"Baik, Pak. Saya ke apartemen bapak sekarang."
Aku berdecak kesal sembari menatap layar ponsel. Dengan seenak jidatnya Pak Bagas menyuruh ku untuk datang ke apartemennya. Masalahnya itu sekarang sudah malam; Pukul tujuh malam. Dan aku seorang perempuan. Kalau ada yang menculikku, gimana? Jangan sampai!
Pak Bagas menyuruh aku datang itu untuk membantu menyelesaikan berkas-berkas yang untuk dibawa ke luar kota. Yap, Pak Bagas berencana akan ke luar kota besok. Dan, tentu saja, aku yang notabennya sekretaris sekaligus asisten pribadinya, mau tidak mau harus ikut.
Sepanjang perjalanan aku hanya melihat ke luar jendela mobil taksi. Jalanan Ibu Kota memang tidak pernah sepi. Hingga ponsel berbunyi yang menandakan ada pesan baru masuk.
Aku memutar bola mata malas ketika tahu siapa yang mengirimiku pesan singkat.
Pak Bagas Galak.
Renata, kenapa belum sampai? Lama banget!
Dasar enggak sabaran! Rutuk ku dalam hati.
Saya lagi di jalan, pak. Sebentar lagi sampai
Pesan balasanku Cuma di-read sama Pak Bagas.
***
Mengantuk.
Itu yang aku rasakan sekarang. Padahal aku sudah minum secangkir kopi, tapi enggak pengaruh juga. Aku butuh tidur! dan leherku juga sudah pegel banget gara-gara terus menunduk ke arah laptop.
Ini kapan selesainya...
Aku mau pulang!
Padahal besok harus pergi ke bandara, tapi jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam belum kunjung selesai juga. Aku jadi takut kalau besok aku kesiangan. Dan, siap-siap saja kupingkh panas gara-gara omelan Pak Bagas.
"Hoam." aku sudah berkali-kali menguap. Kalau mencuci muka, mungkin ngantuknya hilang, pikirku.
"Pak," panggilku ke Pak Bagas yang sibuk sama laptopnya.
"Hm?" sahut Pak Bagas.
"Saya ijin ke toilet bentar, ya, Pak," ucapku. Pak Bagas hanya menganggukan kepalanya.
Pak Bagas itu tipe orang yang suka kebersihan. Itu bisa dilihat dari apartemennya yang terlihat sangat rapi. Apartemen milik Pak Bagas termasuk apartemen mewah, yang menurutku pasti harganya mahal.
Aku melewati sebuah ruangan yang tidak tertutup dengan benar, ada celah di sana. Rasa penasaran ku lebih mendominasi, dan melupakan tujuan awalku, ke toilet. Aku mundur selangkah, menghadapkan diriku ke arah ruangan itu.
Iya aku tahu, itu kamarnya Pak Bagas. Memang, kalau mau ke toilet itu melewati kamar Pak Bagas. Tapi anehnya tumben banget Pak Bagas tidak menutup kamarnya dengan benar. Biasanya ruangan itu—kamar Pak Bagas—selalu tertutup dengan rapat, bahkan terkunci.
Aku selalu berpikir yang aneh-aneh tentang kamar itu. Apa jangan-jangan Pak Bagas menyimpan wanita di dalam sana? makanya selalu dikunci? Daripada aku terus berpikiran yang tidak-tidak, mendingan aku pastikan sendiri kalau itu tidak benar. Tapi masalahnya kalau aku ketahuan, gimana? Yang ada aku kena omel sama Pak Bagas. Tapi, kalau aku tidak memastikannya, yang ada aku terus berpikiran negatif, dan itu tidak baik.
Oke, aku bakal meriksa kamarnya Pak Bagas.
Pak Bagas, saya ijin masuk, ya ...
Aku mengedarkan pandangan, memastikan kalau keadaan aman. Setelah itu, aku buka perlahan pintu berwarna hitam itu. Aku melangkah masuk lebih dalam.
Kamarnya Pak Bagas didominasi dengan warna putih. Hanya tempat tidur dan lemari pakaian yang berwarna abu-abu. Yang menarik perhatianku itu, ada jendela besar yang ternyata menuju ke balkon. Dari balkon bisa terlihat indahnya kota pada malam hari.
"Waahh ... Cantiknya." Aku terkagum-kagum.
"Kamu ngapain, Renata?"
Deg!
Seketika senyum diwajah ku memudar, begitupun dengan tubuhku yang menegang. Suara itu cukup bikin bulu kuduk ku meremang. Ya, suara berat itu milik Bagas Aditama.
Memang, ya, penyesalan itu selalu datang terakhir.
Nyesel aku masuk kamarnya Pak Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...