--Ini sudah tujuh hari lamanya Caca menetap di Bali. Meninggalkan Jakarta dan juga kedua sahabatnya itu. Selama tujuh hari ini ia manfaatkan kesendiriannya untuk menyegarkan semua isi kepalanya, meskipun ini sulit.
Tujuh hari tanpa bertemu dengan Genta dan Jeffrey, tujuh hari tidak melakukan sekalipun komunikasi dengan mereka, dan tujuh hari ia memendam rindu terhadap kedua sahabatnya itu.
Rasanya hampir gila. Selama lebih dari setengah hidupnya, ia selalu menghabiskan waktunya bersama Jeffrey dan Genta. Tapi ini pertama kali Caca menahan semuanya, karena rasa bersalahnya jauh lebih besar daripada rasa rindu yang ia rasakan.
Caca terduduk di sebuah bangku kayu yang berada di taman belakang rumahnya di Bali. Memandang kagum pemandangan di hadapannya yang langsung memperlihatkan pantai biru dengan ombak cantik di seberang sana. Suara sapuan ombak membuatnya lebih tenang, ditambah angin yang begitu segar menerpa wajahnya hingga menerbangkan ujung rambutnya itu. Caca menyukai rumah keduanya ini, ia bisa lebih tenang menyendiri melihat alam sekelilingnya yang begitu indah.
Sesaat Caca memejamkan matanya. Merasakan angin yang menyentuh permukaan kulitnya dengan lembut. Hingga beberapa saat kemudian ia terpaksa membuka matanya karena merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya.
"Lo yakin gak mau pamit sama mereka berdua?"
Caca menggeleng, melirik Tristan di sampingnya yang selalu menemaninya selama seminggu ini. Tristan sudah mengetahui semua hal yang telah terjadi, Caca sudah memberitahunya.
"Lo gak bisa terus-terusan kayak gini." Tristan menghela napasnya, menatap nanar kakak perempuannya itu. "Lo harus ketemu sama mereka. Jangan salahin diri lo sendiri terus, karena semua ini bukan sepenuhnya salah lo."
Caca tersenyum getir mendengar setiap ceramah yang diberikan Tristan kepadanya. Memang adiknya itu menjadi lebih banyak omong akhir-akhir ini.
"Gue tahu, kak Leah pasti bakal ngerti. Dia bakal maafin lo, dia gak akan marah sama lo kak. Gue tahu kak Leah itu orang yang baik."
Caca memutar duduknya menghadap Tristan, menggapai puncak kepala adiknya yang sudah tumbuh besar itu. "Sok tahu anak kecil!"
Merasa kesal dengan sikap kakaknya yang masih menganggapnya anak kecil itu, Tristan mendengus. Ia merasa bahwa ia bukan anak kecil lagi, ia sudah cukup dewasa. Sedangkan Caca hanya tertawa geli melihat adiknya itu.
"Gue serius! Gue udah bukan anak kecil lagi! Gue tahu apa yang lo rasain sekarang!" ucap Tristan dengan kesal, bahkan ia sampai berdiri menatap Caca yang masih terkikik geli.
"Iya, maaf." jawab Caca kemudian.
Tristan yang sempat berdiri, sekarang kembali duduk di sebelah Caca lagi. "Ungkapin perasaan lo ke kak Jeffrey. Jujur sama perasaan lo sendiri, jangan bohongin diri sendiri."
Tidak ada jawaban dari Caca. Ia mengalihkan pandangannya ke depan melihat gulungan ombak di tepi pantai. Rasanya masih sangat sulit untuk membahas tentang itu. Ia merasa sangat egois jika ia hanya mementingkan perasaannya sendiri, sedangkan ia tahu bahwa Genta juga menaruh hati padanya. Ini tidaklah semudah yang Tristan katakan, karena semuanya menyangkut dengan hubungan persahabatannya dengan Jeffrey dan Genta. Caca tidak bisa menjadi egois dengan mengabaikan Genta begitu saja, ia tidak akan pernah bisa bahagia jika persahabatan mereka retak.
Caca menghela napasnya berat, beban di dadanya seolah tak kunjung hilang. "Tan, jangan suruh gue buat jadi orang egois. Persahabatan gue lebih penting dari sekedar perasaan gue."
Setelahnya Caca bangkit dari duduknya. Ia merasa tidak bisa untuk meneruskan pembicaraan ini.
"Lo udah egois. Lo gak mikirin perasaan kak Jeffrey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Promise ( ✔ )
Fanfic[COMPLETED] "I promise not to fall in love with my bestfriend." "Let's not fall in love." Banyak orang bilang sahabat bisa jadi cinta? Namun Caca, Jeffrey, Genta dan Leah sudah mengikrarkan janji bersama untuk tidak akan pernah melibatkan 'cinta' d...