"Nih, Pak, lihat." Aku menunjukkan ponsel ku yang membuka aplikasi pesan dengan Bundanya Pak Bagas. Di dalam chat tersebut Nyonya Aditama memberikan usulan soal pesta pernikahan. Oh ayolah, aku capek sudah seminggu ini Bunda Pak Bagas selalu meneror ku dengan pernak-pernik pernikahan.
Pak Bagas malah terlihat tidak peduli, dia sempat melirik namun detik berikutnya fokus ke layar komputer meneruskan pekerjaannya. "Saya sibuk, kerjaan lagi banyak. Kerjaan kamu juga banyak, kan? Udah sana balik ke meja."
Aku memutar mata sebal. Pak Bagas malah mengingatkanku dengan setumpuk pekerjaan. Aku lalu meninggalkan ruangan Pak Bagas dan kembali bergelut dengan pekerjaan.
***
Aku merenggangkan otot leher kemudian tangan yang terasa kaku akibat terlalu lama di depan layar komputer. Merebahkan punggung ke belakang, aku mengamati ruangan Pak Bagas yang tertutup. Pak Bagas tidak keluar ruangan sejak tadi.
Aku berdiri dan ingin ke ruangan Pak Bagas, namun baru selangkah Pak Bagas menunjukkan batang hidungnya.
"Ren, kamu setelah pulang kerja sibuk, enggak?" tanya Pak Bagas
"Enggak, Pak. Kenapa memangnya?" tanyaku penasaran.
"Bagus! Temenin saya nonton, enggak ada penolakan!" jawab Pak Baggas dengan perintah yang tentunya tidak bisa ditolak.
Aku Cuma bergumam sebagai jawaban. Toh, itu bukan ajakan melainkan sebuah perintah. Pak Bagas dan perintah memang tidak bisa dipisahkan.
***
Selama perjalanan, aku hanya menjelajah di Media Sosial. Saat menyadari sesuatu, aku langsung melotot ke arah Pak Bagas. "Pak! ini, kan ke arah apartemen Bapak. Bukan ke bioskop."
Pak Bagas fokus ke depan sambil menjawab, "Iya, memangnya kenapa?"
"Lho, kok malah tanya kenapa, Pak? jelas-jelas Bapak ngajak saya nonton."
"Ya emang. Nontonnnya di apartemen saya, bukan di bioskop," jelas Pak Bagas membuat ku mengerutkan kening dalam. "Penipuan ini! Bapak nggak bilang kalau nontonnya di tempat Bapak."
"Penipuan dari mana? kan emang jelas kamu saya ajak buat nonton, tapi di tempat saya, bukan di bioskop. Memang sekarang apa yang ada di otak mu itu, hah?"
Kalimat yang terlontar dari mulut Pak Bagas membuat aku terdiam. Percuma, ujung-ujungnya selalu aku yang kalah.
Ingat!
Peraturan Pertama, Bos selalu benar.
Peraturan Kedua, jika Bos salah, kembali ke peraturan Pertama.
***
Aku menekuk mukaku sebal. Aku dibohongi. Katanya mau nonton tapi nyatanya aku malah dibawa ke apartemen Pak Bagas. Aku sudah menyiapkan serentetan kalimat yang akan aku lontarkan pada Pak Bagas sembari menunggu Pak Bagas bersih-bersih.
Aku terkejut membuka mataku paksa. Duduk tegak, dan melihat Pak Bagas berdiri di depan ku. Aku memegang pipi kiriku basah karena keisengan Pak Bagas yang menempeli gelas berisi air dingin ke pipiku.
"Sampe ketiduran begitu sih," kata Pak Bagas setelah duduk di sampingku. Aku meliriknya sekilas. "Bapak mandi sekalian sikat-sikat kamar mandi apa ya? Lama banget."
"Nih minum." Pak Bagas menyodorkan gelas yang berisi air dingin padaku.
Baru saja aku ingin membuka mulut, Pak Bagas sudah ngomong lebih dulu, "Nggak usah misuh-misuh. Duduk manis nikmatin filmnya!" aku langsung melipat bibirku ke dalam. Tauan aja kalo mau ngomel-ngomel.
Aku diam dan Pak Bagas juga diam. Di menit awal film, aku sudah menguap.
"Ini mah saya sudah pernah nonton, Pak. Filmnya sedih. Siapin tisu aja, Pak," kata ku.
"Diem, saya belum pernah nonton. Lagian ngapain sampai nangis Cuma gara-gara film. lebay kamu," ucap Pak Bagas remeh.
"Iya deh terserah Bapak. Awas aja kalo sampe nangis," peringat ku.
"Enggak bakal!" keukeuh Pak Bagas.
***
Sayu-sayup aku mendenger sesuatu. Mengucek mataku sebentar, lalu aku menoleh ke kiri, di mana Pak Bagas masih fokus menonton film.
"Tuh kan, Bapak nangis!" ledek ku sembari tertawa dengan kencang. Oh ayolah, ini pertama kalinya aku melihat Pak Bagas matanya berkaca-kaca sedih. Dengan cepat Pak Bagas mengelap air matanya yang sedikit menetes.
"Siapa yang nangis?! Enggak ada tuh. Ini saya tadi—kelilipan, iya kelilipan," elak Pak Bagas enggak mau ngaku.
"Apaan matanya berkaca-kaca gitu. Masih ngelak aja," cibirku.
"Heh! Pundak saya pegel nih gara-gara kamu tidur." aku menyengir lebar. Memijat pundak Pak Bagas sambil menggumammkan kata maaf.
Bisa-bisanya aku tidur dipundak Pak Bagas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...