Nineteen

1.5K 224 3
                                    

Hembusan angin itu menerbangkan sedikit helaian rambut milik gadis yang tertidur dengan lelapnya pada bahu pria di sampingnya. Pun dengan sang pria yang tersenyum sembari dengan lembut menyampirkan helaian rambut milik gadis itu.

Jisoo sama sekali tak terganggu dengan apa yang Jimin lakukan. Malah dirinya semakin menyamankan posisinya di samping pria itu.

Senyuman pria itu terbentuk ketika menatap pada gadis di sampingnya. Dan juga, jangan lupakan perasaan lega ketika ia bisa menyampaikan perasaannya tadi pada Jisoo.

Pandangan pria itu kini kembali beralih ke depan. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Dan memang dirinya tengah berpikir saat ini.

Apa setelah ini, keduanya akan baik-baik saja? Belum lagi dengan pertunangan Jisoo. Jimin tentu saja tak ingin itu terjadi. Meyakinkan kedua orang tua Jisoo? Ibunya saja sudah memberikan penilaian yang buruk padanya ketika pertama kali bertemu hanya karena keadaannya.

Dan helaan napas itu akhirnya keluar juga darinya. Ia bahkan tak tahu harus memulai darimana hubungan mereka ini. Jika begini, Jimin akan kembali menyalahkan dirinya dan juga keadaannya saat ini.

Apa pria itu menyesal?

Tidak, tidak sama sekali. Jika itu berkaitan dengan Jisoo, pria itu pasti tak akan berpikir dua kali untuk melakukannya.

"Kau mau pergi bersamaku?"

Suara itu membuat lamunan Jimin terpecah. Menatap pada Jisoo yang bahkan masih menutup matanya.

"Kau bicara apa tadi?"

Perlahan, Jisoo mulai membuka kedua matanya. Menyinggung langsung kedua matanya dengan Jimin.

"Ayo, kita pergi. Hanya berdua."

"Jisoo, itu bukan ide yang bagus."

"Lalu apa? Kau mau datang pada ibuku dan mengatakan hubungan kita?" Lalu beranjak dari berbaringnya dengan masih menatap pada Jimin. "Ibuku bukanlah orang yang gampang untuk dibujuk. Apalagi soal keinginannya. Jika dia sudah memutuskan, maka tak akan ada lagi yang bisa menahannya termasuk ayahku sendiri. Jadi lebih baik, kita pergi saja. Dengan begitu pula, pertunanganku dengan Taehyung akan batal karena eomma tak punya pilihan lain lagi."

Jimin hanya memasang senyumnya mendengar itu semua.

"Kenapa kau malah tersenyum? Aku serius tentang ini semua. Jika kita tidak pergi sekarang, pertunangan itu akan benar-benar terjadi. Kau mau aku benar-benar bertunangan dengan Taehyung?"

Jimin kini tertawa pelan. Semakin membuat kekesalan Jisoo bertambah dan membuat sebuah decakan keluar darinya.

"Kau menyebalkan. Kau benar-benar ingin aku bertunangan dengan Taehyung?"

"Siapa juga yang ingin kau bertunangan orang lain, hmm?"

"Lalu tadi? Apa kau bahkan hanya bercanda untuk ucapanmu tadi?"

Jimin tahu jika Jisoo saat ini hanya sedang ketakutan. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah menenangkannya. Membawa gadis itu untuk masuk kembali ke dalam dekapannya.

"Kau tahu? Aku sama sekali belum pernah merasakan suatu perasaan yang membuatku hampir gila karena memikirkannya. Bahkan hanya dengan sebuah senyuman saja. Kau tahu bagaimana kerasnya aku agar tak menolakmu? Sedangkan hatiku sangat ingin mendekatimu? Itu benar-benar sangat berat, Jisoo."

Jisoo hanya mengulum bibir bawahnya mendengar itu semua. Kini menyamankan dirinya dalam pelukan Jimin.

"Kenapa kau harus menahan dirimu dan menolakku? Dengan begitu, bukan kau saja yang tersakiti, tapi juga aku. Kau harus lihat bagaimana menyeramkamnya wajahmu ketika kau bersikap dingin."

Jimin tersenyum. Kini jemarinya mengelus surai milik Jisoo, dimana gadis itu tak mempermasalahkannya.

"Karena aku merasa tak percaya pada diriku sendiri. Itu mengapa aku mendorongmu menjauh dariku. Karena aku berpikir, kita mungkin tak akan pernah bersama melihat bagaimana keadaanku."

Jisoo masih diam. Tak pernah menyangka jika Jimin akan mempunyai pemikiran seperti itu. Membuat keinginannya untuk pergi bersama dengan pria itu semakin besar.

"Kalau begitu, kita pergi saja. Agar tak ada yang bisa merusak ataupun memisahkan hubungan kita."

"Bukan begitu jalan keluarnya, Jisoo."

Jisoo mendongak. Pun dengan Jimin yang mempertemukan sepasang mata keduanya.

"Aku sudah pernah mengatakan padamu, kan? Kau hanya harus menungguku sedikit lagi. Jadi, bisakah kau melakukannya?"

"Tapi--"

"Kumohon, jangan ragu. Dengan begitu, aku tak akan ragu pada diriku sendiri."

Jisoo tak punya pilihan lain saat ini. Dan membuatnya hanya bisa mengangguk setelahnya. Senyuman itu terbentuk di wajah Jimin, mengundang Jisoo untuk menarik kedua ujung bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman.

Keheningan di antara keduanya semakin bertambah. Ketika Jisoo dengan beraninya mendekatkan wajahnya, mempertemukan bibirnya dengan bibir milik Jimin.

Di awal, pria itu cukup terkejut. Namun perlahan, ia mulai membalas ciuman itu. Menangkup wajah itu dengan satu tangannya sekaligus menjadi pemimpin dalam ciuman pertama mereka.

.

.

Mobil itu telah terparkir dengan rapinya pada garasi rumah. Pun dari arah pintu kemudi, Lisa keluar dari sana. Dengan wajah lelahnya, bahkan untuk berjalan saja ia rasanya sangat malas sekarang.

Dan saat dirinya sudah sampai dan masuk ke dalam rumahnya, Lisa menjatuhkan begitu saja tubuhnya di atas sofa ruang tengah di sana.

Ia melirik ke sekitarnya. Seperti biasa, keadaan rumahnya dalam keadaan sepi. Kedua orang tuanya pasti tak akan pulang lagi hari ini. Membuatnya harus merasakan kesendirian lagi di rumahnya sendiri.

"Kenapa kau harus menungguku, huh? Aku bukan seseorang yang pantas untuk ditunggu. Aku juga bukan pria yang baik, yang pantas untuk kau sukai ataupun kau cintai."

Gadis itu menghapus dengan kasar airmata sialan yang jatuh begitu saja membasahi wajahnya. Mengingat kembali ucapan Taehyung saat itu padanya. Namun, ada juga rasa bingung dalam dirinya. Bagaimana bisa Taehyung mengatakan semua itu? Padahal, Lisa tak pernah mengatakan apapun pada Taehyung bagaimana perasaan gadis itu padanya.

"Ck, sudahlah. Pria itu benar-benar. Kenapa memangnya jika aku harus menunggunya?"

Dan bantal sofa yang ada di dekatnya, menjadi buah pelampiasan atas kemarahannya pada Taehyung saat ini.

"Nona, minumlah dulu."

Lisa melirik ke arah sebuah gelas yang berisikan jus mangga kesukaannya. Menatap pada Bibi Park, salah satu asisten rumah tangganya yang sudah ia anggap sebagai Ibunya sendiri. Mengingat bagaimana Ibunya sendiri bahkan lupa, jika ia masih mempunyai putri yang perlu kasih sayang darinya.

Lisa masih melirik pada Bibi Park, yang mengumpulkan sepatu miliknya yang ia lepaskan sebelumnya. Sial, kenapa hidupnya begitu menyedihkan saat ini? Membuatnya kembali menghapus airmatanya.

"Apa appa dan eomma menelpon kemari?"

"Belum ada telpon apapun dari Tuan dan Nyonya, Nona."

"Ck, sudah kuduga."

Lisa perlahan beranjak dari berbaringnya, meneguk jus mangga yang Bibi Park buat sebelumnya untuknya.

"Bibi.."

"Ada apa, Nona?"

"Bibi tetap tak mau bercerita padaku, apa yang sudah kulakukan saat aku mabuk?"

Lisa bisa melihat bagaimana Bibi Park yang kini menghela napasnya, beralih untuk menatapnya.

"Tapi Tuan Taehyung--"

"Tinggal cerita saja, bibi. Kenapa harus peduli pada ucapan pria gila itu?"

Bibi Park akhirnya tak punya pilihan lain, selain menceritakan apa yang sudah Lisa lakukan saat mabuk.

--To Be Continued--

her ❌ jimsooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang