'Tapi, apakah kau tahu rasanya mencintai namun bertahan untuk tidak memiliki?
Bertahan untuk tidak mengungkapkan?
Percayalah, ini lebih buruk dari sekedar...
Patah hati...'
----
Genta menatap hambar sebuah kotak berisi pizza di depannya. Baru kali ini ia mengabaikan makanan kesukaannya itu. Karena biasanya ia akan segera melahap apapun makanan yang berada di dekatnya. Tetapi tidak dengan kali ini.Duduk di atas karpet berwarna abu-abu gelap di dalam kamarnya, punggungnya sengaja ia senderkan di tepi ranjang kasur. Sementara kedua tangannya sibuk menekan tombol-tombol di stick game-nya.
"Payah lo!"
Sebuah pukulan kecil dari seseorang di sebelahnya tepat mengenai lengan kekarnya. Genta hanya meringis, bukan kesakitan tapi lebih ke menertawai dirinya sendiri.
Ini sudah dua jam lebih ia bermain game bersama Al di dalam kamarnya, dan sudah berkali-kali pula ia kalah dari permainan PES-nya. Entah, rasanya ia tidak bersemangat sama sekali selama beberapa hari terakhir ini.
"Genta."
Samar-samar telinga Genta menangkap suara Bundanya dari balik pintu kamar. Ia segera bangkit meninggalkan Al yang sedang memakan pizza dengan lahap hingga pipinya menggembung.
"Ya, Bun?" Genta membuka pintunya, menemukan Gisel yang sudah berdiri di balik pintu.
"Caca dari tadi telfon nanyain kamu. Mau diajak ke Dufan katanya. Si Tristan yang maksa mulu sampai telinga Caca budheg."
Genta sedikit tertawa mendengar Bundanya yang berbicara tanpa jeda itu.
"Gak mau pergi? Biasanya kamu semangat pergi sama mereka."
Genta kembali tertawa, kali ini terdengar seperti terpaksa. "Tolong bilang ke Caca, di rumah lagi ada Al. Gak enak ditinggal."
Gisel mengernyitkan dahinya, seperti ada yang tidak beres dengan anak bungsunya itu. "Bilang sendiri! Kan kamu punya handphone!" ujarnya sebelum berbalik dan berjalan menuruni tangga.
Sementara Genta masih terdiam di ambang pintu. Ia menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia menutup pintu dan berjalan ke arah Al yang masih sibuk menggigit pizza.
"Handphone lo bunyi terus." ujar Al ketika Genta sudah duduk kembali di sampingnya. "Caca nelpon."
Genta melirik ponselnya yang sengaja ia geletakkan begitu saja di atas karpet. Ada nama Caca yang tertera di layar ponselnya. Biasanya, tanpa menunggu waktu lama Genta selalu mengangkat panggilan dari Caca itu dengan cepat. Tapi, kali ini berbeda. Ia mengacuhkan panggilan dari sahabatnya itu. Entah sudah berapa kali Caca menghubunginya sejak tadi malam, tapi ia sengaja tidak menjawab satupun panggilan Caca.
Al menatap Genta tajam dengan kedua mata sipitnya itu. Ia merasa heran dengan teman sebangkunya yang mendadak murung tidak seperti biasanya yang selalu saja cerewet dan banyak tingkah.
"Yakin gak mau jawab panggilan dari Caca?" tanya Al setelah menutup kotak pizza di depannya. Ia menggeser duduknya menghadap Genta, dengan mata tajamnya yang seolah siap untuk memulai interogasi.
Genta menggeleng seraya mengusap wajahnya kasar. Melirik Al di depannya, yang langsung ia tahu bahwa teman sebangkunya itu akan menghujaminya dengan segerombol pertanyaan tajam yang siap membuatnya mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Promise ( ✔ )
Fanfiction[COMPLETED] "I promise not to fall in love with my bestfriend." "Let's not fall in love." Banyak orang bilang sahabat bisa jadi cinta? Namun Caca, Jeffrey, Genta dan Leah sudah mengikrarkan janji bersama untuk tidak akan pernah melibatkan 'cinta' d...