Siang yang cerah di kota Bandung. Zavier yang sedang tidak enak badan memilih lari di lapangan. Keringat membanjiri tubuh atletisnya, terpaan sinar matahari makin membuat Zavier terlihat seksi dengan kaos yang menempel pas di tubuhnya. Kepalanya berdenyut, tapi ini lebih baik dari sebelum dia berlari.
Zavier menepi untuk minum dan menyudahi acara larinya. Masih ada setumpuk pekerjaan yang menunggunya.
Zavier berdecak kesal karena botol airnya sudah kosong. Tiba-tiba seorang junior melintas menggunakan sepeda motor. Dia berhenti menyapa Zavier.
"Izin, Bang. Abang haus? Ini saya baru beli air," junior tersebut menyerahkan sebotol air mineral pasa Zavier. Zavier mengangguk dan berterima kasih.
Zavier benar-benar haus. Dia bahkan menghabiskan sebotol air tersebut dengan hanya beberapa teguk. "Kok agak pahit, ya?" gumam Zavier.
"Ada masalah, Bang?" Zavier menggeleng dan berterima kasih. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan rasa airnya yang aneh. "Kalau begitu, saya izin mendahului, Bang," sekali lagi Zavier mengangguk.
Zavier kembali ke rumah dinasnya. Zavier merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya, tapi sekali lagi ia tidak ambil pusing. Selesai mandi dan makan siang, Zavier siap berangkat.
Zavier bekerja seperti biasa. Menyelesaikan berkas-berkas pekerjaannya, menyelesaikan laporan tentang tim rahasainya, lalu menyerahkannya pada atasannya.
"Permisi. Selamat siang, Pak. Ini semua berkas yang harus Bapak cek," tutur Zavier pada atasan sekaligus paman-nya itu. Wiro membuka-buka sekilas berkas-berkas yang dibawa oleh Zavier.
Zavier memegang perutnya yang tiba-tiba bergejolak, tapi ketika Wiro menatapnya dia langsung memasang sikap sempurnanya.
"Kenapa, Zav?" tanya Wiro, "perutmu sakit?" lanjutnya.
Zavier menggeleng.
"Kembali ke tempatmu."
"Siap!"
Zavier langsung berlari ke kamar mandi setelah menutup pintu ruangan Wiro. Dia sudah tidak tahan.
Perutnya terus saja bergejolak. Sembari membuanf apa yang harus ia buang, Zavier memikirkan salah makan apa dia siang ini? Tidak ada makanan aneh yang dia makan. Kecuali, minuman itu penyebabnya. Namun, Zavier cepat-cepat membuang pikiran aneh itu. Tidak mungkin hanya karena air mineral biasa dia tiba-tiba diare seperti ini.
Zavier memaki dalam hati, diarenya benar-benar parah. Dia bahkan tidak bisa pergi meninggalkan toilet. Lama kelamaan tubuhnya bisa dehidrasi.
Zavier keluar dari toilet dengan wajah yang memucat, seragamnya aut-autan. Keringat membanjiri wajah dan lehernya.
"Zavier!" Deka terkejut melihat Zavier yang bersandar di tembok toilet dengan kondisi setengah sadar. "Kamu kenapa, Zav?" tanya Deka bingung. Zavier menggeleng kemudian muntah.
Tanpa pikir panjang Deka memapah Zavier keluar dan membawanya ke rumah sakit. Kuat dugaannya Zavier keracunan.
***
Zavier terbaring lemah, tangan kanannya digunakannya menutup mulutnya, berharap bisa menahan rasa muntahnya.
Dokter bertindak cepat, menanyakan ini-itu pada Deka.
"Apa fesesnya disertai darah?" Deka menggeleng tidak tahu.
"Ya, ada darah," jawab Zavier lemah dan setengah sadar. Zavier setengah bangun untuk memuntahkan isi perutnya yang sudah benar-benar kosong.
Sang dokter mengangguk kemudian melakukan pemeriksaan dasar.
"Kami tidak tahu racun apa yang mamapar Pak Zavier, tapi untuk saat ini kami akan membilas lambung Pak Zavier dan melakukan tes diaknostik komplit untuk mengetahui jenis dan kadar racun yang ada di tubuh pasien," terang sang dokter. Deka hanya mengangguk.
"Jangan kasih tahu, orang tua saya, Bang," pesan Zavier setengah sadar. Deka mengangguk sekali lagi.
****
Lidya duduk menggenggam tangan Zavier yang lemas. Alat bantu pernapasan dan berbagai macam alat rumah sakit terpasang di badan Zavier. Bunyi detak jantung Zavier mengisi kesunyian ruangan tempatnya di rawat ini.
"Punya dua keponakan kok hobinya bikin orang jantungan. Kalau ada apa-apa hobinya ngelarang buat kasih tahu orang tuanya. Heran! Keras kepalanya ini anak berdua dari siapa sih?" dumel Wiro pelan. Dia baru saja masuk ke ruang rawat Zavier. Sementara ajudannya menunggu di luar ruangan.
Lidya menoleh ke arah Wiro dan tersenyum kecut, "kayanya dari pakdhe-nya sendiri," sahut Lidya. Wiro berdehem.
"Gimana keadaan Zavier?" tanyanya.
"Masih lemah, tadi beberapa kali muntah," jawab Lidya mengusap lengan Zavier.
"Sudah tahu dia keracunan apa?"
"Besok hasilnya baru ketahuan," Wiro mengangguk. Dia tidak bisa lama-lama di sini. Melirik alrojinya Wiro pamit pergi.
Naufa baru saja datang bersama Alvaro dan berpapasan dengan Wiro di lobby rumah sakit.
"Pakdhe," sapa Naufa. Wiro mengusap bahu Naufa dan mengatakan Zavier baik-baik saja.
"Hanya keracunan ringan," tukas Wiro.
***
"Bang, aku rasa ada yang racunin Bang Zavier," tutur Naufa di depan ruang rawat Zavier. Alvaro mengerutkan dahinya. "Bang Zavi bukan orang yang seceroboh itu sampai bisa keracunan," sambung Naufa lagi.
Tak lama berselang, sebuah pesan masuk ke ponsel Naufa, ya ya ya! Kau benar sekali. Zavier diracuni, dan kalian tentu tahu siapa pelakunya,
"Bang," Naufa menujukkan pesannya. Mata tajam Alvaro mulai memperhatikan sekitarnya. Siapa kira-kira di antara orang-orang yang berada di lorong ini yang sekiranya pelaku teror ini.
Mencariku? Coba lihat ke arah CCTV dan lambaikan tangan kalian. hahaha
Mata tajam Alvaro langsung menusuk ke arah CCTV. Apa orang itu ada di rumah sakit ini? batin Alvaro. "Dek, masuk. Abang mau cek sesuatu," suruh Alvaro. Naufa menahan lengan Alvaro tak rela Alvaro pergi.
"Bahaya,nggak usah diladeni," tutur Naufa. Alvaro mengenggam tangan Naufa dan menenangkan gadisnya yang sedang dilanda ketakutan.
**
Di sini lain, ada orang yang tengah tersenyum masam melihat adegan itu. Tangan pria itu lihat mengetikkan sebuah pesan di ponsel pintarnya, jangan bodoh, Alvaro. Mau mencariku di ruang CCTV? Yang benar saja. Aku tidak berada di tempat sempit dan membosankan itu. Oh satu lagi, kau tidak perlu bersusah-susah menemukanku, aku yang akan menemukanmu dan membunuhmu nanti. Lalu, Naufa menjadi milikku.
"Putuskan sambungan CCTV ini, aku muak melihat pria sialan itu menyentuh milikku," tukasnya pada suruhannya. Pria itu bangkit dan keluar dari kamar gelapnya ini. Cukup untuk hari ini meneror kedua orang itu.
"Bersabarlah, sebentar lagi semua rencanamu akan matang, lalu kau bisa memiliki Naufa seutuhnya," pria itu berkata pada dirinya sendiri. "Dan kau Alvaro, kau akan mati di tanganku. Tunggu saja."
Pria tersebut menancapkan pisau pada foto Alvaro yang terpasang di dinding. "Jika kalian menghalangi, kalian akan mati juga. Hahahaha..."
Tawa pria itu memenuhi seluruh ruangan bernuansa putih-hitam ini. Nuansa nyaman tercipta dari dekorasinya, tapi tawa jahat pria itu mampu membuat siapa saja yang berada di situ merasa ketakutan dan terancam. Tak terkecuali beberapa pria berbadan besar yang menjaga tempat ini pun ikut ciut nyalinya mendengar tawa sang boss, apalagi jika si boss ini sudah menunjukkan tatapan tajam membunuh dan dinginnya. Satu hal lagi, jangan buat si boss marah. Atau kau akan berakhir dengan kematian yang mengenaskan. Disiksa sampai mati, bahkan kau yang memohon untuk mati.
Jangan bully saya, saya (sok) sibuk :') wkwkwkks
intinya, kalau nnti ada notif undangan, yang di Surabaya wajib dtaang ya. Mksh. ditunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAHAP REVISI TIPIS"] Surprise Marriage [RUN IN LOVE II]
RomancePernikahan tak pernah terbayang dalam benak Naufa yang belum berumur genap 21 tahun. Namun, tiba-tiba saja semua itu terjadi. Tepat ketika dia menyanyikan lagu Perfect-Ed Sheeran ketika sang mempelai wanita melangkah mendekat pada mempelai pria yang...