kok. Tapi...," bocah itu menjeda ucapannya, menunduk dengan sorot mata yang sendu. "Ibu akan marah kalau aku tidak menjadi seorang dokter,"
Anak kecil berusia tujuh tahun, tentu saja belum mengerti tentang apa yang terjadi. Perihal raut wajah sedih milik Nata yang terpampang jelas di depan mata, perihal bola matanya yang bergetar memancarkan ketakutan ketika bibirnya menyebut nama sang ibu. Tapi Nata terlalu pandai untuk menyembunyikan semua itu di hadapan orang dewasa, selalu menggeleng ketika di tanya dan akan menangis ketika orang-orang memaksanya menjawab. Nata hanya tidak ingin ibunya sedih, sebab ibunya sering mengatakan bahwa hidup wanita itu hancur karena dirinya. Jadi, Nata hanya ingin menjadi anak yang bisa membuat Ibu bangga.
Dan sekarang, Mentari sudah cukup dewasa untuk memahami itu semua. Luka yang Nata sembunyikan, tangisan yang tak pernah dia lihat, bibir yang tak pernah melengkung membentuk sebuah senyum, tatapan kosong, wajah tanpa ekspresi, serta sifat anti sosialnya yang semakin parah setelah sekian lama. Apa Nata menjadi lebih menderita setelah kepergiannya? Mentari tak ingin mendengar jawaban 'iya', sekalipun dia sadar bahwa tak ada jawaban lain yang cocok untuk menjawab pertanyaan itu.
"Ibu, aku ingin mengantar apel ini pada Nata. Aku titip baby dulu, ya?" Pamitnya pada sang ibu dengan sebuah kantong plastik berisi beberapa apel yang tadi dia ambil di dalam kulkas.
Tidak mendengar jawaban sang ibu terlebih dahulu, Mentari sudah lebih dulu melangkah keluar dan menutup pintu dengan pelan. Jantungnya berdetak tak karuan, merasa ketakutan dengan apa yang akan dia hadapi. Tapi sekalipun rasa ragu kembali menggerogoti dirinya, Mentari tetap melangkahkan kakinya dengan mantab menuju rumah itu. Sempat meringis tatkala matanya melihat halaman rumah itu, tapi Mentari tetap mengetuk daun pintu itu. Well, kalau orang-orang baru pertama kali ke tempat itu, pasti akan mengira bahwa rumah itu tak ada penghuninya.
"Nata, kau di dalam?" Tapi tetap saja, tak ada jawaban. "Bisa kau bukakan pintunya sebentar?" Tetap, hasilnya nihil.
Mentari sudah hampir menangis, kecewa, dan menyerah. Suaranya tercekat, mengigit bibir bawah sejenak, sebelum akhirnya kembali mengetuk daun pintu itu. "Aku...," lirihnya, lantas terjeda tatkala air mata itu sudah mengaliri pipinya. "Aku mengingat semuanya, Nata."
"Maafkan aku, Nata. Apa selama ini kau menderita? Kenapa kau bisa sekuat itu, hm?"
Daun pintu tetap terkatup, seolah sosok yang ada di dalam rumah tak mendengar suaranya. Mentari lalu menghapus bulir air mata yang mengaliri pipinya, lalu kembali berujar. "Aku bawakan apel dari kebun Paman Po, kau ingat? Aku letak di depan pintu, ya, Nata. Semoga suka,"
Setelah mengatakan kalimat itu, Mentari memutat tumit kakinya dan melangkah pergi dengan hati yang teriris untuk kesekian kalinya. Tapi ketika tangannya baru menyentuh gerbang kayu yang sudah reyot itu, daun pintu yang sejak tadi terkatup tiba-tiba saja terbuka dan menampakkan sesosok pemuda dengan penampilan yang begitu berantakan. Ada kantung mata di bawah mata serupa bulan sabit itu, pun lingkaran hitam yang menjelaskan bahwa dia tidak tidur, serta rambutnya yang terlihat semakin panjang.
Mentari yang menyadari daun pintu itu terbuka, langsung menolehkan kepalanya dan sebuah senyum langsung terbit pada wajahnya. Perempuan itu berlari mendekati Nata yang tertegun di ambang pintu, lalu tersentak ketika Mentari berhamburan memeluk tubuhnya. Tak ada pergerakan yang Nata lakukan, pemuda itu hanya bergeming untuk beberapa saat sebelum akhirnya tanpa sadar menitikkan air matanya.
"Nata, aku merindukanmu." Ujar Mentari, sebelum akhirnya kembali menangis tersedu-sedu.
Tangan Nata lantas terulur untuk membalas pelukan itu, membuat keduanya terjebak dalam sebuah pelukan pilu berteman air mata. Setelah sekian lama, akhirnya Nata kembali merasakan bagaimana hangatnya sebuah pelukan dan arti dari dirindukan. Air mata yang tak lagi dia perlihatkan bahkan di hari pemakaman sang ibu, kini kembali terlihat. Nata memejam, kemudian terisak pelan. Kepalanya disurukkan di antara perpotongan leher perempuan itu, mencari kenyamanan yang selama ini tak pernah dia rasakan.
🍃
Sebelumnya, aku tak pernah merasakan arti dari kehilangan, tak pernah pula merasakan artinya diinginkan. Namun setelah kehadiranmu di sebagian kecil perjalan hidupku, membuatku mengerti arti dari segelintir perasaan yang ada di dunia ini. Sekalipun Tuhan tak akan mempertemukan kita lagi, tapi aku tak akan pernah melupakanmu. Sebab jika hidup adalah sebuah film, maka kau adalah bagian terbaiknya.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret
General Fiction[M] Semenjak kedatangan Mentari, Nata seolah menemukan kembali alasannya untuk menikmati hidup. Tapi sayangnya, kesempatan yang diberikan semesta untuknya hanya sebentar. Sebelum akhirnya, semesta membawanya pulang. Start : 21 Oktober 2019 Finish :...