XXXI. Catatan Harian Leah

753 154 18
                                    

-

Di sepanjang perjalanan pulang, Caca dan Genta menjadi seperti orang asing. Tak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Caca hanya menyenderkan kepalanya di jendela mobil dengan pandangan ke luar, meskipun ternyata pikirannya melayang memikirkan hal yang beberapa menit terjadi.

Sebenarnya apa yang terjadi sampai Jeffrey berlari menghampirinya untuk mengajaknya pulang bersama?

Ini sangat aneh. Sudah sebulan lamanya terakhir Caca pulang sekolah bersama Jeffrey, karena setelahnya Genta lah yang akhirnya menggantikan peran Jeffrey sebagai driver pribadi Caca. Itulah alasan Genta memilih membawa mobilnya dan meninggalkan motor kesayangannya yang selama ini ia bawa kemanapun ia pergi.

Sementara Caca masih sibuk melamun dengan pikiran yang bercabang ke sana kemari, Genta-pun juga demikian. Sebuah kertas yang di berikan Jeffrey padanya tak pelak membuat rasa kekhawatirannya terhadap Caca menjadi berlebih lagi. Ia tidak ingin sahabatnya itu mengalami kejadian buruk untuk kedua kalinya. Genta juga ikut merasa hampir gila karena tak kunjung mendapatkan jawaban atas pelaku surat teror yang di dapat Caca.

"Ca, lo dapet surat itu lagi?"

Suara berat Genta membuat Caca tersadar dari lamunannya. Caca menoleh ke samping, Genta tengah menatapnya dengan tatapan lembutnya.

"Gimana lo bisa tau?" Caca mengernyitkan dahinya. Bukankah ia tidak memberi tahu siapapun tentang surat teror yang di dapatkannya hari ini?

"Mulai sekarang jangan kemana-mana sendirian. Lo bisa nyuruh-nyuruh gue sesuka lo. Gue bersedia walaupun itu ke toilet sekalipun. Gue bingung harus percaya siapa lagi,-" ujar Genta tanpa jeda, "Lo inget perkataan Karin tentang 'Serigala Berbulu Domba' itukan? Artinya pelakunya ada di deket lo."

Caca mengangguk mengerti, "Iya, Ta."

"Sekarang turun, Bunda udah nungguin tuh di depan."

Caca mengerjapkan matanya beberapa kali, ternyata mereka sudah sampai di pelataran rumah Genta. Segera ia melepas sabuk pengamannya, membuka pintu mobil dan berlari menuju Gisel yang tengah berdiri menunggunya di depan pintu rumah.

"Bunda!" seru Caca ketika sudah berhasil memeluk Gisel.

"Duh duh, udah sehat nih? Udah lari-lari aja sekarang." Gisel menepuk lembut punggung Caca.

Tak lama kemudian, Caca melepaskan pelukannya dengan senyuman lebar. "Udah!" jawabnya bersemangat.

"Yaudah masuk dulu sana, Bunda mau ke depan sebentar."

"Bunda mau kemana?" tanya Caca.

"Ke rumah Leah."

Mata Caca membulat, "Orang tua Leah ke Jakarta?"

"Enggak, kadang Bunda masih meriksa keadaan rumah itu." Genta yang menjawab, sambil melepaskan sepatunya. "Orang tua Leah nitip ke Bunda beberapa waktu lalu."

Caca mengangguk pelan mendengar penjelasan Genta. Memang mustahil jika orang tua Leah berada di Jakarta. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan orang tua Leah yang dimana keberadaannya saja ia tidak tahu. Yang pasti, orang tua Leah bekerja di luar negeri dan hampir tidak pernah pulang ke Jakarta. Rumah di Jakarta ini walau tidak di tempati, tapi masih terawat. Orang tua Leah tidak akan menjual rumah tersebut karena kenangannya bersama Leah ada di rumah itu.

"Caca mau ikut Bunda?"

Sontak Caca langsung mengiyakan ajakan Gisel itu. Ia sangat merindukan Leah, ia sangat sangat rindu. Mungkin jika ia berada di rumah Leah sebentar, itu bisa mengobati sedikit rasa kerinduannya.

Akhirnya Caca berada di rumah Leah sekarang sesudah Gisel membuka pintu dengan menggunakan sebuah kunci cadangan. Kini hanya mereka berdua saja yang berada di rumah besar itu. Gisel beranjak ke arah belakang rumah yang terdapat taman bunga di sana untuk merawat beberapa bunga hias. Sementara Caca masih berkeliling mengamati isi rumah itu yang tidak berubah sedikitpun.

The Promise ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang