Bagian 16

4K 441 20
                                    


"Mau sampai kapan Mama bohongin Arvin?"

Melody seketika pias. "Vin...."

Arvin menghela napas panjang. "Arvin awalnya bingung, kenapa Mama keliatan sedih. Trus tiba-tiba bahagia. Sering chatting. Kadang denger Mama telponan malam-malam. Ternyata Mama udah punya pacar. Tapi kenapa Mama nggak cerita? Arvin jadi mikir, apa Arvin udah bukan bagian penting Mama lagi? Apa mungkin, Mama pelan-pelan ngajarin Arvin biar terbiasa tanpa Mama? Apa gitu Ma?" suara Arvin bergetar.

Melody terpana. Tak menyangka putra semata wayangnya berpikir sejauh itu. "Astaghfirullah nggak nak. Mama nggak pernah mikir kayak gitu!"

"Trus kenapa Mama nggak cerita? Apa harus Arvin mergokin Mama jalan sama cowok itu lagi di CFD? Atau di Mall? Arvin liat Ma, Mama jalan sama dia." Arvin menarik napas dalam. Dia menatap Melody sedih. "Mama juga bohong kan soal keluar kota itu? Mama nggak pergi bareng Tante Ratu, tapi Mama pergi sama dia kan? Kenapa nggak jujur aja Ma? Arvin nggak akan ngelarang. Arvin malah akan dukung. Atau... dia nggak suka ada Arvin?"

Tangis Melody pecah. Tak tega melihat Arvin mati-matian menahan tangisnya saat menanyakan kebenaran tentang semua yang Melody lakukan. "Maafin Mama, Vin."

Arvin menggeleng. "Arvin yang harusnya minta maaf. Maaf, gara-gara ada Arvin, Mama nggak bisa nikah. Maaf, karena ada Arvin, Mama nggak bisa raih cita-cita Mama. Maafin Arvin, bisanya Cuma nyusahin Mama. Mama boleh pergi sama dia. Arvin nggak akan ganggu."

Arvin bangkit lalu kembali ke kamarnya. Melody tergugu. Harusnya dia jujur pada Arvin. Karena ketakutannya, malah menyakiti Arvin. Putra tercintanya. Melody berdiri, menghapus air mata dan segera menyusul Arvin.

"Vin? Buka pintunya, nak." Melody mengetuk pintu. "Vin, Mama mau ngomong. Buka sebentar ya, Nak?"

Bunyi gerendel kunci terdengar. Pintu kamar akhirnya terbuka. Hati Melody mencelos melihat mata Arvin yang memerah. "Boleh Mama masuk?"

Arvin melebarkan pintu, menyilakan masuk tanpa kata. Melody duduk dibibir tempat tidur, sementara Arvin duduk dikursi meja belajar.

"Mama minta maaf ya, Vin, selama ini Mama udah bohong. Tapi sebenarnya Mama nggak ada niat untuk bohong. Mama Cuma... belum siap buat jujur. Mama takut."

"Apa yang mama takutkan?"

Melody menggeleng pelan. "Bahkan mama sendiri nggak tau apa yang mama takutkan kalau jujur sama kamu. Maafin Mama ya Vin? Tolong hilangkan pikiran-pikiran buruk kalau Mama ninggalin kamu. Atau kamu bukan bagian penting mama lagi. Tolong hilangkan."

Arvin menghela napas dalam-dalam. "Dia tahu Arvin ada?"

"Belum. Tapi pasti mama bakal cerita."

"Dia baik?"

"Baik. Baik banget."

"Kalau... dia nggak suka ada Arvin?" Melody diam. Kali ini, dia tak tahu harus menjawab apa. Arvin tersenyum kecil. "Arvin yang bakal pergi." Kali ini biar dia mengalah. Melody sudah banyak berjasa untuknya. Jika memang laki-laki itu tak menyukainya, Arvin tak keberatan untuk pergi. Demi kebahagiaan Melody, akan dia lakukan.

Melody melotot. "Nggak! Nggak ada istilah pergi-pergi! Kamu tetap bareng Mama. Kalau dia nggak suka kamu, Mama bakal berhenti berhubungan dengan dia. Kamu prioritas Mama. Cuma kamu, yang Mama punya. Bukan yang lain," kata Melody tegas.

Arvin menunduk. Matanya semakin terasa panas. Cairan bening itu berontak keluar, namun mati-matian dia menahan.

"Arvin, sini." Melody menepuk sisi sebelah kanannya. Arvin menurut. Seketika dirasakannya pelukan Melody. Begitu erat. Arvin membalas. "Maaf ya nak."

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang