Suara deburan ombak terdengar jauh di sana. Hembusan angin malam menggelitik permukaan kulit. Langit hitam dihiasi banyak bintang yang berkelap-kelip. Duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati, aku dan Andra tengah berbincang.
Fakta baru yang aku ketahui tentang Andra adalah dia seorang dosen yang mengajar di salah satu kampus swasta di Ibukota. Dia juga bercerita tentang hobinya yang suka menonton film. Katanya, kalau ada waktu luang, Andra akan menyempatkan diri ke bioskop hanya sekadar menonton.
Di tengah-tengah perbincangan aku dengan Andra, dering ponselku berbunyi.
Sekali lagi aku bilang, Pak Bagas adalah orang yang paling menyebalkan! Aku sedang berbicara Empat mata dengan Andra, namun tiba-tiba Pak Bagas meneleponku, dan menyuruh untuk datang ke kamarnya. Untuk apa?
BUAT NYARI CHARGERANNYA YANG HILANG!
Emosi aku. Padahal yang pakai Pak Bagas sendiri, masa lupa naruhnya di mana? Kalaupun hilang, tinggal beli lagi apa susahnya, sih? Padahal uang Pak Bagas itu banyak. Beli chargeran doang mah gampang. Sekalian ganti ponsel saja.
Dengan tidak enak hati, aku pamit dengan Andra, dan meminta untuk mengobrol dilain waktu saja. Sebelumnya, aku sudah bertukar nomor kontak dengan Andra.
Tok! Tok! Tok!
Pemilik kamar membuka pintunya setelah aku mengetuk sebanyak Tiga kali. Dengan memasang wajah masam, aku main masuk begitu saja ke dalam kamar Pak Bagas. Kemudian, langsung membuka setiap laci lemari yang ada di sana.
"Dasar enggak sopan!" Omel Pak Bagas. Aku tetap mencari, tanpa peduli dengan gerutuan Pak Bagas. Aku pengin cepat-cepat keluar dari kamar Pak Bagas!
"Pak ... terakhir kali Bapak taruh mana?" tanyaku super lembut. Dari tadi aku sudah mencari, tapi tidak kunjung ketemu. Dan, yang membuat aku tambah kesal itu, Pak Bagas hanya mengendikkan bahunya tidak tahu sebagai jawaban.
Sleding bos sendiri boleh enggak, sih?
Tanpa sadar, aku sudah terlalu lama mencari chargeran Pak Bagas yang entah hilang ke mana. Tapi, aku masih sabar dengan Pak Bagas yang hanya duduk di sofa- yang memang ada di dalam kamar- sambil bermain ponselnya.
"Udah ketemu belum, Ren? lama banget, sih! Baterai ponsel saya tinggal Duapuluh persen."
Jujur, tanganku sudah gantal pengin narik rambut hitam Pak Bagas. Beruntunglah Pak Bagas punya sekretaris sepertiku yang bisa mengontrol emosi.
Sabar Rena ... Sabar ...
"Bapak yakin bawa chargerannya? Jangan-jangan Bapak enggak bawa? Dari tadi dicari enggak ketemu lho ini. Saya ngantuk, Pak, udah malem," ucapku dengan muka melas.
Pak Bagas terlihat seperti orang yang tengah berpikir. Tidak butuh waktu lama, Pak Bagas menjentikkan jarinya, seperti mengingat sesuatu.
"Ah, saya baru inget! Chargerannya masih di mobil, lupa saya. Kalo gitu, kamu balik ke kamar sana, biar saya aja yang ambil chargerannya," ujar Pak Bagas tanpa rasa bersalah sama sekali. Ingin sekali aku menarik rambut Pak Bagas dengan kencang sampai pada rontok!
BODO AMAT, PAK! TERSERAH PAK BAGAS AJA!
***
Tiga hari kemudian.
Sekarang, aku berdiri di depan pintu utama kantor. Sekitar Satu jam yang lalu, Andra mengirimiku pesan singkat. Katanya, dia pengin datang ke tempat kerjaku, karena kebetulan lagi berada di daerah tempat aku kerja. Aku pun memperbolehkannya datang, tapi saat jam istirahat.
Kaki panjangnya melangkah dengan senyum tulus yang menghiasi wajahnya, Andra berjalan ke arahku.
"Lama?" tanyanya. Aku pun segera menggeleng.
"Oh, iya, Ndra. Kita makan di restoran di sebrang sana, yuk? Makanannya enak lho," ajakku. Andra menoleh kebelakang mengikuti arah pandangku, kemudian menatapku lagi, dan mengangguk.
"Andra? Renata?" panggilan seseorang menghentikan langkahku dan Andra yang baru saja beberapa melangkah. Dengan serempak, aku dan Andra menoleh ke sumber suara. Dia, Dimas.
Terlihat jelas Dimas menatapku dengan tatapan bingung, raut mukanya menggambarkan kalau dia butuh penjelasan. Tapi aku tidak peduli dan berlalu menarik Andra, meninggalkan Dimas.
***
"Renata! Kamu dengerin saya enggak, sih?!"
Pekikan Pak Bagas mengagetkanku yang tengah melamun memikirkan Andra. Entahlah, Pria yang baru aku kenal Lima hari lalu itu selalu berputar di pikiranku.
"Maaf, Pak," cicitku, menundukkan kepala.
Aku bisa mendengar helaan napas panjang Pak Bagas. "Saya ngomong panjang lebar, tapi kamu malah enggak denge-- "
Ucapan Pak Bagas terpotong oleh suara dering ponsel. Itu bukan ponselku, asal suara itu dari ponselnya Pak Bagas.
Aku bisa lihat Pak Bagas menjauh sambil menempelkan ponselnya ke telinga. Dan berbicara dengan seseorang di sebrang sana.
Beberapa menit lamanya, Pak Bagas kembali lagi, dan duduk di sofa. Aku pun menunduk kembali, takut kena omel sama Pak Bagas.
"Rena," panggil Pak Bagas.
"Iya, Pak?" Sahutku masih menunduk.
"Tatap mata saya, Renata! Saya lagi bicara sama kamu," titah Pak Bagas. Aku pun mengangkat kepala.
"Sepertinya tugas kamu belum selesai," kata Pak Bagas, membuatku mengerutkan kening bingung.
"Tugas apaan, Pak?"
"Sebagai Pacar saya." Kalimat yang meluncur dari bibir Pak Bagas membuat aku membulatkan mata. Terkejut.
"Enggak usah kaget begitu! Maksud saya itu pacar pura-pura. Asal kamu tahu, ya, kamu itu enggak masuk ke dalam kriteria calon istri saya," ujar Pak Bagas dengan entengnya.
Cih, lagipula siapa juga yang mau jadi istrinya?!
"Hari Minggu nanti saya akan jemput kamu. Ingat! Pakai baju yang Bagus."
Hah? Aku enggak ngerti. Hari Minggu? Mau ngapain?
"Maaf, Pak, hari Minggu nanti saya enggak bisa. Udah ada janji," ujarku jujur. Sebelumnya, aku dan Andra sudah membuat janji akan bertemu di hari Minggu. Kata Andra, anggap saja kencan.
"Enggak ada penolakan! Ini perintah!" Titah Pak Bagas tak terbantahkan.
Aku hanya menghela napas. Pada akhirnya, Pak Bagas yang menang dan aku yang kalah. Dengan terpaksa, aku membatalkan janji dengan Andra.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
Fiksi UmumBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...