11. PINTU KAMAR YANG SELALU TERKUNCI

341 27 1
                                    


Aku telah menemukan tempat persembunyian baruku. Kamarku sendiri. Semenjak usiaku sebelas tahun, aku diperbolehkan untuk menempati kamarku sendiri oleh Ibu. Aku menata kamarku dengan perabotan seadanya dan sebuah televise di kamar. Bagiku sudah cukup jika ada televise dan kasur untukku tidur.

Aku jarang menghabiskan waktu di kamar, paling kamar hanya sebagai tempat untukku tertidur. Dari pulang sekolah sampai malam sebelum tidur, aku biasanya berada di ruang tengah untuk belajar sambil menonton acara televise.

Di rumah, Ibu selalu memberikan aturan. Dari pulang sekolah sampai jam lima sore, aku dan adikku bebas untuk bermain tapi tidak boleh lupa untuk tidur siang terlebih dahulu sepulang sekolah. Diatas jam lima sore kami sudah harus berada di rumah untuk mengerjakan Peer dan belajar untuk esok harinya hingga jam delapan malam. Biasanya Ibu mematikan televise kalau ada ulangan untuk hari esok.

Karena keluarga Ibu semuanya berbasic Guru, ibu menjadi keras dalam mendidik kami. Ibu tidak ingin kami mendapatkan nilai jelek dan ingin kami menjadi yang terbaik di dalam kelas kami.

Sejak kecil aku terlahir dengan otak yang lebih pintar di bandingkan adikku yang penyakitan dan sering kejang-kejang sendiri. Aku bisa menghapal dan mengerti sesuatu lebih cepat di banding adikku, hanya dalam satu kali baca aku sudah bisa mengingatnya. Kepintaranku itu malah membuatku malas. Aku jadi berpikir untuk apa menghapal ulangan besok? Lebih baik besok pagi bangun tidur aku langsung menghapal dan langsung mengerjakan ulangan, lebih efisien dan ingatanku pun masih cemerlang dibandingkan menghapal malam.

Sementara adikku yang otaknya agak-agak lemot itu malah rajin sekali belajar agar tidak ketinggalan di kelasnya. Aku akan berikan jempol untuk kerajinan adikku itu, tapi tetap saja dia tidak dapat mengalahkanku karena aku lebih pintar darinya dan kapasitas otak adikku jauh dibawahku.

Tapi Ibu tetap tidak pernah mengizinkanku untuk belajar keesokan harinya. Ibu tetap memintaku belajar setiap malam. Menghapal untuk ulangan besok. Setelah itu Ibu akan mengujiku dengan memberikan pertanyaan seputar apa yang aku pelajari barusan. Jika aku masih belum lancar dalam menjawab pertanyaan, maka Ibu akan memintaku untuk belajar kembali hingga aku hapal diluar kepala. Jika aku salah menjawab pertanyaan maka Ibu akan mencubitku hingga merah atau bahkan membiru. Aku rasanya seperti belajar di dalam tekanan.

Ibu bilang dia tidak punya seorang anak yang bodoh.

Karena itu jika aku ingin diakui sebagai anaknya, aku harus belajar dengan giat dan menjadi nomor satu di kelas. Aku yakin aku bisa.

Tapi semua tidak semudah harapanku. Aku tidak pernah mencapai posisi satu di kelasku, selalu posisi ke dua atau ketiga. Memang sialnya ada seorang anak genius yang tidak akan pernah bisa aku kalahkan di kelas, namanya Jonathan. Tubuhnya kecil tapi otaknya luar biasa encer. Sehingga sekuat apapun usahaku tetap aku hanya menjadi nomor dua. Aku benci. Aku benci selalu menjadi yang kedua.

Sementara itu adikku yang kapasitas otaknya jauh dibawahku memiliki kelas yang lebih beruntung. Daya saing di kelasnya tidak seketat kelasku, adikku pun selalu menjadi nomor satu di kelasnya. Bahkan dia selalu dipuji oleh guru-guru.

Ibu selalu bahagia saat mengambil raport adikku. Wajahnya semeringah bangga karena akan dimandikan pujian oleh guru dan orangtua murid lainnya yang membanggakan adikku. Ya, dia memang selalu menjadi juara satu di kelasnya. Berbeda denganku yang hanya menjadi nomor dua, atau bahkan tiga.

Pernah satu kali dalam hidupku sepanjang aku duduk di bangku SD, peringkatku turun menjadi empat. Itu karena ada seorang anak pindahan baru yang juga sangat pintar bernama Audrey. Peringkatku turun dan Ibu memarahiku habis-habisan di rumah. Dia memintaku untuk meniru adik yang terus bisa mempertahankan rangkingnya di kelas. Selalu menjadi nomor satu. Ya! Nomor satu bahkan di rumah ini! Dan aku hanya sampah yang tidak berarti apa-apa. Aku hanyalah seorang anak bodoh yang tidak pernah bisa membanggakan orangtua. Itu memang aku.

LANANG. [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang