14. Sakit

7.2K 469 13
                                    

Naufa menutup pintu setelah teman-temannya pulang. Untungnya tugas mereka selesai tepat waktu, tepat di jam 10. Naufa bernapas lega karna sekarang dia bisa tidur. Tubuhnya benar-benar merindukan kasur.

"Astafirullah, Abang!" gerutu Naufa. Alvaro tiba-tiba ada di belakangnya seperti hantu. Naufa kaget setengah mati karenanya.

"Tolong buatin jahe atau jeruk nipis anget, ya, Dek. Tenggorokan Abang gak enak," pinta Alvaro. Matanya sayu, padahal tadi baik-baik saja.

Naufa merangkul lengan Alvaro dan mengajaknya kembali ke kamar, "baring dulu, Bang," pinta Naufa.

Lengan Alvaro berkeringat, pun lehernya, tapi saat Naufa menyentuh keningnya, suhu di kepalanya ternyata lebih tinggi. Hangat, itu yang Naufa rasakan.

"Abang demam deh kayanya," tukas Naufa. Alvaro memejamkan matanya dan meremas tangan kanan Naufa sedari tadi. "Adek buatin jahe hangat dulu ya, Bang. Sebentar," Naufa mengecup bibir Alvaro sebelum beranjak ke dapur.

Alvaro menghabiskan wedang jahenya dalam hitungan detik. Tenggorokannya terasa lebih lega dan nyaman. Alvaro menahan tangan Naufa, "mau kemana lagi?" tanyanya.

"Mau beresin buku-buku adek, Bang," jawab  Naufa dan kembali duduk, "kenapa?"

"Besok aja beresinnya, temenin Abang aja," pinta Alvaro manja.

"Jangan manja deh," gerutu Naufa gemas.

"Daripada abang manja sama cewek lain mending sama istri sendirikan?"

"Heum, manja aja sama cewek lain kalau udah bosen hidup," sahut Naufa santai.

"Abang bakal bosen hidup kalau kamu udah enggak ada di dunia ini," jawab Alvaro.

Mata Naufa menyala, "Abang doa-in aku cepat mati?" tanyanya sengit. Alvaro tergelak dan menggeleng.

"Kamu mati, hidup Abang hampa, sayang." Naufa memutar bola matanya malas walau pipinya bersemu merah. Naufa kembali bangkit untuk membereskan buku-bukunya di luar, lagi-lagi tangan Alvaro menarik Naufa untuk kembali duduk di pinggir ranjang, di sampingnya. "Temenin abang aja, bukunya bisa besok," tukas Alvaro sebelum menarik Naufa kepelukkannya. Naufa pasrah. Kalau sudah seperti ini, dia tidak bisa berkutik. Alvaro bagai ular piton yang melilit mangsanya. Melilit Naufa dalam dekapannya.

"Tidur deh, Bang," suruh Naufa mulai membelai dada Alvaro agar pria itu cepat tertidur. Alvaro memejamkan matanya, kepalanya sudah berdenyut sedari tadi. Lama kelamaan akhirnya pria tangguh itu tertidur juga. Naufa yang belum mengantuk berlahan-lahan memindahkan lengan ALvaro.

Naufa sudah duduk di pinggir ranjang bersiap untuk berdiri, tapi sebuah dekapan membuatnya kembali terbaring di ranjang. "Abang bilang temenin!" rengek Alvaro layaknya anak kecil. Naufa benar-benar pasrah sudah.

****

Paginya Alvaro demam dan tidak dapat bekerja. Naufa pun harus bolos kuliah karena tidak mungkin meninggalkan suaminya yang tengah sakit. Dengan telaten Naufa mengompres dahi Alvaro. Selesai Naufa meletakkan anduk di dahi Alvaro, Alvaro langsung menggenggam tangan Naufa dan meletakkannya di dada. Mata Alvaro terpejam dan sesekali sudut matanya berkerut karena merasa nyeri.

Naufa tidak protes sama sekali. Dia membiarkan tangannya digenggam Alvaro sementara tangan lain yang bebas dia gunakan untuk mengusap kepala suaminya berlahan. "Cepat sembuh," bisik Naufa kemudian mencium bibir Alvaro. Alvaro hanya mengangguk tanpa membuka matanya.

Ketukan pintu membuat Naufa harus beranjak pergi meninggalkan Alvaro sebentar. Itu pasti teman-temannya yang hendak mengambil makalah mereka.

"Maaf, ya? Gue gak bisa masuk hari ini. Suami gue sakit," kata Naufa beralasan sembari menyerahkan makalah mereka.

"Santuy, GWS buat suami loe, ya. Gue sama anak-anak ke kampus dulu. See you, Nau."

"ABANG!" jerit Naufa kaget ketika berbalik sesaat setelah dia menutup pintu. Alvaro berdiri di belakangnya dengan mata sayu dan wajah pucatnya.

"Abang mau bubur," ujarnya pelan.

"Kenapa gak nunggu Adek balik ke kamar aja, sih?" desah Naufa kesal. Alvaro sekarang bertumpu pada badan Naufa untuk berdiri dan Naufa harus memapahnya untuk kembali ke kamar. Alvaro tak menjawab, kepalanya berdenyut, telinganya berdengung.

"Adek beliin dulu, Abang tunggu sebentar, ya?"

"Abang pengen kamu yang masak."

"Tapi, Ade. . . oke. Tunggu sebentar."

Naufa keluar kamar, ke dapur dan mulai sibuk dengan gawainya. Percuma dia menolak permintaan si keras kepala itu. "Sabodo ah, gak enak gak enak situ," gerutu Naufa. Naufa mulai menyiapkan bahan-bahan. 30 menit dia berkutat di dapur, akhirnya bubur yang diinginkan Alvaro jadi.

"Not bad," puji Naufa ketika dia mencicipinya.

Naufa kembali ke kamar membawa bubur, air putih, serta obat untuk Alvaro.

"Nau jangan tinggalin Abang. Naufa. Naufa," Alvaro mengigau dengan keringat membahasi seluruh tubuhnya. Naufa meletakkan nampanya di meja dan langsung mengusap kepala Alvaro.

"Adek di sini, Bang," bisik Naufa.

Alvaro tanpa membuka matanya langsung memeluk Naufa, "jangan tinggalin Abang. Jangan pernah pergi dari Abang. Kamu dunia dan napas Abang."

"Iya. Sekarang Abang makan dulu, ya?"

Alvaro makan dengan berlahan, tidak seperti dia yang biasanya. Yang memakan makanan Naufa dengan lahap. "Gak enak, ya?" tanya Naufa. Alvaromenggeleng.

"Lidah Abang mati rasa," jawab Alvaro pelan. "Jadi enggak bisa ngerasain bubur kamu yang enak ini kan," sesal Alvaro lagi. Tangannya membelai pipi Nuafa.

"Makaya cepat sembuh," tutur Naufa dan menyuapkan bubur lagi. "Kepalanya masih sakit?"

"Sedikit."

"Habis ini Abang tidur, Adek mau bersih-bersih rumah."

***

Malamnya, keadaan Alvaro membaik. Naufa membaca novel yang harus dipresentasikannya minggu depan dalam rengkuhan Alvaro.

"Abang mau punya anak cewek," tutur Alvaro menghentikan Naufa yang tengah membalik halamannya.

"Kok tiba-tiba ngomongin anak?" tanya Naufa meletakkan novelnya di samping.

"Kan kamu janji setelah tamunya pergi bakal program anak," sahut Alvaro.

"Ya kan kita gak bisa nentuin entar anak kita cewek apa cowok, enggak boleh gitu Bang," ungkap Naufa.

"Ya kan itu cuman keinginan Abang, kalau Allah kasihnya cowok ya Abang juga terima."

"Terima karena terpaksa gitu?"

"Ya enggak lah, Dek!"

"Ya udah, makanya gak usah mau cowok mau cewek segala," ketus Naufa. Alvaro hanya mengangguk-nganggukkan kepalanya. Dia tak ingin ini menjadi lebih panjang.

Nuafa berbalik, menyentuh dahi Alvaro dengan telapak tangannya, memeriksa apakah suhu tubuh Alvaro sudah turun. Wajah Naufa dan Alvaro begitu dekat sampai Alvaro dengan jahilnya mencuri kecupan di bibir Naufa.

"Bisa aja nyari kesempatan," gerutu Naufa dan bangkit. "Adek mau bikinin Abang jeruk nipis anget," tukas Naufa sebelum pria itu bertanya kemana dia.

****


Hey, I'm sorry that this part it's too short. Dan slow update banget. Maaf ya. Sekarang agak susah mencari waktu untuk menulis. Ada waktu libur juga dibuat nyicil tugas. Oh ya, untuk cerita yang lain kayanya bakal gak ku update sampe cerita ini selesai. Kayanya ya, karena satu cerita aja aku udah slow update banget. So, yeah. . . . doakan yang terbaik aja. Makasih ^^



[TAHAP REVISI TIPIS"] Surprise Marriage [RUN IN LOVE II]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang