1998, adalah tahun saat usiaku limatahun. 13 Maret 1993 adalah tanggal dimana aku pertama kalinya pergi meninggalkan kantung sempit dan gelap itu, keluar sebagai seorang anak manusia yang menangis, merengek, ingin didengarkan, ingin dipeluk dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.
Pertama kalinya aku melihat pemilik suara lembut yang selalu kudengar dari dalam kantung sempit dan gelap bernama Rahim itu.
Ibu.
Sejak hari itu aku tinggal bersama dengannya, Ibu serta Bapak.
Mereka selalu mengatakan bahwa kami adalah keluarga.
Setiap hari mereka bergantian menggendongku dengan penuh kasih sayang. Memanjakanku dalam pelukannya.
Mengajakku berbicara banyak hal, padahal aku sama sekali tidak mengerti dengan apapun yang mereka ucapkan. Aku hanya senang mendengar suara mereka.
Setiap pulang dari kerja, Bapak pasti langsung mencari keberadaanku. Dia menciumi keningku dengan lembut meskipun mataku telah terpejam karena Bapak pulang terlalu malam. Dipagi haripun sebelum berangkat kerja, Bapak menyempatkan dirinya untuk menggendongku dan berbicara denganku.
Aku senang melihat tatapan mereka yang berbinar bagai cahaya pagi yang menghangatkan. Senyuman mereka bagai pelangi yang indah mewarnai disetiap harinya. Sungguh sempurna saat itu.
Dan kemudian dia datang.
Ibu dan Bapak memintaku memanggilnya adik.
Mereka sangat bahagia dengan kehadiran adik.
Terutama Bapak.
Adik adalah anak yang selama ini ditunggu oleh bapak.
Anak Laki-laki.
Anak kebanggaannya.
Aku bahagia atas kehadiran adik menjadi bagian dari keluarga kami. Ibu memintaku untuk menyayanginya seperti mereka menyayangiku selama ini. Aku rasa aku bisa memenuhi keinginan mereka, karena aku ingin menjadi anak yang baik.
Aku ingin menjadi seorang kakak yang baik.
Aku ingin kedua orangtuaku melihat bahwa aku adalah anak yang baik, anak yang mendengarkan kedua orangtuanya, anak yang sayang dengan keluarganya.
Ketika itu usiaku satu tahun, saat adik datang ke keluarga kami. Dia begitu lucu dalam balutan kain yang menghangatkan tubuhnya itu, bedong. Kata ibu, setiap bayi harus dibedong supaya kakinya lurus. Dulu Ibu juga melakukan itu untukku.
Begitu adik lahir, Ibu menghentikan ASI untukku. Aku dipaksa meminum susu kemasan.
Ibu melakukan berbagai cara agar aku jera meminum ASI-nya.
Disuatu siang Ibu memetik beberapa lembar daun papaya di depan rumah kami dan kemudian menumbuknya hingga halus. Setelah itu Ibu melumuri payudaranya dengan daun papaya yang sudah ditumbuk itu kemudian membiarkan aku untuk meminum ASI-nya.
Tapi usahanya itu sia-sia. Aku meminum ASI-nya lebih lahap dari sebelumnya, seperti bayi yang kehausan. Setelah selesai dengan itu, aku merangkak turun dari pangkuan Ibu dan menghampiri tumbukkan daun papaya.
Aku mencolek tumbukkan daun papaya itu dan menatap kearah Ibuku. Aku lalu menjilat olesan daun papaya di jariku sambil terus menatap Ibu seakan menantang, "Lihat, ini tidak mempan untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
LANANG. [END]
Romance"Maybe for others i'm not a real anything. I'm not a boy, i'm not a girl. Yes, i'm a transgender."