8. SEDIKIT TENTANG BAPAK

397 30 1
                                    


Aku ingat ketika usiaku satu tahun, ketika itu Ibu sedang mengandung adikku. Usia kandungannya delapan bulan. Bulan depan adalah bulan Agustus, bulan yang akan menjadi bulan kelahiran adikku.

Kami saat itu tinggal di rumah Nenek.

Nenek adalah Ibu dari Bapak.

Rumah nenek tidak besar, hanya ada dua kamar berukuran 5x5m. Dapurnya berada di luar rumah, dibagian belakang dan lantainya terbuat dari semen tanpa keramik.

Aku jarang buang air besar di rumah ini karena aku tidak suka dengan toiletnya. Begitu jorok dan sering sekali mengeluarkan bau yang tidak sedap. Kata Bapak saluran di toilet ini memang kurang baik sejak dulu. Selain itu juga pintunya terbuat dari triplek yang hanya berfungsi sebagai penutup dan tidak dapat dikunci.

Untukku rumah nenek adalah rumah yang menyeramkan dan aku tidak betah berada disini. Hampir seluruh ruangan lampunya berwarna kuning. Ditambah lagi di daerah ini, hujan sedikit rumah Nenek bisa terendam air. Sering sekali terjadi banjir. Karena itu beberapa barang milik nenek kayunya terlihat keropos.

Rumah ini mirip sekali dengan gubuk nenek sihir dicerita dongeng.

Aku tidak pernah betah berada di sini.

Tapi aku harus menjadi seorang anak yang baik untuk menyenangkan hati Bapak. Bapak sudah terlalu sering marah-marah belakangan ini. Bapak membawa aku dan Ibu ke tempat Nenek karena bertengkar dengan Eyang.

Bapak selalu merasa dirinya direndahkan oleh Eyang yang memiliki garis ekonomi lebih baik dibandingkan keluarga Bapak. Padahal mungkin itu hanya perasaan Bapak saja karena Bapak yang selalu merasa dirinya rendah dimata Eyang.

Orangtua Bapak sudah bercerai sejak kecil.

Kakek menikah dengan perempuan lain dan meninggalkan nenek sendirian mengurus sepuluh anaknya. Bapak adalah anak kelima.

Sebagai anak laki-laki pertama di keluarga ini, Bapak selalu berusaha hidup mandiri sejak kecil . Bapak bahkan pernah menjual Koran di lampu merah untuk tambahan uang jajannya.

Aku tidak pernah mendengar tentang masa kecil Bapak dari dirinya sendiri. Kami tidak pernah bisa bicara dengan baik. Bahkan hingga dewasa, hubunganku dengan Bapak hanya seperti seorang anak kost dan penjaga kostan. Mulut dan sikap Bapak yang begitu kasar membuatku tidak pernah tahan berada di dekatnya. Padahal sejak kecil aku selalu ingin berada di sampingnya meskipun Bapak tidak pernah menginginkanku dalam hidupnya.

Tapi setiap kali aku mendengar Bapak memakiku dan membandingkan dengan dirinya sewaktu kecil, aku melihat ada kesedihan di matanya. Kesedihan akan masa lalu yang menyakitkan. Aku bisa melihat itu meskipun Bapak tidak bercerita.

Aku tahu cerita masa kecil Bapak dari Budeh dan Bulekku. Budeh adalah kakak dari Bapakku, dia orangnya sangat arogan dan egois sedangkan Bapak orangnya sangat semaunya sendiri dan ingin dianggap benar dan hebat. Hubungan mereka tidak pernah cocok, sejak kecilpun mereka selalu bertengkar dan dewasa ini mereka masih saja bertengkar. Tapi itu tidak mengurangi kedekatanku dengan Budeh dan sepupuku. Budeh sering bercerita tentang kejelekan Bapak, saat Budeh bercerita aku tidak pernah mendukung ucapannya meskipun aku setuju dengan semua yang diucapkan Budeh, akupun tidak membela Bapak karena semua yang dikatakan Budeh itu benar. Aku memilih untuk diam dan mendengarkan kisah mereka.

Aku tahu bagaimana Bapak di didik dan dibesarkan dengan cara tentara. Dipukuli di dalam karung dan digantung saat dia nakal. Aku tahu itu rasanya sakit. Aku pun merasakan perbuatan itu dari Bapak, meskipun yang aku rasakan lebih menyakiti batinku dibandingkan dengan tubuhku. Itu yang membuatku selalu mempertimbangkan kebencian terhadap Bapak. Mungkin semua yang terjadi pada Bapak tidak sepenuhnya kesalahannya. Dia dibesarkan bukan dengan cinta dan kasih sayang, tapi dengan penderitaan.

LANANG. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang