Bagian duapuluhtiga
***
Setelah mengurus administrasi, Jason kembali ke ruangan Sarah. Langkahnya melemah, terdunduk lesu, begitu rapuh. Dan, 15 menit lalu Jason sudah menghubungi Felix, menjelaskan semuanya yang terjadi, entah bagaimana reaksi orang rumah setelah tau kondisi Sarah melalui Felix. Namun, sebelum Felix memberitahu keadaan Sarah kepada se isi rumah, Jason melarangnya, ia tidak akan mengijinkan semua orang untuk ke Rumah Sakit malam malam. Biar dia saja yang menemani Sarah di Rumah Sakit malam ini. Lagipula, Ryn pasti sudah tertidur jika anak lelakinya itu terbangun, dan menemukan kenyataan bahwa ibunya sedang di Rumah Sakit, pasti Ryn akan memaksa kesini. Sedangkan Jason tau, Rumah Sakit tidak baik untuk anak seusia Ryn.
Begitu pintu terbuka, yang terasa hanyalah kesunyian, bau obat-obatan begitu menyengat. Jason masih mematung, melihat keadaan istrinya yang sekarang tidak berdaya. Sudah hampir 2 jam lebih, namun masih belum ada tanda Sarah akan siuman. Dengan langkah berat, Jason menghampiri bangkar Sarah, menarik kursi yang ada di sebelah ranjang Sarah, duduk di sana. Tatapannya berubah sayu, rasa sakit kembali mencengkram hatinya, menatap Sarah yang seperti ini. Terbalut selang infus, separuh wajahnya tertutupi alat oksigen, dan lilitan perban yang membalut lukanya. Jason merutuki kebodohannya berkali kali, dia sudah berjanji akan menjaga Sarah dari apapun. Sarah adalah hidupnya, dan lihatlah sekarang, separuh dari hidupnya sedang tidak berdaya.
"Hai.." Jason mengambil tangan Sarah, lalu menggenggamnya. "Bangunlah.." suara Jason bergetar, begitu pilu. "Maafkan aku, tidak bisa menjagamu. Bangunlah, kau hidupku. Sayang, aku tidak bisa.." napas Jason tercekat, dadanya bergemuruh, begitu sesak. Pria ini terlihat begitu hancur, sudah berkali kali Jason menciumi tangan Sarah, menggenggamnya begitu kuat. Tak terasa, matanya kembali memanas, tubuhnya menggigil, menahan tangisnya di ujung lidah. "Aku mencintaimu. Sayang, aku benar benar tidak bisa--bangunlah.." Jason membenamkan wajahnya pada punggung Sarah yang masih ia genggam.
Tiba tiba, terlintas Selena di pikirannya. wanita gila itu, sudah membuat hidupnya berantakan, dan sekarang mencoba menghancurkan separuh hidupnya lagi. Lelaki ini menggeleng, dengan emosi yang memuncak, ia mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
"Kita harus bertemu."
Sambungan terputus,
Jason menatap dalam wajah Sarah yang pucat pasih, menunduk lalu mencium keningnya cukup lama. "Aku akan menebus kesalahanku. Aku akan kembali, aku mencintaimu sayang." dengan langkah seribu, jason meninggalkan Rumah Sakit untuk menemui seseorang. Dia tidak bisa membiarkan ini terus menerus, keluarganya dalam bahaya. Ini harus segera berakhir. Batinnya
___
Wanita ini tersenyum licik, asap kembali mengebul dari balik gulungan nikotin yang ia hisap. Ia tidak menyangka, saat mendapat kejutan yang menyenangkan. Ia sedikit memutar-mutarkan ponsel miliknya, lalu beranjak pergi dari tempatnya.
Selena, perempuan ini tersenyum puas sesaat setelah Jason menghubunginya. Permulaan yang bagus. Soraknya dalam hati. Dengan langkah angkuhnya, Selena menuruni anak tangga dan pergi berlalu dengan mobil meninggalkan rumahnya.Di jalan, Selena tidak ada henti hentinya tersenyum, senyumnya mengandung kelicikan bercampur dengan dendam yang menggunung. Ia kembali mengingat, bagaimana tadi caranya menembak Sarah, Istri belia mantan suaminya itu. Wajahnya tidak sedikitpun menampilkan rasa bersalah, bahkan Selena ingin melukai orang orang yang ada disekitar Jason melebihi dia menyakiti Sarah. Katakan saja dia gila, psikopat, tidak waras. Perempuan ini tidak peduli, yang dia mau Jason kembali ke kehidupannya bersama dengan Ryn. Ia bisa melakukan apapun, membunuh siapapun asalkan Jason dan Ryn kembali kepelukannya.
Di lain tempat, Jason mengemudi mobil dengan tidak sabar, Ia harus menyelesaikan ini secepatnya. Selena, wanita gila itu, harus pergi dari hidupnya. Bayangan Sarah yang yang tertembak tadi masih menghantui dirinya. Dulu, Jason di masa lalu, memang mencintai Selena, namun saat ini cintanya hanya untuk Sarah, perempuan berusia 19 tahun itu berhasil mencuri semuanya, bahkan bisa di bilang Jason sudah sangat tergantung pada Sarah. Mengingat tawa lepas Sarah, senyum tipisnya, jiwa keibuannya. Membuat Jason berani bertekuk lutut, bersimpuh di depan Sarah. Tidak ada lagi ruang untuk wanita iblis itu, semuanya hilang, cintanya memudar bersamaan dengan kepergian Selena.
Jason menutup kasar pintu mobil, berjalan dengan langkah besar, menuju kedai kopi yang masih buka 24 jam di sebrang jalan. Disana, ditatapnya Selena yang sudah duduk dengan ditemani secangkir kopi. Jason dapat melihat senyum kepuasaan Selena, walau dari kejauhan. Suasana di kedai kopi tersebut hening, hanya ada beberapa orang yang yang mampir.
Selena tersenyum remeh, saat mendapati Jason yang sudah ada di depannya saat ini. Lihatlah, penampilan Jason begitu memilukan, teksudo hitam, dan kemeja putih yang berlumuran darah Sarah masih ia pakai, tak jarang juga jason menjadi bahan tontonan karna itu."Ck, miris sekali." Selena berdecak, dekacan yang mempunyai arti tersendiri baginya, bibirnya mencebik remeh. "Jadi, apa tujuanmu bertemu denganku? Untuk mengajakku menikah denganmu, lagi?" terdengar kekehan darinya setelah mengucapkan itu.
Jason menatap benci ke arah Selena, perempuan yang tidak lain adalah ibu dari putranya. "Pergi dari kehidupanku." Ucapnya nyalang, nadanya begitu mengintimidasi.
Selena terkekeh, ia menggeleng. "Tidak." detik berikutnya, tatapannya menajam, tidak terima. Sikunya bertumpu pada meja, tangannya mengatup, membentuk piramida. "Itu tidak akan aku lakukan." Selena menjeda kalimatnya, senyum iblisnya kembali muncul. "Ini masih permulaan, luka istri-mu masih belum seberapa. Tunggu hadiah-ku selanjutnya." Jelas Selena. Wanita ini menyampirkan Anak rambut yang mengganggunya. Selena dapat melihat kemarahan Jason yang begitu memuncak. Tapi Selena menyukai ini, ia begitu menikmatinya.
"Iblis!" Jason menggeram, tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Apa maumu sebenarnya." Jason kembali bersuara, menetralkan suaranya yang diselimuti Amarah.
"Astaga.." Selena tertawa, saat Jason memanggilnya Iblis. "panggilan yang bagus, Sayang." tatapannya kembali dingin, menatap dalam Jason. "Aku memang iblis." Selena menggantung kalimatnya, tubuhnya sedikit mendekat ke arah Jason. "Iblis yang akan menghantuimu, dan juga kehidupanmu." Lanjutnya lugas. Begitu menantang.
Mata Jason menyalang, penuh amarah. "Sedikit saja kau menyentuh keluargaku. Akan kubunuh, kau!" napasnya memburu disana, emosinya meledak ledak.
Selena kembali terkekeh. "Ck ck ck." wanita ini memainkan sendok kopi, lalu mengaduknya kembali. Menatap Jason remeh. "Apa kau bilang? Membunuhku? Untuk menjaga Istri-mu dari kelicikanku saja kau tidak bisa. Apalagi membunuhku." ia menggantung kalimatnya sebentar, sebelum berkata. "Mustahil Mr. Jason Wilstoon."
"Kau---
Drrtt.. Drrtt.. Drrtt..
Tiba tiba ponsel milik Jason berdering, membuat konsentrasinya terpecah, terpaksa menghentikan Ucapannya.
Siapa yang menelponnya larut malam begini?
Jason menyerngit, lelaki ini membelalak, saat tau ini nomor Pihak Rumah Sakit tempat Sarah dirawat, dengan tidak sabar, Jason menjawabnya.
Terdengar dari sebrang sana, bagian Resepsionis memberi tahu Jason agar segera ke Rumah Sakit sekarang juga. Napasmya tiba tiba tercekat, apa yang terjadi dengan Sarah? Yatuhan!
Dan Selena, perempuan itu melihat secara seksama ekspresi Jason setelah menerima panggilan masuk.
Setelah panggilan terputus, tanpa membuang waktu lagi, Jason berlari menuju mobilnya yang terparkir, meninggalkan Selena yang masih terduduk dengan berbagai pertanyaan yang ada di benaknya.Bersambung..
Dududu, sukanya emang bikin penasaran sih, sengaja dipotong di ujung klimaks, biar tambah gregett, wkwk. Tapi.. Responnya di part sebelumnya, kurang gregett ahh, jadi kurang semangat nulisnya, huhuhu😥
Selamat membaca❤
With❤
Wassalam,
Octha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married (TAMAT)
RomanceIni rumah tangga baru Sarah, namun tak semulus yang perempuan ini bayangkan. Menikahi duda, dan bertemu dengan masa lalu Jason, adalah awal terujinya rumah tangga wanita berusia 19 tahun ini. -FARXFALLA, 2016