Lampu-lampu besar menggantung indah, beberapa bunga yang didominasi warna putih terlihat di titik tertentu, mempercantik ballroom yang cukup luas. Juga adanya meja dan kursi yang cukup banyak. Pun makanan yang tersaji untuk para tamu undangan.
"Inget! Kamu saya ajak ke sini itu sebagai pacar, bukan sekretaris," bisik Pak Bagas.
"Iya, Pak," ucapku juga berbisik. Setelah itu, Pak Bagas menyuruhku untuk menggamit lengannya. Awalnya aku ragu, tapi Pak Bagas memaksa, dan akhirnya aku memeluk lengan Pak Bagas.
Pak Bagas menggiringku entah ke mana, tapi sepertinya dia akan membawaku ke yang punya acara. Iya, jadi Pak Bagas itu mengajakku ke acara pernikahan temannya. Menurutku, Pak Bagas malas datang sendirian, yang ada ketahuan kalau belum punya pasangan. Biasanya orang-orang kalau ke kondangan selalu membawa pasangan. Tapi, Pak Bagas ...
"Dasar jomblo," cicitku.
"Apa? Kamu barusan bilang apa?" Tanya Pak Bagas.
"Eh? Eng--enggak bilang apa-apa kok, Pak," jawabku gelagapan.
Di sana, seorang pria dengan setelan jas perpaduan warna putih dan hitam, juga perempuan dengan gaun berwarna putih yang terlihat sederhana namun elegan. Aku tebak, mereka berdua yang punya acara ini.
"Bagas! Aku kira kamu enggak bakal dateng," ucap pengantin pria terkejut sekaligus senang saat Pak Bagas berdiri di hadapannya.
"Selamat, ya," kata Pak Bagas dengan senyum sekilas sambil menjabat tangan pengantin pria juga pengantin wanitanya.
Aku hanya tersenyum kikuk, dan memberi selamat juga kepada pasangan yang tengah berbahagia di hadapanku sekarang. Walaupun aku enggak kenal sama mereka.
"Oh, iya, cewek ini siapanya kamu? Tetangga? Eh, tapi kayaknya bukan, deh. Adik? Oh, iya, kamu, kan anak satu-satunya. Terus siapa dong?"
"Calon istri," celetuk Pak Bagas memotong ucapan mempelai pria yang enggak aku ketahui namanya. Aku bisa lihat, dia terkejut ketika Pak Bagas memperkenalkanku sebagai calon istrinya. Entah kenapa, ketika Pak Bagas bilang "Calon istri'' bulu kudukku meremang.
"Serius? Aku kira kamu jomblo. Soalnya, jaman kuliah aja kamu enggak pernah deket sama perempuan. Juga aku nggak denger apa-apa soal kamu udah punya calon istri. Aku do'ain yang terbaik deh buat kalian berdua."
Pak Bagas hanya tersenyum menanggapi ucapan temannya.
"Oh, iya, namamu siapa?" tanya pengantin pria itu ke aku.
"Huh? Mmm ... Aku Renata, panggil aja Rena," jawabku.
"Ok, Rena. Kenalin, aku Arya, dan perempuan cantik yang di sampingku ini istriku, namanya Karin," ucap pengantin pria bernama Arya, dan memperkenalkan istrinya.
***
"Pak, saya ke tempat yang banyak makanan aja, ya? Bapak lanjut aja ngobrolnya. Saya sendirian enggak apa-apa, kok." aku berbisik ke Pak Bagas. Sedari tadi, aku sudah di ajak ke sana-ke mari hanya untuk bertemu teman-temannya Pak Bagas. Aku bosan, dan juga lapar.
"Yaudah, sana. Tapi, kalo udah kenyang balik ke sini lagi," kata Pak Bagas. Dengan wajah yang sumringah, aku pun berlalu pergi dan menuju ke meja yang menyajikan banyak makanan enak.
Mataku berbinar ketika melihat makanan tersaji di atas meja. Sudah seperti melihat harta karun saja. Tanpa basa-basi lagi aku mencomot Satu sejenis kue dan melahapnya. Tekstur lembut dengan krim memanjakan lidahku. Enak banget!
"Renata?" Panggilan seseorang membuatku menghentikan kegiatan; mengunyah makanan. Dengan buru-buru aku segera menenggak air minum. Mengelap bibirku dengan punggung tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...