Kiran meneguk kopi hitam yang baru saja di pesannya pada seorang Pramugara di dalam kereta api. Asapnya masih mengepul tapi Kiran cukup menikmati kopi hitamnya itu sembari mendengarkanku bercerita. Kiran menunjuk pada segelas teh panas yang berada di atas meja kecil di hadapanku.
"Minum dulu, gue traktir."
"Jadi cuma ini bayaran atas cerita gue?"
"Hahahaha." Kiran tertawa, "Exactly as you said before, Appreciate someone not always with money. So, I'm not going to appreciate your story with money."
Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum mendengar ucapan Kiran dan meraih segelas teh panas yang sengaja Kiran pesan untukku. Aku meniup teh panas itu sebelum akhirnya kuseruput pelan, manis. Seperti malam ini.
Kulirik jam tangan Daniel Wellington kesayanganku, terlihat jarum jam nya menunjukkan pukul 05.00 WIB. Jika sesuai dengan jadwal, sekitar satu jam lagi kereta yang kami tumpangi akan tiba di Yogyakarta.
"Raa, apa lo ingin menikah?"
Pertanyaan Kiran cukup menggelitikku, pertanyaan yang terdengar lucu.
"Apa pertanyaan ini adalah salah satu keresahan yang membawa lo pada perjalanan ini?" aku mencoba menganalisa.
Kiran tersenyum sinis, "Apapun itu, gue cuma butuh jawaban lo."
"Tidak akan ada jawaban tanpa sebuah penjelasan lebih dulu, Ran."
Kiran menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya pada bangku, "Ya, gue lagi galau luar biasa. Salah seorang pria yang sering gue temani meminta gue untuk menikah dengannya."
"Okey, lalu apa lo mencintai dia?"
"Permasalahannya bukan apakah gue mencintai dia tapi apakah benar ada seorang pria yang mencintai seorang lady escort seperti gue?" Tanya Kiran dengan begitu seriusnya.
"Apa masalahnya dengan seorang Lady Escort? Lo tetap seorang perempuan yang pantas untuk dicintai kok. Sekarang gantian lo yang menjawab, apa lo mencintai pria itu?" Aku memandang Kiran dengan tatapan yang tajam, penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh Kiran.
Kiran hanya diam. Tidak menjawab pertanyaanku.
Aku tahu dia berusaha tenang.
Kiran berniat untuk mengambil segelas kopi hitamnya, tapi kemudian aku menahan tangan Kiran, "Seseorang pernah mengatakan, orang akan minum sesaat sebelum dia ingin menelan kembali ucapannya yang sudah berada di ujung lidah. Oleh karena itu gue enggak akan membiarkan lo minum sampai lo menjawab pertanyaan gue terlebih dahulu."
Tangan Kiran bergetar. Kiran kemudian meletakkan kembali kopi hitamnya itu. Dia mengambil nafas panjang dan menatap ke arahku, aku merasakan ketegangan diantara kami, "Gue enggak pernah tau cinta itu apa."
"Maksud lo?"
"Serius. Gue terlalu takut untuk jatuh hati dan mencintai seseorang."
"Kalau begitu kenapa ajakan pria itu untuk menikah menyita perhatian lo? Sedangkan lo aja enggak mencintai dia, enggak tau bahkan rasanya cinta itu seperti apa." Aku kesulitan untuk memahami apa yang ada di dalam pikiran Kiran.
"Buat gue pernikahan itu cuma sex halal."
"Sex halal?" Aku tertawa mendengar ungkapan Kiran itu, yang terdengar begitu unik dan sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku akan ada seorang perempuan yang memberikan jawaban seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANANG. [END]
Romance"Maybe for others i'm not a real anything. I'm not a boy, i'm not a girl. Yes, i'm a transgender."