Fall Away

18 4 0
                                    

"Barangkali mencintai seseorang itu akan menjadi salah ketika hati memaksanya untuk memiliki perasaan yang sama."

~•~

Musim semi telah datang dengan sejuta afeksi menyenangkan yang entah kenapa terasa begitu hambar. Rasanya seperti ada yang hilang, seumpama tertawa sendirian di tengah padang rumput yang gersang di awal musim semi. Tubuhnya seolah tak ingin beranjak, masih setia duduk di bawah pohon buah persik yang daunnya menari-nari ditiup angin. Begitu sejuk, dan menenangkan. Bunga-bunga yang dia tanam bersama ibunya sudah tumbuh, nampak beberapa ada yang hampir memekarkan kelopaknya.

Di teras samping rumah, perempuan itu menatap bagaimana rumah sang tetangga yang seperti tidak ada penghuni. Mentari mendadak merasakan dadanya kembali sesak saat memori usang itu kembali hadir di dalam kepalanya, menari-nari dan membuat perut bergolak mual. Rasanya ingin lupa ingatan saja, tapi perempuan itu masih punya kesadaran penuh untuk tidak membenturkan kepala pada dinding agar ingatannya memudar sedikit.

Menyatakan perasaan pada seseorang memang memiliki resiko, entah itu diabaikan, ditinggalkan, hubungan yang mendadak renggang, atau mungkin canggung, bahkan bisa saja dipermalukan. Mentari tahu betul itu semua, sebab dulu dia pernah melihat temannya dipermalukan di depan kelas pemuda yang dia sukai sewaktu dia SMA. Masa-masa yang cukup menyenangkan, meski Mentari tahu masa itu adalah masa yang cukup berat untuk temannya.

Meski kehilangan beberapa memori, perempuan itu masih memiliki beberapa kenangan tentang masa sekolahnya. Walaupun lupa nama-nama mereka, tapi Mentari ingat wajah mereka. Tidak apa-apa, toh, orang-orang biasanya memang begitu. Setiap orang juga berhak membuang memori yang tak ingin mereka simpan, dan membiarkan beberapa memori tetap menempati isi kepalanya. Itu biasa.

Hanya saja ketika dia benar-benar menghadapi situasi ini, Mentari mendadak menyesali keputusannya untuk mengatakan apa yang selama ini dia simpan di dalam hati. Perihal pertemuan pertama mereka, perihal debaran anomali yang dia rasakan, perihal rindu yang selalu dia tahan, dan perihal nyaman yang selalu dia dapatkan dari sosok misterius seperti Nata. Lagipula, dia harusnya sejak awal sadar bahwa perempuan sepertinya tidak akan pernah punya tempat di hati manusia sebaik Nata.

Sekalipun mereka pernah berciuman, pernah saling mengungkapkan rasa suka, tapi Mentari harusnya sadar bahwa itu semua barangkali bukanlah sesuatu yang akan meninggalkan kesan pada Nata. Suka itu memiliki definisi yang berbeda, tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur hati seseorang pada mereka yang dia anggap istimewa untuk menjadi rumah yang nyaman sebagai tujuan terakhirnya pulang.

Mengelus perutnya yang sudah semakin membuncit, Mentari meringis ketika sadar bahwa bayi perempuan di dalam perutnya itu akan terlahir di dunia tanpa sesosok ayah dan harus menghadapi dunia yang kejam ini sedari awal dia menghembuskan napas. Tidak apa-apa, Mentari akan menjaga dan merawat anak itu. Menjadikannya sesosok perempuan hebat, yang tangguh dan juga mandiri seperti ibunya (nenek dari bayi itu).

Setelah pergi ke klinik kandungan bersama dengan ibu kemarin siang, Mentari merasa begitu senang saat sang dokter mengatakan kalau bayinya sehat tanpa kurang satupun. Meskipun dia, agaknya terpaksa melahirkan dengan cara dioperasi. Kata dokter, Mentari terlalu muda dan masih rentan untuk melahirkan seperti calon ibu pada umumnya. Belum lagi rasa sakit yang harus dia hadapi, dokter takut terjadi suatu hal yang buruk terhadap dirinya dan sang calon bayi.

Hamil di usia sembilan belas tahun yang pada beberapa hari lagi akan menginjak angka duapuluh tahun memang harus menghadapi masalah lain, selain omongan buruk orang-orang.

Hari ini dia tidak ingin melakukan apa-apa selain berdiam diri dengan menatap jendela kamar Nata yang masih enggan terbuka, pun sosok yang sudah hampir tiga bulan tak dia lihat. Sudah bosan mencoba berbagai cara agar mengembalikan situasi di antara keduanya, pun sudah menyerah dengan kata maaf yang coba dia lontarkan sebab Nata seolah abai dengan semua itu. Dia tetap bergeming, enggan untuk melangkah menerima uluran tangan sebagai tanda perdamaian.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang