Bagian 19 ; Tidak Boleh Jatuh Cinta

12.7K 651 17
                                    

Aku dan Andra memutuskan untuk ke Kafe, lebih tepatnya Kafenya Maya, sahabatku. Awalnya Andra ingin mengajakku makan di restoran, tapi entah kenapa aku lagi enggak mood makan, dan aku meminta Andra untuk ke kafe saja. Untungnya Andra tidak keberatan, dan mau menuruti permintaanku.

Sekarang, aku dan Andra duduk di meja dekat jendela, saling berhadapan. Sebelumnya aku sudah memesan dua minuman hangat.

"Maaf, ya, Ndra. Enggak jadi makan malam," ucapku membuka obrolan.

"Iya, Rena ... enggak apa-apa, kok. Kamu enggak ngebatalin janji aja aku bersyukur," ujar Andra.

"Aku?" tanyaku setelah mendengar Andra menyebut dirinya "Aku"

"Kenapa? Kamu keberatan?" tanyanya.

"Bukan gitu, tapi biasanya, kan manggilnya pake 'Saya' agak aneh aja tiba-tiba jadi 'Aku'," ujarku.

"Kalo terus-terusan manggil Saya, kesannya formal banget. Jadi, mulai sekarang pake Aku, biar tambah deket," jelas Andra. Aku hanya manggut-manggut mengerti, dan setuju dengan panggilan "Aku".

Setelah itu, aku dan Andra banyak mengobrol, mengenal satu sama lain. Sesekali aku juga tertawa ketika mendengar Andra bercerita. Entah kenapa, kalau bersama Andra aku bisa melupakan masalahku sesaat. Dan, jujur, aku merasa nyaman kalau bersama Andra.

"Ya ampun! Udah malem banget, kamu enggak pulang?" tanyaku ketika melihat jam yang sudah menunjuk pukul Sembilan malam.

"Kamu ngusir aku?" Andra malah balik bertanya.

"Bukan begitu, tapi ini udah malem dan rumah kamu jauh. Besok kamu ada ngajar pagi, kan?" kataku.

"Yah, padahal aku masih mau ngobrol. Yaudah kalo gitu kamu aku anter pulang dulu."

"Enggak usah, aku masih mau di sini dulu. Rumah aku deket kok dari sini," jelasku.

"Beneran enggak mau aku anter pulang? kamu perempuan, dan ini udah malem. Takut kenapa-kenapa." aku bisa lihat raut khawatir Andra. Aku meyakinkan Andra kalau aku bakal baik-baik saja, dan Andra tidak perlu khawatir.

Andra menghela napas. "Yaudah, aku pulang dulu," pamit Andra, dan mengusap pucuk kepalaku lembut. Membuatku terdiam karena perlakuan Andra yang mendadak, dan aku yakin sekarang pipiku memerah karena perlakuan manis Andra.

Setelah Andra keluar dari kafe, dan mobilnya sudah benar-benar menghilang dari pandanganku, aku segera memegang kedua pipiku yang terasa memanas. Seketika senyumku menghilang ketika mengingat sesuatu.

Entah kenapa, sekarang perasaan bersalah menyelimutiku. Tiba-tiba aku mengingat Pak Bagas, apalagi tentang kejadian tadi siang saat di kantor. Aku merasa jadi perempuan yang tidak benar, suka memainkan perasaan orang lain.

Padahal jelas-jelas tadi siang Pak Bagas 'Melamar' ku, dan beberapa saat yang lalu aku malah berduaan dengan pria lain.

Ya ampun, Renata! Apa yang kamu lakukan? Kenapa aku jadi serba salah begini, sih?

"Kenapa? perasaan tadi seneng-seneng aja sama Andra, kenapa sekarang lemes amat?" Sebuah suara membuatku mengangkat kepala, yang sebelumnya aku rebahkan di atas meja.

"Pak Bagas, May ... "

"Lah? Kok tau-tau Pak Bagas, sih? kan jelas-jelas kamu tadi sama Andra. Gimana, sih?"

"Makanya itu, May. Sekarang aku jadi ngerasa bersalah," kataku.

"Maksudnya?" tanya Maya, bingung.

"Tadi siang pas di kantor, Pak Bagas ... ngelamarku," jawabku.

"Oh-APA?! NGELAMAR?!" Maya terkejut mendengar ucapanku.

Ingin rasanya sekarang aku berteriak, meluapkan segala masalah yang ada. Tapi, hal seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beruntungnya aku punya sahabat, seseorang yang bisa aku ajak bertukar pikiran, bercerita di saat diri sendiri tidak bisa menanggungnya. Setidaknya bisa mengurangi beban masalah.

"Iya, tapi, Pak Bagas bukan ngelamar romantis pake cincin gitu, bukan. Tiba-tiba aja pas lagi ngobrol empat mata, Pak Bagas ngomong mau jadiin aku istrinya, entahlah," ucapku. "Kamu tau, kan, May, mottoku dalam bekerja? Tidak boleh jatuh cinta sesama pegawai. Dan, Pak Bagas itu juga termasuk pegawai kan? Jadi, aku enggak boleh menaruh perasaan sedikitpun ke Pak Bagas."

"Iya, aku tahu. Tapi, kita enggak ada yang tahu lho, bisa jadi besok-besok hatimu malah milih Pak Bagas. Kamu kerja sama Pak Bagas itu udah lama banget, setiap hari ketemu, udah tau sifat masing-masing. Bisa jadi di hatimu malah udah ada Pak Bagas, tapi kamu enggak sadar, mungkin, kan?"

"Enggak mungkin!" Aku menyangkal, tidak setuju dengan ucapan Maya.

The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang