Bagian 25

4.9K 622 63
                                    

Adit menghentikan langkahnya menuju kamar saat melihat Gilang duduk di kursi halaman belakang.

"Ngapain lo?" Adit duduk disisi kiri Gilang. "Tumben nongkrong disini?"

Gilang hanya bergumam pelan dan memejamkan mata. Adit mengernyit. "Kenapa lo? Suntuk amat tuh muka."

Adit ikut diam melihat Gilang tak menyahut ucapannya. Dia memperhatikan halaman belakang rumahnya, selalu tampak bersih dan asri. Ibunya memang selalu meluangkan waktu merawat tanaman-tanaman di halaman rumah membuat terasa nyaman saat ingin bersantai.

"Dit?"

"Hm?"

Gilang memperbaiki duduknya, menatap Adit lurus-lurus. "Lo bakal terus ngedukung semua pilihan yang gue ambil kan?"

Adit mengernyit. "Maksud lo?"

"Ya lo bakal dukung semua pilihan yang gue ambil. Seperti yang sudah-sudah."

"Ya pasti gue bakal dukung lo, Lang. Tapi gue kudu tahu dulu, pilihan yang seperti apa? Kalo pilihan lo itu menyesatkan, ya nggak mungkin gue bakal dukung kan?" jawab Adit membuat Gilang termenung. Adit menatap Gilang heran. "Kenapa sih? Kok lo tiba-tiba nanya gitu?"

"Sebenernya gue udah nyiapin diri seandainya kalian semua nggak ngedukung pilihan yang gue ambil. Tapi, tetap aja, gue... nggak tenang." Gilang menyandarkan punggungnya kekursi lalu menatap ke langit malam tanpa taburan bintang.

Adit menatap Gilang. Sorot mata abang satu-satunya tampak nelangsa. Entah apa yang dipikirkannya padahal beberapa hari belakangan ini, Gilang tampak bahagia. Namun tiba-tiba saja malam ini Gilang berubah, layaknya orang patah hati.

"Lo tuh kalo cerita yang jelas dong! Lo kenapa? Dari tadi gue nanya nih, lama-lama dapat piring cantik gue," gerutu Adit membuat Gilang terkekeh. "Lah? Sekarang malah ketawa. Sakit lo?"

"Sialan! Nggaklah!"

"Jadi? Oh! Jangan bilang lo diputusin Melody? makanya galau gini?" Adit menganggukkan kepalanya yakin. "Yeah, sadar juga tu cewek."

Gilang mendelik lalu melayangkan tinjuan kecil kepundak Adit. "Monyong lo!"

Adit menyeringai. "Trus kalo bukan itu, kenapa?"

Gilang menatap Adit lama, lalu akhirnya mulai menceritakan kondisi hubungannya dengan Melody secara garis beras. Bagaimanapun, Gilang butuh dukungan saat dia menghadapi Ibunya. Gilang yakin, Adit akan membantunya. Lalu Windi. Bagaimanapun seringnya mereka bertengkar, kedua saudaranya pasti akan berada dipihaknya.

Usai cerita itu, Adit ternganga. "Lo.... Yakin?"

Gilang mengangguk tegas. "Kalo nggak yakin, nggak mungkin gue pertahanin dia, dodol!"

"Trus Ibu?"

"Nah itu dia! Gue tahu Ibu pasti bakal nolak. Makanya gue butuh lo buat dipihak gue."

"Dan lo pikir, posisi gue bakal ngeluluhin Ibu?" tanya Adit tak habis pikir. "Ah elah, lo sekalinya dapet cewek malah kayak gini," gerutu Adit. "Lo cinta banget sama dia ya?"

Gilang mengangguk. "Ketika lo ketemu perempuan yang lo cintai, lo bakal ngerasain apa yang gue rasain. Lo nggak akan ngelepas dia karena lo yakin, dia yang pantas menghabiskan masa tua lo bersama dia."

"Lo yakin itu cinta? Bukan obsesi?"

"Nggak. Menurut gue, awal modal menjalin hubungan jangka panjang itu ada cinta Dit. Analoginya gini, ketika lo melakukan sesuatu hal tanpa ada rasa cinta, atau minimal suka deh, gue yakin lo bakal ngerjain setengah-setengah dan hasilnya malah nggak bagus. Tapi ketika lo melakukannya dengan rasa cinta, lo bakal mengorbankan apapun supaya hasilnya maksimal. Cinta memang bukan segalanya, tapi itu salah satu pondasi awal. Lalu setelah cinta, akan ada rasa sayang. Lalu berkembang lagi, lagi dan lagi hingga akhirnya lo merasa she's the one dalam hidup lo."

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang