Bagian 5

4.4K 558 8
                                    

Gilang menuliskan resepnya sambil tersenyum pada seorang anak kecil yang sedang memainkan plastisin didinding, lalu keluar dari ruangannya. Tak lama, dia kembali masuk, meletakkan plastisin diatas meja dan kembali keluar.

"Di sekolah dia gimana, Bu? Masih suka keluar kelas?"

"Kadang-kadang, Dok. Pas lagi guru nggak ada. Cuma ya itu, Shadow nya tetap kewalahan," jawab Ibu Eka, sambil memperhatikan anaknya yang memainkan pintu. "Adek, duduk sini. Jangan dimainkan pintunya."

Si anak melepas pintu, namun dengan bantingan membuat Eka dan Gilang terkejut. Eka menggelengkan kepala. "Begitu tuh, Dok kalau dikasih tahu."

"Kuncinya tetap sabar, Bu. Jangan keras, tapi tetap tegas. Ini obatnya saya resepkan lagi. Yang kemarin udah habis kan?"

"Sudah, Dok."

Gilang menyobek kertas dan menyerahkan pada Eka. "Ini, Bu. Untuk yang ini, minumnya pagi aja, Bu. Sebelum berangkat sekolah. Nanti minta shadownya perhatiin, gimana perilaku dia. Masih aktif atau ada pengurangan. Nanti dikoordinasikan juga dengan terapisnya ya, Bu."

"Iya, Dok. Makasih ya, Dok."

Gilang menyalami Eka sambil tersenyum. "Pasien masih ada, Ra?" tanya Gilang pada Tiara yang kembali ke ruangannya, mengambil data pasien.

"Sudah habis, Dok."

Gilang mengangguk. Dia lalu melepas snelli, meraih HP dan mulai berselancar didunia maya. Beberapa saat kemudian, Tiara muncul. "Maaf dok, ada yang mau ketemu."

"Siapa?"

"Mbak dong!" seruan Windi membuat Gilang berdecak jengkel. Windi dipersilakan masuk oleh Tiara sementara Tiara keluar. Windi duduk dihadapan Gilang dengan senyum lebar.

"Mau apa?" tanya Gilang ketus. Hilang sudah keramahannya yang ia tampilkan pada pasien-pasiennya. Bukannya bersikap muka dua, tapi Gilang benar-benar jengkel dengan Windi. Masih ingat insiden bekal makan siang? Nah kejadian itu masih membekas dalam ingatan Gilang. Meskipun sudah seminggu berlalu, tetap saja rasa kesal itu masih ada.

"Duh galaknya pak dokter. Hati-hati, pasien kabur nanti," kata Windi centil. Gilang mendengus, memilih memainkan ponsel. Sadar Gilang masih mode marah, Windi menghela napas. "Iya deh, maaf. Kemarin mbak khilaf. Beneran deh, ntar nggak diulang lagi. Janji!"

"Janji my ass," gumam Gilang membuat Windi mencebik.

"Oke deh, sekarang gini aja ya. Mbak to the point aja, temenin mbak pesan katering."

"Ogah!"

"Gilang!" seru Windi kesal. "Ayolah temani Mbak. Mbak dapat mandat nih dari ketua masjid, dimintain tolong cariin katering makan buat pengajian. Mbak udah nolak, tapi mereka maksa, gara-gara mbak keceplosan bilang katering dari sekolah Runa itu enak banget."

"Males!"

"Gilaaaaang, tega kamu sama mbak?" kata Windi merayu, membuat laki-laki itu mendelik.

"Apaan sih? Jangan keliatan kayak cewek minta tanggung jawab gitulah. Ntar orang salah sangka." Windi melotot lalu mencubit lengan adiknya. Gilang mengaduh namun selanjutnya dia tergelak. "Mas Angga kemana sih? Dia yang suaminya tapi aku terus yang kena perintah."

"Mas Angga kan kerja."

"Menurut lo gue nggak kerja? Main bekel disini?" seru Gilang geram mendengar jawaban Windi.

Windi terkikik. "Kamu kerja juga gajinya belum dibagi ke isteri kan? Jadi meskipun kamu ada bolos kerja, keuangan kamu tetep stabil. Beda sama Mas Angga. Mas Angga kan harus berbagi ke mbak, Runa dan Syifa," jawab Windi membuat Gilang ingin mencekik kakaknya ini. "Udahlah, lagian jam kerja kamu udah kelar. Tuh liat."

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat 15 menit. "Aku belum makan."

"Makan aja di tempat katering itu. Sekalin icip-icip," kata Windi terkikik.

"Aku belum salat," kata Gilang, berharap upaya ini berhasil mengenyahkan Windi dari hadapannya.

"Salat di masjid pinggir jalan aja. Lagian mbak juga belum salat. So, alasan apa lagi?" Windi tersenyum penuh kemenangan, membuat Gilang mengakui kekalahannya.

***

Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, mereka akhirnya tiba. Sebuah papan nama bertuliskan Melvin Catering terpampang besar.

"Ini tempatnya?"

"Hm-hm. Yuk, turun."

Keduanya turun. Gilang memperhatikan tempat itu dengan seksama. Sebuah rumah dengan 2 lantai dan memiliki halaman yang cukup luas. Beberapa pohon rindang membuatnya terasa lebih sejuk.

"Permisi, bisa saya bertemu dengan Mbak Melody?" tanya Windi kepada pegawai yang berjaga, membuat Gilang terkejut. Laki-laki itu segera mendekati Windi.

Pegawai itu tersenyum ramah. "Bisa, Mbak. Sebentar saya panggilkan. Silakan duduk." Pegawai itu berlalu, sementara Windi duduk. Gilang mengikuti.

"Siapa namanya?" tanya Gilang. Nyaris berbisik.

Windi mengernyit. "Nama apa?"

"Nama cewek yang mbak sebut tadi!" tanpa sadar, Gilang membentak Windi, membuatnya terkejut. "Siapa?"

"Melody." Windi menjawab pelan. Benar-benar bingung melihat Gilang yang berubah linglung. "Lang?"

Gilang dapat merasakan aliran darahnya berdesir hebat. Jantungnya berdetak tak karuan. Bahkan tangannya pun kini terasa dingin. Gilang menelan ludah susah payah. Benarkah Melody-nya? Atau hanya nama mereka yang sama? Toh yang namanya Melody tak hanya perempuan itu. Semua kemungkinan-kemungkinan itu bercokol dalam benaknya. Laki-laki itu bahkan mengabaikan Windi yang mulai mencemaskannya.

"Lang? kamu kenapa sih?" tanya Windi cemas.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?"

Suaraitu! Gilang mendongak dan tanpa sadar dia berdiri. Matanya menatap lekat padasosok perempuan yang kini menatap padanya. Napas Gilang mulai tak beraturan.Laki-laki itu tersenyum lega. Benar. Perempuan dihadapannya ini Melody. MelodyMaharani. Melody-nya! 

TBC~~

Maaf ya pendek haha enjoy dan ditunggu voment nya ;)

oya, ini semua berdasarkan pengalaman ya bagian gilang dan pasien ya, kalo ada yg kurang bisa di komen. thank youu   

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang