X. It's okay Jeffrey

1K 157 46
                                    



Udara di sore hari kali ini masih terasa panas seperti biasanya. Hembusan angin seakan tak mempan membuat orang-orang yang berada di jalanan itu merasa sedikit sejuk. Angin yang berhembus kalah dengan kepulan asap polusi yang berasal dari knalpot berbagai macam jenis kendaraan.

Udara kotor.

Setiap hari itulah yang di hirup para pengguna jalanan ibu kota Indonesia ini. Jangan heran jika sekarang ada seorang gadis yang terbatuk-batuk karena habis terkena jurus kentutan asap knalpot Bus besar di depannya.

Uhuk.. uhuk..

"Buset banget sembarangan kentut di muka orang!" Caca membuka kedua matanya yang daritadi tertutup dengan rapat.

"Paru-paru lo gapapa Ca?" tanya Genta.

Caca sedikit berdehem meringankan tenggorokannya yang gatal karena batuk tadi. "Gapapa, paling juga baru kecokelatan doang. Gak sampai hitam kayak kulit lo, Ta."

Genta tertawa lebar hingga kedua gigi taringnya terlihat.

"Ketawa lo tem?"

"Gak. Lagi nangiss." jawab Genta asal yang masih dengan sisa-sisa tertawanya.

"Gue udah bilangin lo dari dulu ya Dillion Genta Reynard, bukannya gue gak suka lo kemana mana naik motor. Tapi gue cuma kasihan sama paru-paru lo. Cukup kulit lo aja yang menghitam, Ta. Jangan paru-paru lo itu juga lo itemin. Kalau lo bengek atau sakit, siapa yang repot?" Caca memulai khutbah sorenya. Padahal ini belum masuk waktu maghrib.

Genta nyengir di balik helmnya. "Lo yang repotlah!"

"Bunda lo lah bego! Gue sih gak terlalu repot, udah repot ngurus hidup gue sendiri."

'Tai emang si Cabelita satu ini.'

"Halah lo khawatir kan kalau gue sakit, makanya ngedumel panjang kali lebar begini?"

Caca menggetok helm Genta. "Iya. Kalau lo sakit gak ada yang bisa gue maki-maki!"

"Paiiitttt paiittt!"

Caca tertawa dengan keras hingga tak menyadari bahwa sekarang mereka menjadi pusat perhatian di antara kemacetan jalanan yang semakin padat. Caca lupa kalau dirinya sedang berada di atas motor, bukan di dalam mobil yang leluasa bisa berisik tertawa haha hihi.

Setelah menyadari bahwa suara tawanya begitu keras, Caca segera menenggelamkan wajahnya yang telah memerah di pundak Genta lagi.

"Gentaaa... gue malu." bisiknya.

Genta menahan tawanya mendengar suara kecil Caca. Seketika Caca langsung terdiam dan tidak mengangkat kepalanya lagi, menyembunyikan wajah merahnya dari orang-orang sekitar yang terjebak macet juga di samping kiri kanan mereka.

Beberapa menit kemudian, motor yang di lajukan Genta akhirnya berhasil menembus kemacetan pada sore itu. Dengan keahliannya mengemudikan motor, Genta dengan mudah menyalip mobil serta motor yang memadati jalan menuju rumahnya.

Caca memegang Genta erat ketika ia merasa seperti menaiki motor dengan di bonceng Valentino Rossi. 

Tak berapa lama, tepat setelah matahari terbenam, akhirnya motorpun berhenti di sebuah rumah minimalis berwarna biru muda.

"Ca bangun udah sampai." Genta menepuk pelan tangan Caca yang masih melingkar di perutnya.

Yang mempunyai tanganpun akhirnya mengangkat kepalanya pelan, di ikuti matanya yang sedikit demi sedikit terbuka.

"Loh? Gue kira ke apartemen gue Ta?" ujar Caca ketika sadar ternyata kini ia sudah berada di depan rumah Genta, bukan apartemennya.

Genta melepas helmnya. "Si Bunda nyuruh nyulik lo buat makan malam di sini."

The Promise ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang