Bagian 2

6.3K 579 4
                                    

"Dicoba dululah, Lang. Jangan nolak-nolak mulu."

Gilang diam tanpa berniat membalas ucapan Ibunya. Rasanya percuma saja, karena Ibunya selalu bisa membalas ucapan-ucapannya. Daripada membuang tenaga, lebih baik diam saja.

"Lang, denger nggak kamu? Kok diem sih?" seru Dewi—Ibu Gilang—tak senang.

Gilang menghela napas. Laki-laki itu lupa, mau dia diam atau menjawab tetap saja dimata Dewi salah. Tau begini, mending malam aja pulang. Gilang membatin gusar.

Gilang meletakkan tasnya disofa lalu menyandarkan punggungnya. "Apa, Bu?" tanya Gilang dengan nada lelah, namun dia yakin Dewi tak akan menyadarinya. Fokus utama Dewi kini pada keinginannnya yang harus segera dituruti. Jika tidak, jangan harap Dewi peka pada keadaan orang-orang disekitarnya.

"Kamu coba dulu ketemu Shinta. Ibu udah ketemu. Cantik lho! Dia kerja di bank, jadi CS apa Teller ya?"

"CS? Cleaning service?" sekali-sekali, Gilang menjahili ibunya tak masalah kan?

Dewi melotot. "Hus! Sembarangan aja ngomongnya!"

Gilang menyeringai. Dewi ikut duduk disebelahnya lalu kembali berkata, "Kamu pasti suka Lang. Anaknya sopan, ramah, pinter lagi! Ibu ya kalau ngomong sama dia, nyambung gitu! Terus...."

Gilang mengangguk-angguk mendengar ucapan Dewi, meskipun tak begitu mendengarkan karena dia sudah terlalu lelah. Harusnya saat ini Gilang mandi lalu makan karena dia belum sempat makan malam. Lalu setelahnya, laki-laki itu bisa istirahat. Namun keinginannya harus tertunda demi mendengar cerita Dewi yang begitu membangga-banggakan Shinta, perempuan yang menjadi target Dewi selanjutnya untuk dijadikan menantu.

Ibunya memang sudah lama menodongnya untuk menikah. Apalagi usianya sudah cukup matang untuk menikah, 34 tahun. Kalau mengikuti standar usia ideal menikah di masyarakat, mungkin Gilang sudah memiliki 1 atau 2 anak. Namun sayangnya, Gilang tidak mengikuti standar tersebut. Gilang masih nyaman dengan status single-nya.

Atau mungkin, lo masih berharap ke dia?

Pemikiran itu membuat Gilang mengingat masa lalu. Pada perempuan yang sekarang ini entah dimana. Seperti apa dia sekarang? Apa dia masih cantik? Ah, itu tak usah dipertanyakan karena jawabannya tentu saja pasti dia cantik. Bahkan semakin cantik, Gilang yakin itu. Apa dia masih cerewet? Atau, apa dia sudah menikah?

Gilang tersentak dengan pemikirannya. Mungkin saja dia sudah menikah. Tentu saja. Diusianya saat ini pasti sudah menikah. Gilang meringis. Ada perasaan tak rela, tapi dia bisa apa?

"Gilang?! Ya ampun! Melamun lagi? Jadi Ibu ngomong sendiri daritadi?" seruan Dewi mengejutkan Gilang. Laki-laki menggaruk kepalanya.

"Udahlah, Bu. Anakmu itu pulang ya disuruh mandi, disuruh makan. Kok malah bahas yang aneh-aneh?" Suara Rudi, Ayah Gilang, menyela mereka. Rudi duduk di single sofa.

"Aneh gimana? Ayah mau Gilang jadi bujang lapuk? Mau nggak nikah-nikah si Gilang?" seru Dewi tak terima.

"Yang bilang Gilang mau jadi bujang lapuk itu siapa? Gilang pasti nikah, tapi mungkin waktunya sedikit terlambat dari teman-temannya. Sudahlah," kata Rudi lembut, berusaha menenangkan isterinya yang masih mode marah.

Gilang tersenyum. Ayahnya memang pengertian!

"Lho, ya nggak bisa gitu! Setidaknya kita bantu Gilang, Ayah!"

"Tapi nggak harus dijodohin lah, Bu. Kesannya Gilang nggak laku!" gerutu Gilang.

"Emang nggak laku!" semprot Dewi membuat Gilang dan Rudi meringis. "Kalau laku, kamu udah nikah. Udah punya anak. Percuma karir bagus, penghasilan bagus, ganteng, tapi isteri gak ada! Ntar kamu ada reuni sekolah, diledekin bujang lapuk! Malu, Lang!" omel Dewi. "Apalagi temen-temen kamu itu, si Andra sama Irvan, udah pada punya anak. Malah Andra udah 3 anaknya."

Gilang dan Rudi diam. Memilih tidak menyahut, karena pasti tetap salah dimata Dewi. Dewi menatap Gilang lekat. Wajahnya nampak ragu, membuat Gilang mengernyit. "Kenapa, Bu?"

"Kamu... suka perempuan kan Lang?"

Gilang tercengang. Kaget dengan ucapan Dewi.

"Astaghfirullah, Bu! Ngomong kok gak disaring!" seru Rudi. Dewi menghela napas.

"Mungkin karena itu Gilang nggak nikah-nikah," kata Dewi pelan membuat Rudi geleng-geleng kepala. Gilang mengacak rambutnya.

"Gilang normal, Bu. Dan Gilang bakal nikah nanti."

"Ya kapan? Nunggu Ibu udah nggak ada?" seru Dewi, lagi-lagi membuat Rudi dan Gilang mengucap istighfar.

"Omongan Ibu ini, duuh." Gilang berdecak. Dewi diam sementara Rudi mengambil toples berisi keripik dan memakannya. Terkadang dia tak habis dengan jalan pikiran isterinya. Kebanyakan nonton sinetron hidayah pasti ini. Rudi membatin.

"Ya udah, Gilang ntar coba ketemu Shinta. Gilang coba berteman sama Shinta, kalau cocok... hmm yaa menikah. Tapi kalau nggak, Ibu berhenti ngenalin Gilang ke anak-anak teman Ibu. Oke?"

"Ya nggak okelah! Nggak perlu temenan, langsung aja nikah!" kata Dewi keras.

"Bu," bujuk Gilang, berusaha bicara selembut mungkin. "Nikah itu sekali, Bu. Gilang nggak mau salah langkah. Asal ketemu perempuan, merasa suka, langsung nikah tanpa coba mengenal satu sama lain. Gilang nggak mau yang begitu, Bu."

"Kan bisa kenalannya udah nikah!"

"Memang bisa. Tapi nanti seandainya ada yang membuat Gilang nggak nyaman? Nggak suka? Lalu si perempuan juga begitu? Lalu ternyata minta pisah? Gimana, Bu? Ibu nggak mau begitu kan?"

Dewi diam. Benar juga. Wanita paruh baya itu tak begitu berpikir panjang karena sudah tak sabar melihat Gilang melepas status lajangnya. "Ya sudah, nggak masalah. Yang penting kamu ketemu Shinta dulu, kenalan." Gilang tersenyum penuh kemenangan. "Tapi Ibu yakin sih, kamu pasti suka," lanjut Dewi lagi, nadanya terdengar penuh percaya diri.

Ya, ya, terserah Bu. Kita lihat aja nanti.


TBC~~

Makasih udh mampir yaa :) 

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang