Sejak aku tumbuh dewasa, aku tidak pernah takut lagi pada Bapak. Aku selalu membela diriku sendiri jika aku merasa tidak melakukan kesalahan. Tidak ada yang perlu aku takutkan selama aku benar. Jika dia memanggilku dengan nama kebun binatang, aku akan kembali memanggilnya dengan nama bintang lain di kebun binatang. Jika dia meneriakiku dengan keras, aku akan menjawab dengan nada suara yang tidak kalah keras. Jika dia melempariku dengan barang, aku juga akan melempar dengan barang.
Semua yang dia lakukan padaku akan kulakukan kembali padanya. Aku hanya meniru cermin di hadapanku, Bapak.
Aku semakin dikenal dengan anak pembangkang yang kurang ajar. Aku memang seorang anak yang kurang ajar, seluruh keluarga tahu itu. Tapi mereka juga tahu bahwa Bapak adalah seorang yang emosional yang sering membuat onar. Rekan kerjanya pun tidak ada yang betah berurusan dengan dia. Tidak begitu banyak teman yang ada di sekitar Bapak. Mana mungkin mereka tahan berurusan dengan manusia yang selalu berpikiran negative seperti Bapak.
Aku ingat saat pertama kali aku berani melawan Bapak. Saat itu usiaku lima belas tahun. Aku melihat Bapak hendak menampar Ibu dengan tangannya yang besar itu. Aku berlari dan segera menahan tangan Bapak dengan tangan kecilku. Alhasil Bapak malah menamparku.
Aku berusaha membalas perbuatan Bapak tapi aku tidak memiliki cukup kekuatan untuk itu. Bapak kemudian meludahiku. Aku bukan sampah atau manusia hina yang pantas diludahi. Aku membalas perbuatan Bapak. Kuludahi Bapak dengan penuh kebencian.
Bapak bertambah murka. Dia mengambil pisau dan mengancam ingin menusukku. Dia bilang dia tidak takut masuk penjara hanya karena membunuh anak sialan sepertiku. Akupun tidak takut masuk penjara jika Bapak benar ingin menusukku dan aku membela diri dengan kembali menusuknya. Aku sudah tidak dapat berpikir apa-apa. Aku takut, tapi aku muak dengan semua ini. Jika kami hanya selalu diam, Bapak akan terus-terusan menginjak-injak kami sesuka hati dan itu tidak bisa terus dibiarkan terjadi.
Aku harus melawan Bapak.
Aku harus menunjukkan bahwa kami adalah manusia yang juga ingin dihargai sama seperti dirinya. Kami lelah hanya menuruti keinginan dan amarahnya setiap hari. Menunduk ketakutan setiap kali Bapak bicara. Aku muak. Ingin rasanya kumuntahi ini semua di wajahnya.
Ibu melerai kami. Ibu sadar jika ini diteruskan akan terjadi pertumpahan darah diantara kami.
Bapak bisa kalap mata dan membunuhku.
Aku tidak takut.
Bunuhlah aku dan tinggalah di penjara seumur hidupmu.
Atau mungkin lebih baik tinggal saja dalam neraka sana, tempat dimana setan seperti Bapak berasal.
Berkat Ibu ketegangan diantara kami meregang. Ibu memintaku mengalah dan masuk kembali ke dalam kamar. Aku tidak bisa menerima jika aku harus mengalah, "Gue enggak takut ya sama lo!! Jangan seenaknya lo!!" Teriakku pada Bapak sambil masuk ke dalam kamar. Bapak melemparku dengan pisau. Tapi dengan cekatan aku berhasil menghindari lemparan pisau Bapak dan langsung masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar aku masih bisa mendengar celotehan Bapak yang tidak jelas. Manusia seperti dia lebih baik pergi dari kehidupan kami.
Setengah jam kemudian Ibu mengetuk pintu kamarku. Aku sudah tidak mendengar ada keributan di luar sana. Mungkin Bapak sudah pergi seperti biasanya. Baguslah, aku muak melihat atau bahkan mendengar suaranya.
Aku membuka pintu kamar dan membiarkan Ibu masuk ke dalam kamar.
"Kamu enggak seharusnya kurang ajar begitu sama Bapakmu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
LANANG. [END]
Romance"Maybe for others i'm not a real anything. I'm not a boy, i'm not a girl. Yes, i'm a transgender."