Pak Bagas mendatangi meja kerjaku. "Ren, pulang kerja saya mau ajak kamu nonton, bisa?" belum aku menjawab Pak Bagas melanjutkan kalimatnya, "Kemarin saya ngebentak kamu gara-gara hal sepele, soal bunga. Sebagai permintaan maaf saya mau ajak kamu ke bioskop."
"Eh? Nggak apa-apa, Pak. Saya biasa aja kok kemarin," kataku.
"Saya tunggu di depan kantor, ya!" kemudian Pak Bagas langsung masuk ke ruangannya.
Aku mengerjapkan mataku beberapakali. Padahal aku tidak masalah, kenapa Pak Bagas malah membuat keputusan sepihak begitu?
Setelah jam kerja selesai, aku menunggu dia di depan pintu utama. Setelah beberapa menit kemudian, mobil berwarna hitam berhenti. Itu mobilnya Pak Bagas, aku sudah hapal. Tanpa disuruh, aku pun masuk ke dalam kendaraan beroda empat itu.
Setelah menembus macetnya jalanan Ibukota —jam-jam pulang kerja— akhirnya aku dan Pak Bagas masuk ke dalam pusat perbelanjaan, yang juga ada Bioskopnya-sebelumnya aku dan Pak Bagas setuju untuk nonton terlebih dahulu.
Begitu masuk ke dalam bioskop, aroma popcorn menyapa hidungku. Ramai juga. Padahal ini bukan hari libur.
"Kamu mau nonton apa, Ren?" tanya Pak Bagas yang berdiri di sampingku.
"Itu," tunjukku pada salah satu poster film.
"Horor? Kamu yakin?" tanyanya.
"Yakinlah! Kenapa? Bapak takut?" aku menoleh pada Pak Bagas.
"Takut? Nggak, kok. itu kan Cuma film!" elak Pak Bagas.
"Oke, kalo gitu saya beli tiketnya dulu. Bapak duduk saja di sana." Tunjukku pada tempat duduk yang kosong. Kemudian Pak Bagas menurut apa yang aku katakan.
Aku berjalan pada antrian untuk memesan tiket. Namun, mataku justru menangkap pria tinggi yang terlihat tidak asing. Kemudian aku memilih menghampiri pria bertelinga lebar itu.
"Andra?" pria yang aku panggil menoleh. Wajahnya sedikit terkejut, namun dalam beberapa detik senyum terbit di wajahnya.
"Rena? Kebetulan banget! Baru saja aku pengin nge-chat kamu, nih," katanya sambil nunjukin layar ponselnya yang nampilin aplikasi chat.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Pengin ngajakin kamu nonton, eh tahunya malah ketemu di sini. Mungkin jodoh?" ujarnya.
"Apaan, sih," kataku dan Andra malah terkekeh.
Setelah beberapa menit bersabar menunggu antrian, akhirnya sudah tiba giliranku untuk memesan tiket. Sebelumnya aku sudah menyuruh Andra menunggu dan duduk dengan manis, dan biarkan aku saja yang mengantri.
Andra menghampiri ketika melihat aku kesusahan membawa dua popcorn. Satunya dia pegang, dan satunya lagi aku yang pegang.
"Lho, kok tiketnya ada tiga? Memangnya satunya lagi siapa?" tanya Andra ketika melihatku memegang tiga tiket. Ah, iya, aku lupa bilang ke Andra kalau aku nonton dengan Pak Bagas.
"Rena! Kenapa lama banget sih?! saya capek nunggu!" suara seseorang membuat aku dan Andra serempak menoleh.
***
Aku duduk di antara Pak Bagas dan Andra. Semua lampu sudah di matikan. Layar super besar yang berada di depan menyala. Sebentar lagi filmnya akan dimulai. Menurutku film horor itu tidak begitu menyeramkan, karena aku tahu itu Cuma film, enggak nyata.
Aku menoleh ke arah kanan, tepatnya ke arah Pak Bagas. Aku menahan tawa ketika melihat Pak Bagas duduk dengan tegak dengan popcorn yang ia pegang, serta wajahya terlihat cemas, bahkan beberapa kali menghembuskan napas dari mulutnya. Oke, sepertinya Pak Bagas takut. Duh, aku enggak bisa ngebayangin. Muka galak, tapi takut hantu. Ngakak dalam hati aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...