Twenty Nine

1.3K 180 4
                                    

Jisoo sama sekali tak melepaskan genggamannya pada Jimin, membuat pria itu hanya bisa menghela napasnya. Apa sebegitu bencinya Jisoo pada Ibunya sendiri? Atau gadis itu hanya sedang ketakutan karena mungkin dirinya akan kembali dimarahi oleh Ibunya?

Hingga ia menyadari, jika mobil yang membawa keduanya saat ini telah terhenti. Sementara Jisoo melirik ke arah luar sana, masih terlihat ragu hanya untuk turun dan menemui Ibunya.

"Aku ingin kita semua bicarakan baik-baik."

Ucapan Seokjin mengalihkan perhatian Jisoo. Membuat gadis itu mendecih setelahnya.

"Sebaiknya Oppa katakan itu pada eomma, bukan aku."

"Tapi dia ibumu. Seharusnya kau juga bisa mengerti bagaimana keadaan eomma. Kau pergi saat pagi hari dan baru kembali saat malam. Kau bahkan tak menjawab telpon dari eomma sama sekali. Bagaimana eomma tak khawatir padamu?"

"Apa Oppa menyalahkanku dan membela eomma?"

"Aku tak membela siapapun. Aku hanya ingin kau mencoba mengerti kekhawatiran eomma terhadapmu."

"Bukankah sudah kukatakan aku akan pergi dengan Jimin? Dan Oppa lihat bagaimana reaksinya. Eomma tak menyukai Jimin bahkan membenciku."

Seokjin kembali menghela napasnya. Tak tahu mengapa dirinya dan Jisoo harus berdebat karena hal ini. Pun dengan pria itu yang kini beranjak keluar dari mobilnya.

"Ayo turun. Kau harus bicara dengan eomma."

Jisoo tampak terlihat ragu di awalnya. Namun ia juga tak mungkin melawan kakaknya. Jadi yang dirinya lakukan adalah mengikuti kemauan Seokjin.

"Kurasa, aku akan pulang saja."

Ucapan Jimin membuat Jisoo dengan cepat menatap pada pria itu.

"Kenapa begitu?"

"Kurasa, akan lebih baik jika aku tak ada disana juga. Kau tahu? Hanya mencegah kejadian yang tak diinginkan kembali."

Ucapan Jisoo menggantung begitu saja di udara. Melihat Jimin yang mengangkat satu tangannya, seolah menghentikan ucapan Jisoo.

"Bicarakan baik-baik pada ibumu. Aku yakin, dia pasti akan mengerti dirimu."

Jisoo tak lagi berbicara. Bahkan ia tak menghentikan Jimin yang sudah berlalu pergi dari keduanya.

"Kau bisa selesaikan ini semua, Jisoo."

Pandangan gadis itu beralih kepada Seokjin.

"Aku tak yakin, Oppa. Kau tahu sendiri bagaimana eomma. Dia bukanlah orang yang gampang untuk dibujuk. Apalagi jika itu keinginannya."

Kepala gadis itu tertunduk, dengan memainkan jari-jemarinya. Dan Jisoo tak menolak, ketika jari telunjuknya dimainkan oleh sang kakak.

Itu adalah kebiasaan keduanya. Ketika sang adik tengah merasa sedih, maka pria itu akan mengelus dengan lembut jari telunjuk sang adik. Berusaha untuk menenangkannya.

"Semua ibu pasti menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Termasuk dengan eomma. Semua yang dia inginkan pastinya adalah untuk kebaikanmu, sama halnya denganku."

Jisoo masih diam. Masih mendengarkan dengan baik ucapan Seokjin.

"Aku tahu eomma bersalah karena telah berkata yang menyakitkan hatimu. Dan tugas kita tentu saja mengatakan padanya, bahwa apa yang dia lakukan salah. Bukan dengan cara kau juga ikut marah dan mengatakan jika kau membenci eomma. Itu sama saja kau juga menyakiti hatinya. Kau mengerti maksudku, kan?"

her ❌ jimsooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang