Bagian 32

2.9K 279 13
                                    

Dewi melangkah perlahan mendekati Gilang yang sedang duduk santai di halaman belakang rumah. “Lang, lagi sibuk ya?”

“Ibu butuh apa?” tanya Gilang langsung tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang dibaca.

Dewi tersentak, ada rasa tak nyaman dengan nada datar Gilang. “Keluarga Adelia ngajak makan malam diluar.”

“Oke.” Gilang menutup bukunya, kemudian berlalu menuju kamarnya. Dewi masih diam ditempat, kemudian menarik napas panjang.

Tepat pukul 7 malam, Gilang beserta kedua orangtuanya tiba di Restauran yang telah ditentukan. Kedua keluarga itu saling bertukar sapa dengan hangat. Adelia yang sudah datang lebih dulu, tersenyum pada Gilang meski laki-laki itu tidak membalas. Gilang hanya menyalami kedua orangtua Adelia, lalu duduk disebelah Rudi.

Rudi yang sedari tadi memperhatikan, hanya menghela napas. Sekilas, diliriknya Dewi yang ternyata juga menyadari sikap dingin Gilang tapi tidak berkomentar apapun.

“Gilang agak kurus ya sekarang? Hectic banget di rumah sakit?” tanya Vivi, Mama Adelia kuatir.

“Iya, tan,” jawab Gilang seadanya sambil memaksa senyum.

“Jangan lupa jaga kesehatan lho. Nanti bisa tumbang,” nasihat Aryo, papa Adelia diangguki kecil oleh Gilang.

Adelia memperhatikan Gilang. benar kata Mamanya. Laki-laki itu terlihat kurus. Raut wajahnya yang biasanya ramah kini berubah dingin. Adelia juga merasa Gilang kini sangat jauh dan sulit untuk dijangkau.

“Omong-omong, apa sebaiknya kita bahas tanggal pernikahan sekarang? Toh lebih cepat lebih baikkan?” tanya Vivi sumringah.

Dewi dan Rudi saling pandang. “Oh ya, tentu,” jawab Dewi gugup.

“Gimana kalau 2 bulan lagi? Gimana sayang? Kamu setuju? Atau kalau Gilang maunya kapan?”

“Eeh?” Adelia terkejut. Perempuan itu langsung menatap Gilang yang ternyata juga menatapnya. Darahnya berdesir melihat tatapan Gilang yang dalam. Tapi entah kenapa Adelia merasa aneh dengan itu. dia tak nyaman.

“Om, Tante, Adelia, ada yang mau saya omongin,” kata Gilang tiba-tiba membuat Dewi dan Rudi memandang waspada. Adelia mengernyit, namun dia mulai meraba kemana arah pembicaraan Gilang.

“Om, Tante, saya mau minta maaf,” kata Gilang tiba-tiba membuat Aryo dan Vivi bingung. “Saya nggak bisa melanjutkan hubungan ini. Saya tidak bisa menikah dengan Adelia. Saya… saya mencintai perempuan lain.”

“Apa?” ekspresi Vivi mengeras. Dewi dan Rudi tercengang.

“Kamu… apa Gilang?” tanya Aryo tak percaya.

“Saya mencintai perempuan lain,” kata Gilang lagi. nadanya kini lebih tegas. Punggungnya tegak sambil menatap lurus Vivi dan Aryo yang terlihat menahan marah. “Saya minta maaf karena baru sekarang mengatakan ini. Jujur ada niatan saya untuk mencoba hubungan ini dengan Adelia, tapi setelah dipikir-pikir, saya rasa itu tidak benar. Adelia perempuan baik-baik. Nggak adil untuk Adelia kalau mendapat pasangan seperti saya yang masih berfokus pada masa lalu. Adelia pantas mendapatkan laki-laki yang juga mencintai dia. Dan laki-laki itu, jelas bukan saya.”

Gilang beralih pada Adelia yang menahan tangis. “Saya minta maaf Adelia. Semoga kamu bertemu dengan laki-laki yang mencintai kamu.” Gilang melepas cincin dijemarinya, meletakkan ditengah meja. “Saya minta maaf.”

Sesaat suasana hening. Gilang tetap menegakkan kepala. Akan diterimanya seluruh amarah Vivi dan Aryo, bahkan Dewi sekalipun. Kalau memang Dewi akan mengusirnya, Gilang akan terima itu sebagai konsekuensi. Gilang tak mau lagi hidup dibawah aturan Dewi. Batinnya terus merasa tak tenang hingga belakangan mempengaruhi psikologisnya. Gilang ingin bebas.

“Mengecewakan sekali Jeung Dewi,” suara Vivi bergetar menahan marah.
“Bisa-bisanya anakmu mempermainkan putriku!”

“Jeung—“

“Apa yang dikatakan Mas Gilang bener, Ma!” sela Adelia cepat. “Mas Gilang sudah pernah menyinggung ini, dan aku setuju untuk mengakhiri ini semua. Aku nggak mau kehidupan pernikahanku nanti malah jadi nyakitin aku. Aku nggak mau punya pasangan yang masih mikirin masa lalu. Aku setuju dengan mas Gilang kalau ini harus diakhiri.”

“Adelia?!” seru Vivi tak percaya.
Gilang sama terkejutnya. Dipikirnya, Adelia akan menentang pendapatnya. Karenanya Gilang sudah menyiapkan segudang alasan agar Adelia benar-benar menerima keputusannya.

Adelia menegakkan dagu, seakan menantang Vivi. “Kamu—“

“Kita pulang sekarang,” kata Aryo dingin. Tanpa mengatakan apapun, Aryo berlalu pergi.

“Pak Aryo, sebentar.” Rudi berdiri, menyusul Aryo.

Vivi meraih tasnya, sesaat dia melempar tatapan marah pada Dewi lalu mengikuti Aryo.

“Adelia, kamu—“

Adelia tersenyum kecil. “Saya permisi tante, mas.” Adelia berlalu pergi.

Gilang menarik napas dalam. Satu masalah sudah diatasinya. Tak bisa dipungkiri, itu benar-benar melegakannya. Gilang melihat Dewi yang juga memandangnya. Gilang tak bisa menafsirkan makna tatapan itu. "Maaf, Bu. Gilang nggak bisa nahan diri lagi.”

Tak lama, Rudi kembali. Wajahnya terlihat kusut. “Maaf, Yah,” kata Gilang tapi Rudi hanya tersenyum kecil. Ditepuknya pundak Gilang menenangkan.

“Nanti kita bicarakan lagi. ayo pulang.”


***


Jadi disinilah Gilang sekarang, setelah membatalkan pertunangannya dengan Adelia, Gilang langsung menemui Ratu untuk mencari tahu keberadaan Melody. awalnya Ratu enggan memberi tahu, tapi melihat kesungguhan Gilang, dia jadi luluh.

“Abang kenapa nekat sih?” Melody memijat kepala sambil menarik napas panjang. Tak bisa dibayangkan semarah apa Dewi saat ini.

“Bukan nekat, Mel. Tapi memperjuangkan apa yang harusnya diperjuangkan. Abang udah minta Ibu untuk mengenal kamu lebih jauh, dan Ibu setuju.”

“Tapi, Bang, kalo gagal lagi gimana?”

Gilang tak menjawab. Dia sama takutnya jika hubungan mereka kembali gagal. Tapi Gilang juga tak mungkin menyianyiakan kesempatan yang telah diberikan.

“Abang juga takut. Tapi kalau terus mengikuti rasa takut itu, kita bakal stuck. Jadi, kita hadapi sama-sama ya, Mel. Kita gunain kesempatan ini untuk nunjukin ke Ibu, kalo kita memang serius untuk menikah,” kata Gilang memberi pengertian. Melody menunduk, menatap teh yang dibuatnya telah dingin. “Atau, kamu memang maunya gini? Selesai disini?”

Melody seketika mendongak. Dadanya mencelos melihat Gilang menatapnya sedih. Melody menggigit bibir, berusaha sekuat tenaga menghalau tangis yang mendesak keluar.

Tiba-tiba Gilang berdiri. “Dipikirin lagi ya, Mel. Tapi… kalau memang maunya selesai, tolong kasih tahu aku juga. Kali ini, aku bakal bener-bener berhenti. aku balik ya?”

Melody berdiri. “Abang langsung ke Jakarta?”

“Nggak. Mungkin besok. Balik ya, salam buat Bu Eli.” Gilang mengangkat tangannya, mengelus rambut Melody sambil tersenyum dan langsung balik badan pergi. tak lagi menoleh kearah Melody.

Gilang hanya berharap, ada secercah kebahagiaan untuk dirinya sendiri maupun Melody meskipun nantinya memang tak diizinkan untuk bersama.


***


Melody menatap rumah dihadapannya dengan perasaan tak karuan. Ada perasaan ingin mundur, tapi mengingat Gilang yang berjuang keras untuknya, membuat Melody mengurungkan niat.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Melody melangkah menuju pintu utama. Diketuknya pintu perlahan. Jantungnya berdegup kencang mendengar suara anak kunci diputar dan perlahan daun pintu itu melebar. Sosok Dewi berdiri disana, menatapnya terkejut.

“Siang, Bu,” sapa Melody gugup, seraya mengulurkan tangan untuk salam. Perempuan itu menarik napas lega ketika Dewi menerima uluran tangannya. “Apa kabar, Bu?”

“Baik. Ada keperluan apa? Gilang tidak dirumah,” kata Dewi datar.

“Saya ingin ketemu Ibu.”

“Untuk apa? Meminta restu?”

Melody menahan napas. Ucapan Dewi dengan nada dingin itu menusuk relung hatinya.

“Masuk,” kata Dewi kemudian berbalik masuk kedalam rumah. Melody mendongak, buru-buru dia mengikuti Dewi. “Duduk dulu,” kata Dewi lagi lalu berbalik kearah dapur. Tak lama, Dewi muncul membawa dua gelas minuman.

“Nggak usah repot-repot, Bu.”

Dewi hanya melirik singkat tanpa menjawab. Diletaknya satu gelas minuman dingin dihadapan Melody, satu untuknya. Melody bergumam terimakasih lalu meneguknya sedikit.

Sungguh, suasananya benar-benar membuat Melody tak nyaman. Sikap Dewi tidak lagi begitu antipati padanya, namun tak bisa juga dibilang Dewi sudah menerimanya. Masih abu-abu. Namun Melody harus melakukan ini, menunjukkan pada Dewi bahwa Melody benar-benar serius dengan Gilang.

“Bapak sama Adit kemana, Bu?”

“Keluar.”

“Ooh.” Melody mengangguk kecil.

“Kata Gilang kamu ke Pekanbaru.”

Melody mendongak. Tak menyangka Dewi balik bertanya. “Iya, Bu. Ngunjungin Tante saya.”

“Bukan kabur?”

“Ee—”

“Trus kenapa balik? karena dijemput Gilang?”

Melody tak langsung. Dia menatap Dewi yang juga balas menatapnya datar. Melody menarik napas panjang. Mungkin sekarang saatnya mereka berbicara serius.

“Sejujurnya, saya memang berniat tinggal disana. Tapi bang Gilang datang, dan lagi-lagi meyakinkan saya, bahwa kami pantas mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan keseriusan kami dalam hubungan ini.”

“Jaminan apa yang bisa kamu berikan untuk tidak menyakiti Gilang?”

“Saya nggak bisa menjamin kalau nantinya saya nggak akan menyakiti bang Gilang, karena kadang, tanpa kita sadari ada masa dimana kita tanpa sengaja menyakiti pasangan kita sendiri. Saya yakin, Ibu tau itu juga. Tapi setidaknya, saya bisa menjamin kebahagiaan bang Gilang kedepannya. Salah satu hal yang membuat bang Gilang bahagia, adalah saat bersama saya. Saya bukan berniat congkak, Bu, tapi dari kejadian sebelumnya, Ibu pasti bisa merasakan bagaimana perubahan bang Gilang.”

Mau tak mau, Dewi mengakui dalam hati. Gilang yang selalu ceria, mendadak pendiam. Cara bicaranya berubah datar dan seringkali mangkir tiap kumpul keluarga, membuat Dewi merasa kehilangan.

“Saya akui masa lalu saya memang buruk, Bu. Memiliki anak diluar pernikahan dan dibuang oleh keluarga saya karena membawa aib. Saya sudah terima jika suatu saat nanti tidak akan ada laki-laki yang mau menerima saya. Tapi, Bang Gilang datang. Membawa secercah harapan untuk saya, membuat saya berpikir, kalau saya juga layak mendapatkan itu. apa pemikiran saya egois, Bu?”

Dewi membalas tatapan sendu Melody. wanita paruh baya itu bisa merasakan kepahitan dalam tiap kalimat yang dilontarkan Melody, sedikitnya membuat Dewi bersimpati.

“Gimana dengan anak kamu? Dia setuju dengan Gilang?”

“Dia menyukai bang Gilang. sebenarnya, saya pernah bilang ke Bang Gilang, kalau anak saya tidak setuju, saya nggak mau melanjutkan hubungan ini. Tapi bang Gilang menolak, dia minta diberi kesempatan untuk mengenal anak saya, dan membuktikan bahwa bang Gilang pantas menjadi… suami saya, juga papa untuk dia. Bang Gilang juga menemui keluarga saya, Bu, menunjukkan keseriusan bang Gilang kepada saya. Bang Gilang memperjuangkan saya, berusaha untuk bisa bersama saya. Jadi saya juga harus melakukan hal yang sama, untuk memperjuangkan bang Gilang.”

“Berapa usia anak kamu?”

“17 tahun.”

Dewi menarik napas dalam, tapi tak lagi berkomentar. Melody ikut diam. Kepalanya menunduk, menatap gelas minumannya yang telah kosong. Pikirannya berkecamuk, namun ada sedikit perasaan lega setelah mengatakan rahasia kelamnya.

“Laki-laki itu, kamu tau bagaimana kabarnya?”

“Terakhir saya dengar, dia sudah menikah,” jawab Melody, tau siapa yang dimaksud Dewi, membuat Dewi mengernyit. Melody tersenyum tipis. “Kalau yang Ibu khawatirkan saya tiba-tiba berpaling kedia, saya yakinkan engga Bu. Selain sudah menikah, saya memang tidak memiliki perasaan apapun ke dia. Perasaan saya sudah hilang sejak dia meninggalkan saya dan anak saya.”

“Oh ya?”

“Saya mencintai Bang Gilang, Bu. Saya menyayanginya. Tolong beri saya kesempatan, Bu, untuk membuktikan bahwa saya layak menjadi pendamping bang Gilang.”

“Kamu tau konsekuensinya jika saya memberi restu? Orang-orang akan menggunjingkan kalian. Menggunjing saya dan suami saya, karena membiarkan anak saya menikah dengan perempuan seperti kamu. Saya nggak mau itu terjadi.”

“Dengan mengorbankan kebahagiaan bang Gilang, Bu?”

“Bahagia bisa diciptakan.”

“Betul, bu. Bahagia bisa diciptakan, tapi dalam masalah ini, bang Gilang ingin menciptakan kebahagiaan itu bersama saya. Dan saya pun begitu.” melody menarik napas dalam-dalam, kembali melanjutkan, “Saya juga memikirkan apa yang Ibu sampaikan tadi, menjadi bahan gunjingan itu nggak menyenangkan. Saya juga nggak mungkin menutup mulut mereka satu persatu. Yang hanya bisa saya lakukan, menutup telinga bang Gilang, dengan cinta dan kasih sayang yang saya miliki. Juga memastikan kebahagiaan untuk bang Gilang, bersama saya.”


***


Gilang benar-benar terkejut mengetahui Melody berada di rumahnya. Baru saja Gilang hendak masuk kedalam rumah, Melody dan Dewi berjalan mendekatinya. Melody melempar senyum, sedang Dewi memasang raut datar.

“Hai,” sapa Melody ringan.

Alih-alih senang melihat interaksi Dewi dan Melody yang tampak tenang, Gilang malah mengerutkan dahi. Merasa heran sekaligus penasaran.

“Bu, saya pamit pulang ya.” Melody menyalami Dewi yang disambut gumaman singkat. Setelah itu kembali masuk kedalam rumah. “Kenapa sih?” tanya Melody heran.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa. Kenapa sih?”

“Jangan pura-pura nggak ngerti deh, Mel. Lagian kamu ngapain sih kesini nggak kasih tau dulu?” omel Gilang, lagi-lagi disambut senyum kecil Melody. “Aku ini lagi ngomel lho. Kok malah senyum-senyum?”

“Ya kalo aku ikut ngomel, nanti ngga ada ujung Bang.”

“Ngapain kesini?”

“Ketemu Ibu. Ngobrol,” jawab Melody membuat Gilang menatapnya sangsi. “Beneran. Aku ngobrol sama Ibu. Sekaligus minta restu.”

“Hah?”

Melody menarik napas panjang lalu menatap Gilang. melody sangat beruntung dan bersyukur memiliki pasangan seperti Gilang. tak pernah menyerah untuk memperjuangkannya, membuat rasa cinta Melody semakin kuat.

“Menurut Abang aku pantes jadi isteri Abang?”

Gilang mengernyit. Bingung dengan pertanyaan Melody yang tiba-tiba. “Pantes.”

“Bahagia denganku?”

“Bahagia.”

Melody tersenyum. “Dan itu sedang aku usahain dengan Ibu. Aku lagi mempejuangkan kamu, Bang. Seperti kamu yang memperjuangkan aku. Seperti yang abang bilang, kita akan terus berjuang, hingga restu itu kita dapatkan. Kita akan terus berjuang, untuk kebahagiaan kita kelak.”

Gilang terpana. Matanya terasa panas merasakan kesungguhan Melody memperjuangakn hubungan mereka. Tangan Gilang terangkat, mengusap puncak kepala Melody penuh sayang. Ingin memeluk, namun Gilang tak bisa melakukannya. Dia tak mau, usaha Melody berakhir sia-sia karena tingkah sembrononya.

“Makasih ya.”

“Aku yang harusnya makasih. Makasih udah hadir dalam hidupku Bang. Makasih udah mencintai aku sebesar itu. makasih udah menerima aku, juga Arvin. Makasih ya?”

“Nggak perlu makasih, Mel. Karena kamu memang pantes untuk itu.” Gilang tersenyum hangat.

“Ya udah, aku pulang dulu ya? Udah sore, bentar lagi Arvin pulang.” Melody membuka pintu kemudi, namun ditahan Gilang.

“Aku anter ya.”

“Nggak usah, Bang.”

“Nggak apa-apa.”

“Bang, aku bawa mobil kok. Nggak usah dianter.”

“Iya, tau. Nanti aku pulang pake ojol.”

“Ribet, bang. Udah di rumah aja ya?”

“Tapi aku masih kangen,” seloroh Gilang membuat Melody tersenyum geli. Gemas, diberinya cubitan kecil dipipi kiri Gilang.
“Genit!”

“Kok genit? Ya wajar dong aku kangen pacarku,” rajuk Gilang.

“Inget umur, Bang,” kata Melody membuat Gilang semakin cemberut.

“Kamu bawa-bawa umur. Inget, kita beda setahun.”

“Tapi aku masih keliatan muda tuh,” kata Melody dengan nada songong, membuat Gilang berdecak. “Bercanda, Bang.”
Gilang mencibir.

“Ini ngobrol mulu kapan aku pulang? udah nggak usah dianter. Aku bisa sendiri. Abang juga baru pulang kerja. Mending istirahat di rumah. Sekalian temenin Ibu di rumah. Bapak sama Adit belum pada balik. oke?”

“Nganter doang, berapa menit sih.”
Melody melotot. Dengan berat hati, Gilang akhirnya mengangguk.

“Gitu dong. Aku pulang ya?” melody masuk ke dalam mobil. Diturunkannya kaca lalu menatap Gilang. “Nanti sampe rumah, aku kabari.”

“Jangan ngebut.”

“Iya.”

“Kalo ada apa-apa, telpon aku langsung.”

“Iyaaa, abaang,” kata Melody dengan nada panjang.

Gilang menyeringai. “Hati-hati.”

“Iya. Daah!”

Gilang melambaikan tangannya. Laki-laki itu berdiri dipagar rumah, menatap mobil Melody hingga menghilang dari pandangan. Gilang tak sadar, sedari tadi, Dewi memperhatikan interaksi mereka dibalik jendela. Menyaksikan kedua anak manusia itu terlihat bahagia satu sama lain.

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang