Aku tidak lagi berani mencuri-curi pandang kearahnya, aku yakin jika sekali lagi aku tertangkap mata olehnya, aku pasti akan ditelanjanginya. Ditelanjangi oleh kemenangannya dan merusak kredibilitasku sebagai seorang pria gentlemen. Aku tidak akan merusak itu.
Tapi memang sifat dasar pria, nafsuku terlalu besar mengalahkan logika di kepalaku. Rasanya tak tertahan lagi. Aku tidak bisa menahan waktu lebih lama untuk tidak melihat dirinya, untuk tidak mencari tahu apa yang sedang dia lakukan di depan sana. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menunduk dan membaca. Leherku rasanya begitu pegal. Aku sudah tidak nyaman dalam posisi ini namun rasanya aku seperti terpaku dalam pose menawan yang sengaja aku ciptakan sejak pertama bertemu dengannya. Pose yang sayang untuk aku rubah karena aku yakin perempuan itu begitu tertarik melihatku dengan gaya serta duniaku sendiri.
Aku sangat yakin beberapa kali perempuan itu pun melirik ke arahku, hanya menunggu waktu hingga dia akhirnya mengalah dan mengajakku untuk bicara lebih dulu. Cepatlah, aku sudah tidak sabar.
Aku masih menahan untuk tidak melihat kearahnya. Rasa penasaran ini semakin besar. Rasa penasaran yang menjadi tujuanku untuk memikatnya malah berbalik mengujiku. Menghakimi semua asumsiku.
Aku tidak tahan lagi.
Aku kalah oleh pesonanya.
Pesona perempuan.
Aku menutup buku Film Language yang sudah hampir sejam menemaniku di atas kereta. Menguap sebentar sambil melepas kacamata yang sejak tadi kukenakan. Dengan santai tanpa merasa ada beban atau malu karena tadi sempat tertangkap mata olehnya, aku melihat kearah depan. Memperhatikan perempuan itu yang masih asik mendengarkan lagu lewat earphone-nya sambil menatap keluar jendela.
Lucu.
Aku berpikir posenya saat itu begitu menawan.
Aku menahan tawa. Menertawai diri sendiri.
Bibirku bergetar, tidak mampu untuk memulai percakapan. Rasanya seperti ada yang tertahan. Aku yakin ini bukan lagi tentang mempertahankan prestise. Ini semacam rasa takut. Takut untuk memulai sesuatu lebih dulu.
Perempuan itu kemudian menoleh kearahku. Melihatku yang sedang memandanginya. Selama beberapa detik kami saling berpandangan, tanpa bicara.
Perempuan itu kembali tersenyum, "Enggak baca lagi?"
Dia yang memulai percakapan ini. Apakah aku bisa berkata 'Aku menang' ?
"Enggak. Pusing membaca saat kereta berjalan. Sendirian?" Aku berusaha menjawab pertanyaannya dengan tenang. Seakan sudah terbiasa berbicara dengan seseorang yang baru saja
"Seperti yang lo liat, sendirian." Jawab perempuan itu singkat, lagi-lagi dengan senyuman. Dan senyumannya itu semakin manis, membuat degup jantungku semakin cepat, semakin sulit bernafas. Aku menarik nafas panjang dan membetulkan posisi dudukku. Ingin sekali rasanya meneruskan percakapan ini tapi aku kesulitan untuk memilih kata-kata. Sementara itu, dia seperti sedang menunggu usahaku untuk mengenal dirinya lebih jauh. Aku mengalihkan kecanggunganku itu dengan sibuk sendiri menyimpan buku di dalam tas-ku.
"Orang film, ya?" Perempuan itu kembali mengalah dan kembali memberiku pertanyaan. Agak terkejut mendengar pertanyaannya tapi tanpa menunggu lama, dia telah mendapatkan jawabannya.
"Bukan, seniman film." Aku tersenyum.
"Ohh, memang beda ya orang film dengan seniman film?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LANANG. [END]
Romansa"Maybe for others i'm not a real anything. I'm not a boy, i'm not a girl. Yes, i'm a transgender."