Bagian 31

5.6K 609 140
                                    


Melody sadar, hidup tak selalu sesuai dengan apa yang diinginkan. Jika manusia menginginkan sesuatu, belum tentu Tuhan menghendaki. Bukan karena Tuhan tak sayang, melainkan Tuhan tahu kapan waktu yang tepat untuk menghendaki-Nya. Tuhan ingin, manusia tersebut menikmati proses terlebih dahulu sebelum memperoleh keinginannya.

Saat ini, itulah yang Melody jalani. Setelah menangis hebat sepulang dari rumah sakit, Melody merenungkan lika-liku hidupnya belakangan ini. Pertemuannya dengan Gilang, mungkin memang dirancang Tuhan hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Mungkin memang bukan Gilang tempat Melody berlabuh.

Melody juga mulai menyadari, atau mungkin mengakui, bahwa mungkin saja selama ini, dia belum ikhlas menerima jalan hidupnya. Sebab terkadang, ada penyesalan yang selalu melintas dibenaknya kala Melody tengah melamun. Menyesali kebodohannya yang membuatnya kehilangan masa depan dan keluarganya.

Melody juga berusaha tak lagi menyalahkan Restu, sebab bagaimanapun, kalau saja Melody menolak ajakan Restu tentu dia tak akan mengalami kejadian mengerikan itu. Melody juga tak lagi mencari siapa yang bertanggung jawab terhadap perubahan reaksi tubuhnya setelah menenggak minuman sialan itu. Karena lagi-lagi, Melody mencoba menerima dan belajar untuk melupakan itu.

Kini Melody benar-benar ingin berdamai dengan hidupnya. Benar-benar menerima bahwa memang seperti inilah takdir hidupnya. Memulai semuanya dari awal, tentunya bersama Arvin, putra kesayangannya. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Melody tak lagi berharap pada kedua orangtuanya, atau pun pada Bagas, sebab Melody sadar tak selamanya adiknya selalu ada untuknya. Suatu saat, Bagas tentu harus fokus pada keluarga kecilnya.

Akhirnya, Melody memutuskan berkunjung ke rumah orangtuanya. Setelah sebelumnya berdebat dengan Arvin yang tak setuju dengan idenya, namun Melody tetap bersikeras. Jadi, disinilah Melody sekarang. Duduk disofa ruang tamu, dengan mata yang fokus menatap wajah kedua orangtuanya yang memilih menatap teh yang mengepulkan asap kecil.

Melody tersenyum kecil. “Sekali lagi saya minta maaf. Atas semua kesalahan-kesalahan yang saya lakukan. Saya minta maaf sudah membuat malu Papa dan Mama. Saya juga berterimakasih, atas semua jasa-jasa Papa dan Mama. Saya nggak akan lupa itu.”

“Tujuan saya datang kesini, saya mau pamit,” kata Melody membuat Mama seketika mendongak. Papa masih bergeming.

“Mbak mau kemana?” tanya Bagas tajam.

“Saya nggak akan datang kesini lagi. sesuai keinginan Mama dan Papa selama ini. Saya akan… bersikap seolah saya bukan bagian keluarga ini lagi.”

“Mbak!” seru Bagas marah namun Melody mengabaikan.

“Saya harap apa yang saya lakukan ini, membuat perasaan Papa dan Mama lebih baik. Tapi sebagai permintaan terakhir saya, tolong terima ini.” Melody meletakkan sebuah kartu kecil diatas meja, mendorongnya kehadapan Mama. “Ini kartu nama saya. Hubungi nomor itu kalau butuh bantuan saya. Walaupun bukan sebagai anak, setidaknya biarkan saya menolong sebagai sesama manusia.”

Bagas tercengang. Tak abis habis pikir dengan jalan pikiran Melody. “Mbak….”

“Kamu baik-baik dengan Papa dan Mama ya, Gas. Buat mereka bangga, jangan kecewakan mereka kayak Mbak.” Melody tersenyum lalu terakhir, dia tatap wajah kedua orangtuanya. Menyimpannya kedalam memori sebab Melody tak tahu, kapan dia bisa bertemu lagi dengan kedua orangtuanya.

“Permisi.”

Melody beranjak dari duduknya, disusul oleh Bagas. “Mbak, nggak gini caranya,”

“Apanya, Gas?”

Bagas menarik napas panjang. Wajahnya terlihat lelah dengan masalah yang tak kunjung usai dari sekian belasan tahun lalu. Dia sungguh ingin Melody kembali ke rumah ini, tapi semua terasa sulit sebab Papa mereka benar-benar kaku dan tak bisa dibantah.

Hold Me TightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang