Masih dengan emosi yang begitu tinggi, Genta menutup pintu apartemen Caca rapat-rapat, seolah tak akan membiarkan siapapun untuk bisa masuk ke dalam. Beberapa saat ia masih mematung berdiri memandangi pintu yang telah tekunci rapat itu. Ia berusaha mengontrol emosinya yang baru saja meledak karena melihat kedatangan Jeffrey.
Entahlah, melihat kondisi Caca saat ini membuat emosinya menjadi tidak stabil. Setelah tadi siang ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Jeffrey meninggalkan Caca di sekolah dan memilih pergi dengan perempuan lain. Apalagi di tambah setelahnya Caca ambruk pingsan, dan sekarang demamnya masih belum turun.
Segala perasaan marah, kecewa, dan juga cemburu bercampur aduk menjadi satu memenuhi rongga dadanya hingga ia merasa sesak sendiri. Kenyataan bahwa ia mengetahui tentang perasaan kedua sahabatnya itu adalah suatu hal yang paling membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat.
"Kak, kenapa?"
Genta segera berbalik, menemukan Tristan yang tengah berdiri menatapnya heran. Wajar, karena Genta terlihat seperti orang linglung sekarang.
"Tadi siapa? Bukan kak Jeffrey?"
Tristan masih bertanya, meskipun Genta masih bungkam.
"Woy, lo kenapa kak?"
Tristan menepukkan tangannya beberapa kali di depan wajah Genta dengan keras, dan akhirnya Genta-pun tersadar.
"Hah? Iya,-" jawab Genta spontan. "Eh, bukan bukan. Tadi itu orang nyasar." Genta mengoreksi jawabannya dengan suatu kebohongan.
"Yakin?" Tristan sempat mengerutkan dahinya tidak percaya, "Terus, lo udah jadi bilang ke kak Jeffrey suruh ke sini?"
"Belum." Genta berjalan melewati Tristan di depannya. "Buat apa? Biarin aja dia lagi asyik pacaran sama cewek barunya."
Genta tidak mempedulikan Tristan setelahnya, ia melenggang pergi ke dapur untuk mengambil sekaleng soda di dalam kulkas, lalu dengan sengaja menempelkan minuman dingin itu di pelipisnya. Sepertinya ia merasa kepalanya itu sudah terlalu panas dan butuh untuk di dinginkan sejenak agar tidak terbakar.
Beberapa saat ia masih melamun sambil mendinginkan kepalanya, lalu Tristan datang menghampirinya lagi.
Adik Caca yang satu ini memang cerdas dalam membaca pikiran orang. Niat Genta untuk berbohong dan tidak menceritakan tentang semua kekacauan yang terjadi pada beberapa hari terakhir ini-pun lenyap sudah. Ia tahu bahwa Tristan sekarang sedang menunggunya untuk menceritakan semuanya.
'Ah kenapa Tristan harus pulang sekarang sih?' rutuk Genta sedari tadi saat mengetahui bahwa Tristan sudah berada di Jakarta karena di sekolahnya sudah selesai ujian semester.
Bukan apa-apa, bukan Genta tidak menyukai Tristan, bukan juga Genta tidak senang bertemu dengan Tristan setelah sekian lama. Hanya saja, yang ia gusarkan adalah kenapa harus sekarang? Kenapa tidak besok setelah kekacauan ini selesai?
Genta hanya takut bahwa tante Bella akan mengetahui kekacauan ini dan akhirnya Caca akan di bawa ke Bali bersama mereka. Mana mungkin Genta akan membiarkan itu terjadi, ia tidak ingin berjauhan dengan Caca seharipun.
Genta meneguk sekaleng soda di tangannya hingga habis. Setelah kepalanya, kini ia merasa harus mendinginkan dadanya juga yang sepertinya sudah mengepulkan asap.
"Iya tadi Jeffrey." ucap Genta jujur setelah duduk di bangku meja makan berhadapan dengan Tristan.
Sementara Tristan menatap lurus ke arah Genta, dengan tangan terlipat di dadanya. Hampir mirip seperti seorang polisi yang sedang menginterogasi seorang tersangka kejahatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Promise ( ✔ )
Fanfiction[COMPLETED] "I promise not to fall in love with my bestfriend." "Let's not fall in love." Banyak orang bilang sahabat bisa jadi cinta? Namun Caca, Jeffrey, Genta dan Leah sudah mengikrarkan janji bersama untuk tidak akan pernah melibatkan 'cinta' d...