XVII. Setuju

721 148 26
                                    


-

"Jauhin dari gue Caaaaaa!!!!"


Entah sudah berapa kali suara Genta bergema di seluruh ruang apartemen Caca. Ia berlarian ke sana kemari menghindari Caca yang sedang menggendong seekor kucing berwarna putih.

Caca tertawa terbahak-bahak, bahkan sampai menangis. Sifat jailnya keluar, sedari tadi ia terus menggoda Genta dengan mendekatkan kucing yang di gendongnya. Padahal Genta sangat takut dekat-dekat dengan hewan satu itu.

Genta tetaplah Genta. Dari umur lima tahun saat dirinya bertubuh tambun yang payah dalam hal berlari, hingga sekarang sudah menjadi kapten sepak bola sekolah itu tetaplah takut dengan seekor kucing.

"Payah lo! Sama kucing kecil aja takut!"

Caca memasukkan kucing itu lagi ke dalam kardus. Lama-lama ia tidak tega juga melihat Genta berlarian ke sana kemari dengan raut muka ketakutan seperti tadi.

"Kalau gue gak minta bantu ngerjain PR, gue udah pulang nih daritadi!"

Genta mendengus kesal. Ia masih nangkring di atas meja makan di dalam dapur. Walaupun Caca sudah menaruh kucingnya di dalam kamar.

Suara tawa Caca kembali terdengar sangat nyaring ketika ia masuk ke dalam dapur dan melihat Genta.

"Turun ya Tuhan, Ta! Kucingnya udah gue masukin kamar!"

Genta mengerutkan dahinya. Diam tak mengatakan satu patah katapun. Ia masih menatap Caca dengan penuh curiga jika sahabatnya itu membohonginya. Karena sudah ketiga kalinya ia di bohongi oleh Caca bahwa kucingnya ternyata belum ia masukkan ke kamar.

"Kali ini gue serius pakk!!" Caca berjalan mendekati Genta, lalu menangkup pipi Genta dengan kedua tangannya. Hingga sekarang bibir Genta sudah seperti bunga mawar yang masih kuncup.

Sementara Genta tetap bungkam, tapi matanya terus menatap wajah Caca di depannya yang terlihat sangat bergembira sekali dapat mengerjainya seperti ini.

"Puas lo?" tanya Genta dengan tatapan datar.

Caca menggangguk mantap. "Puas pak. Maafin ya?"

Kemudian tertawa lagi hingga kedua matanya menyipit.

Sebenarnya bagi Genta, dengan melihat Caca tertawa seperti ini merupakan suatu pemandangan yang indah baginya. Entah kenapa, rasanya mendengar tawa Caca itu sudah menjadi favorite-nya sejak dulu.

Bahkan, walaupun Caca menjailinya separah apapun, Genta tidak akan pernah merasa marah kepada sahabatnya itu.

"Yailah, Ta. Marah?" Caca melepaskan tangannya dari pipi Genta. Lalu ia malah mengerucutkan bibir menatap Genta kesal. "Tumbenan marah dih!"

"Kenapa jadi lo yang cemberut gitu? Harusnya gue dong yang kesel!"

Dan tiba-tiba Genta menarik tangan Caca, lalu memeluk tubuh Caca.

Caca tersentak kaget, " Eh, Ta, lepasin bukan muhrim!" Caca mencoba melepaskan tubuhnya dari pelukan Genta. Tapi ternyata Genta malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Ini namanya hukuman karena lo udah jailin gue malem ini." Genta tersenyum tanpa Caca ketahui.

Caca memukul punggung Genta. "Udahan! Lepasin! Ampun deh ampun!"

"Sebentar aja, Ca. Lima jam."

"Buset! Lo mau gue jadi patung?"

Genta terkekeh. "Bercanda."

Dan akhirnya Caca diam dan membalas pelukan Genta. Menepuk-nepuk punggung Genta yang luas itu.

"Udah berapa lama kita ga pelukan Ca?"

The Promise ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang