Twelve

1.5K 257 8
                                    

Jimin menghela napasnya ketika ia baru saja menduduki dirinya pada kursi rodanya. Tak mudah baginya untuk berjalan sendiri tanpa bantuan seorang perawat seperti pagi tadi. Pandangannya beralih pada kedua kakinya saat ini.

"Kau harus kuat. Kau memiliki janji bukan pada Jisoo, bukan?" Ucapnya. Lebih kepada kedua kakinya saat ini dan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Jimin beralih menatap pada kamar Jisoo di sebrang sana. Aneh. Kamar gadis itu telah gelap padahal jam baru saja menunjukkan pukul 8 malam. Ia memilih untuk mendorong kursi rodanya saat ini menuju balkon kamarnya.

Menit berikutnya, Jimin bisa melihat sebuah mobil kini memasuki rumah Jisoo. Menampakkan gadis itu keluar dari sana dan dengan seorang pria yang saat itu dilihatnya.

Jimin bisa melihat keduanya terlibat adu mulut. Sama seperti terakhir kali ia lihat saat memergoki keduanya. Jimin tak benar-benar tahu siapa pria itu bagi Jisoo. Karena Jisoo terlihat tak menyukai kehadiran pria itu. Bahkan setiap mereka bertemu, Jimin selalu saja melihat Jisoo akan beradu mulut dengan pria itu.

Namun kejadian selanjutnya membuatnya terdiam. Saat pria itu menarik paksa Jisoo dan memeluknya dengan cepat. Ia merasakan jantungnya berdetak dengan cepat. Berakibat dengan dirinya yang bahkan tak bisa untuk bernapas dengan benar.

Jimin memilih untuk mendorong kursi rodanya dan dirinya masuk kembali ke kamarnya. Menutup pintu balkon beserta tirainya.

Jimin tak tahu ada apa dengannya saat ini. Ia bahkan masih berada di tempatnya saat ini. Belum beranjak dari posisinya yang berada tepat di depan pintu balkon kamarnya. Melihat Jisoo di bawah sana yang entah sedang melakukan apa dengan sosok pria yang ia temui sebelumnya itu.

Perasaannya begitu aneh. Seperti tak begitu menyukai apa yang pria itu lakukan pada Jisoo. Memeluknya dengan begitu erat. Bahkan Jisoo sama sekali tak menolak ketika tubuhnya dibawa masuk ke dekapan pria itu.

Pria itu menutup matanya dengan helaan napasnya. Memilih untuk menghilangkan pikiran serta perasaan tak enak yang sedang melanda dirinya saat ini.

Ceklek

Pandangan Jimin beralih. Menemukan sang Ibu disana yang datang ke kamarnya.

"Waktunya makan malam, tampan."

Jimin menghela napasnya. Mendorong kursi rodanya untuk mendekat pada Ibunya.

"Eomma, kenapa membawakan kemari? Eomma tinggal panggil aku saja jika sudah waktunya makan malam."

Ny. Park mengerutkan keningnya. "Tidak biasanya. Bukankah kau tak terlalu senang jika harus menggunakan tongkatmu dan turun ke bawah?"

"Untuk apa aku melakukan terapi pagi ini jika aku sendiri masih bergantung pada kursi roda?"

Ibunya tersenyum. Mencubit dengan gemas kedua pipi putranya.

"Kau benar-benar banyak berubah. Pengaruh Jisoo ternyata sangat baik untukmu."

Mendengar nama gadis itu, entah mengapa membuat Jimin kembali mengingat apa yang beberapa jam ia lihat tadi. Dan perubahan raut wajah itu ditangkap oleh Ibunya.

"Ada apa, sayang?"

Jimin dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Eomma, aku ingin sendiri. Bisa eomma keluar?"

"Huh? Tapi--"

"Aku baik-baik saja. Dan aku janji akan menghabiskan makananku."

Ibunya tak punya pilihan lain. Memilih untuk mengangguk setelahnya. "Baiklah. Ingat, jika sudah selesai, minum obatmu dan beristirahat."

her ❌ jimsooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang