Terdengar begitu jelas, suara derit dari roda kereta api yang berputar di atas rel besi yang begitu panjang. Rel besi yang saling berkait memanjang dan tak terlihat ujungnya. Aku percaya siapapun penumpangnya akan dibawa menempuh perjalanan yang begitu panjang tanpa akhir. Perjalanan yang sangat berkesan dan kami semua terbiasa menyebut itu sebagai kenangan.
Ya, kenangan.
Desember 2015, beberapa hari sebelum hari natal ketika aku bertemu dengannya. Seorang perempuan yang menjadi teman seperjalananku malam itu. Perempuan muda yang sepertinya seusiaku, 22 tahun. Perempuan yang belum kuketahui namanya, wajahnya cukup manis, bermata buat dan hidung turned-up. Hidung dambaan para wanita. Heavenly, seperti Carey Mulligan aktris film Pride & Prejudice tahun 2005. Kulitnya begitu eksotis, khas Indonesia sawo matang terbakar matahari.
Perempuan itu menggunakan pakaian dan aksesoris yang didominasi warna merah. Jaket hoodie merah tua dengan tanktop merah muda di dalamnya beserta sepatu converse yang terlihat baru saja diambil dari sebuah toko berwarna merah. Dia melihat kearah nomor bangku yang ada di hadapanku, 12A dan 12 B. Dia melirik ke arahku dan bibirnya yang bergincu merah burgundy itu tersenyum ramah. Aku membalas senyuman seperlunya.
Tanpa perlu dipersilakan, Perempuan itu segera duduk di bangkunya tepat di hadapanku. Melihat aksinya yang leluasa meletakkan tas jansport merahnya di bangku kosong sebelahnya, aku menduga dia memesan dua bangku sama sepertiku.
Ya, aku memang sedang tidak ingin berbagi bangku dengan siapapun hari itu. Perjalanan menuju ke Yogyakarta ini begitu panjang, sekitar 10 jam dengan kereta ekonomi. Aku tidak ingin menghabiskan perjalanan hanya untuk menyiksa diri duduk dengan tegap bersebelahan dengan orang yang tidak aku kenal. Lebih baik aku memesan tiket lebih dan membiarkan bangku disebelahku ini kosong. Sehingga aku bisa dengan sesuka hati duduk dengan berbagai macam gaya disaat bosan dan badan mulai pegal karena duduk.
Sejak duduk di bangkunya, perempuan ini tidak bisa diam. Ada saja hal yang dilakukannya sambil menunggu kereta berjalan, seperti membuka-buka tasnya sambil mengecek-ngecek sesuatu, bolak-balik ke kamar mandi, sampai bernyanyi-nyanyi kecil. Mungkin itu usahanya untuk menarik perhatianku yang sedang sibuk membaca dan mulai mengajaknya bicara.
Semua perempuan sering melakukan itu.
Terlalu menjaga prestis-nya untuk memulai dan membiarkan pria yang datang lebih dulu.
Tapi sayang, aku masih lebih tertarik untuk menyelesaikan membaca buku a Film Language, semiotics of the cinema karya Christian Metz ini.
Sebenarnya tanpa dia berusaha menarik perhatianku, aku sudah sangat tertarik sejak pertama kali aku melihatnya. Wajahnya yang sederhana, entah mengapa sangat begitu menyita.
Sehingga meskipun buku Film Language ini yang aku pegang, perhatianku tetap tertuju padanya. Tak bisa kupungkiri, sepasang mata yang nakal ini begitu bebas mencuri pandang ke arahnya beberapa kali.
Sialnya kenakalanku ini tertangkap basah olehnya.
Mata kami tanpa sengaja beradu saat dia tanpa sengaja melihat ke arahku saat sedang mendengarkan music melalui earphone-nya. Wanita itu tersenyum.
Tatapannya saat itu seperti sudah direncanakan sebelumnya. Seakan dia telah menanti-nanti untuk mengatakan "Finally I caught you!!!".
Aku berusaha tetap tenang, meskipun aku menelan air liur karena terkejut melihat resposnya. Tapi sebagai laki-laki, aku harus tetap menjaga prestise-ku. Tidak lama aku menikmati senyumannya itu dan dengan tenangnya aku kembali melanjutkan membaca tanpa merespon balik senyumannya.
Aku yakin dia pasti penasaran denganku.
Terlalu percaya diri, tapi perempuan memang selalu suka dibuat penasaran. Itu adalah salah satu kunci untuk mendapatkan perhatiannya.
Setelah sekitar lima belas menit kami hanya duduk diam menunggu dan asik dengan diri kami masing-masing, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun Pasar Senen. Aku lirik jam tangan kesayangan yang melingkar di lenganku, pukul 21.45 WIB. Kereta Ekonomi ini akhirnya pergi meninggalkan peraduannya, bertualang selama 10 jam kedepan, mengitari dunia, melewati susunan rel besi yang selalu dilaluinya. Jalan yang sama dengan kisah yang berbeda-beda di dalamnya, di setiap gerbongnya, dan di bangkunya. Seperti kisah yang telah menantiku bersama dengan perempuan ini. Kisah yang cukup panjang menghabiskan banyak lembaran baru dalam kehidupan yang kembali terulang.
Aku selalu mengingat malam ini. Malam begitu panjang yang kuhabiskan bersama dengannya. Dua orang stranger yang terperangkap dalam kereta besi yang terus berjalan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LANANG. [END]
Romansa"Maybe for others i'm not a real anything. I'm not a boy, i'm not a girl. Yes, i'm a transgender."