Don't Leave

28 4 0
                                    

"Kalaupun aku meminta kau untuk tetap tinggal, apakah kau akan mendengarkannya?"

~•~

Sekitar tiga puluh menit yang lalu Nata menyelesaikan kegiatannya mengepak barang-barang yang akan dia bawa, tidak terlalu banyak memang. Hanya beberapa lembar baju, serta celana, sepatu, pakaian dalam, dan hoodie yang selalu dia pakai. Terpaku menatap komputer yang berada di atas meja itu, Nata seolah berkelana bersama rasa sakit yang dia bawa di bahunya. Di atas kursi itu, dia menghabiskan banyak sekali waktu untuk menciptakan sebuah komik yang sekarang sudah bertemu dengan akhirnya.

Pen tablet* yang dia pakai sudah terlihat berdebu, karena sudah berhari-hari tak dia sentuh. Benda itu dia beli dari uang yang dia tabung hasil dari memenangkan beberapa olimpiade, yang tentu saja diam-diam dia simpan agar tidak dimarahi oleh ibunya. Tidak, Nata harus menjadi dokter seperti ayahnya. Wanita itu berharap Nata bisa menjadi alasannya untuk mendapatkan cinta lelaki itu, tanpa mau memahami bahwa mereka sudah dibuang.

Setelah ibunya meninggal waktu itu, Nata seolah merasa bebas untuk hidup seperti apa yang dia inginkan. Wah, pada akhirnya aku bisa mewujudkan satu persatu mimpi yang selama ini aku simpan diam-diam. Pikirnya saat itu, tersenyum manis sembari memeluk wacom tablet yang baru saja dia beli di toko daring. Mulai benar-benar fokus, membuat satu atau dua gambar yang menurutnya masih belum terlalu bagus. Berlatih berbulan-bulan, bahkan sampai hampir setahun hingga dia bisa dengan kepercayaan diri itu membuat sebuah komik.

Komiknya belum terlalu banyak yang tahu, pembacanya masih sedikit. Tapi, Nata tidak menyerah. Menurutnya, semua hal di dunia ini butuh proses. Nanti, suatu hari akan menemukan pembaca setia yang royal padanya. Jadi tidak boleh menyerah begitu saja, harus terus semangat dan melanjutkan untuk fokus pada beberapa pembaca yang menyukai karyanya. Namun belum selesai satu komik itu, Nata berhenti tatkala dia mengetahui apa yang terjadi padanya.

Tangannya sering tiba-tiba menjatuhkan sesuatu, sering juga terjatuh dari tangga dan berakhir pingsan, serta keram yang membuatnya tak bisa memegang pen untuk membuat komik. Datang ke dokter Jonatan pada akhirnya membuat Nata berhenti sejenak, merenungi dirinya sendiri yang tak pernah bernasib baik itu. Setiap malam menangis, tersedu-sedu sembari memeluk tubuh sendiri. Walau begitu, pada akhir rasa putus asanya itu, Nata kembali membuat sebuah komik.

Komik yang dia dedikasikan untuk Mentari, sosok yang selama ini masih terpatri indah di dalam kepalanya. Sosok yang membuat hidupnya merasa lebih berarti, sosok yang membuat masa kecilnya sedikit lebih berwarna, sosok yang mengajarkannya untuk tidak gampang menyerah, dan sosok yang selalu berada di sampingnya di saat orang-orang menjauhinya karena terkesan aneh.

Pintu tiba-tiba diketuk, membuat lamunan Nata buyar dengan mata yang bergulir menatap pada sosok itu. Bastian tersenyum ramah, melangkahkan kakinya guna mendekat ke arah adik tirinya itu. Nata hanya bergeming, tak ada senyum yang terukir, tak ada pula tatapan penuh amarah yang sudah Bastian tebak diperjalanan tadi. Sebab pada wajah itu hanya terukir sebuah tatapan sendu, tanpa ekspresi atau mungkin kebohongan yang biasanya orang lain perlihatkan.

"Apa kau sudah selesai?" Tanya Bastian pada akhirnya, mencoba sebisa mungkin mengabaikan Nata yang terlihat begitu kacau.

Nata lantas memberikan jawaban berupa anggukan, membuat lelaki itu balas mengangguk dan mengambil tas berisi pakaian milik sang adik. Bastian nyaris menghilang di balik pintu, kalau saja Nata tak lebih dulu memanggil namanya. Membuat lelaki itu menghentikan langkahnya, berbalik dengan kening berkerut. Sementara Nata diam sejenak, nampak berpikir keras dengan apa yang akan dia ucapkan. Ragu, satu kalimat yang bisa Bastian gambarkan dari sosok itu.

"Bisakah kau memberikan aku waktu sebentar?" Tanyanya, membuat Bastian menghadapkan tubuhnya ke arah Nata.

"Memangnya kau mau kemana?"

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang