Bagian 20 ; Pergi Begitu Saja

11.2K 634 23
                                    

Benar apa yang diucap Pak Bagas, aku jangan kaget kalau tiba-tiba Pak Bagas bersikap manis. Contohnya seperti tadi pagi, aku terkejut ketika Pak Bagas sudah ada di depan rumahku buat berangkat bareng ke kantor. Bukan Cuma itu saja, bahkan Pak Bagas memberikanku sarapan roti isi, dan dibuat sendiri olehnya, katanya.

"Bener enggak sih? katanya Pak Bagas udah punya calon istri."

"Denger-denger, sih, iya."

"Wah, beruntung banget tuh cewek."

"Iya. Bisa dibilang hari patah hati sekantor ini mah!"

Dari balik pintu bilik toilet, aku bisa mendengar percakapan dua orang perempuan yang tengah bergosip tentang Pak Bagas. Membicarakan kalau Pak Bagas sudah punya calon istri. Hal yang menariknya, apa iya perempuan yang menjadi calon istrinya Pak Bagas merupakan perempuan beruntung? Dan, apa aku termasuk orang yang beruntung? Mereka seperti tidak kenal Pak Bagas saja. Tukang paksa, dan marah-marah begitu. Kalau jadi istrinya Pak Bagas, yang ada kena omel tidap hari.

Tunggu. Darimana gosip itu menyebar?

***

"Renata, sini!"

Baru saja keluar dari toilet, aku ditarik oleh seseorang dengan kasarnya. Untung saja aku tidak jatuh, karena keadaanku yang pakai high heels. Kalau aku sampai jatuh, enggak segan-segan aku jambak si pelaku sampai botak! Kalau pengin ngomong, kan enggak perlu pakai acara tarik-tarik segala.

"Ngapain, sih, Dim?! Sakit tau tanganku!" sentakku sambil melepas pergelangan tanganku dari cengkraman Dimas.

"Kamu pasti sudah denger, kan? Gosip tentang Pak Bagas," tanya Dimas.

"Gosip apaan?" aku pura-pura enggak tahu.

"Aku tahu kok siapa calon istrinya Pak Bagas," ujar Dimas yang bikin jantungku mencelos ke bawah. Entah kenapa perasaanku tidak enak.

"Pak Bagas sudah punya calon istri?!" aku pura-pura terkejut.

"Ck! Enggak usah pura-pura kaget. Calon istrinya, kan lagi di depanku sekarang." ucapan Dimas membuatku terbatuk.

"Apaan, sih? ngaco!" aku mencoba mengelak.

"Aku denger pembicaraan Pak Bagas waktu telponan sama seseorang, dia nyebut Calon istri dan namamu. Satu kantor udah pada tahu, seharusnya kamu beruntung namamu enggak aku sebut. Baik, kan aku?" jelas Dimas.

Benar dugaanku. Pasti Dimas yang menyebar berita kalau Pak Bagas sudah punya calon istri. Dan, apa katanya? "Baik, kan aku?" Dasar lambe Dimas! Tukang gosip! Aku yakin pasti di ponselnya ada grup chat yang isinya buat ngegosip. Cepat banget kalau ada berita-berita terbaru, satu kantor langsung pada tahu.

Baru saja aku pengin mengomel, Dimas sudah menyuruhku diam."Ssstt, aku belum selesai bicara."

"Laki-laki juga punya perasaan, punya hati, bisa ngerasain sakit," ujar Dimas kemudian meninggalkanku sendirian. Maksudnya?

***

"Pak, ini laporannya sudah selesai." aku menaruh beberapa berkas di atas meja kerja Pak Bagas.

Aku perhatikan wajah Pak Bagas yang terlihat begitu serius. Alisnya berkerut, matanya bergerak membaca layar komputer. Entah kenapa, Pak Bagas terlihat keren kalau sedang bekerja, apalagi kalau lagi serius di depan monitor.

"Ngelihatin sayanya biasa saja, Renata. Kayak enggak pernah lihat orang ganteng saja," celetuk Pak Bagas, membuatku tersadar.

Terserah Pak Bagas saja lah ...

Aku tersenyum. "Kalau gitu saya permisi, Pak."

"Kamu mau ke mana, Renata? Memangnya saya nyuruh kamu pergi?" tanya Pak Bagas, membuatku membalikkan tubuh kembali, menghadap Pak Bagas.

"Maaf, Pak. Pak Bagas butuh sesuatu?" tanyaku sambil tersenyum.

"Iya, kamu," jawab Pak Bagas. Membuatku mengerjapkan mata beberapa kali, mengerutkan alis, tanda kalau aku tidak mengerti akan ucapan Pak Bagas barusan.

Maksudnya?

Pak Bagas bangkit dari duduknya, memindahkan kursi yang berada di depan mejanya ke samping kursi miliknya. Dengan menggerakkan kepala, Pak Bagas menyuruhku untuk duduk, dengan terpaksa aku pun menuruti perintah Pak Bagas. Jadi, sekarang aku duduk bersebelahan dengan Pak Bagas.

"Kamu temenin saya sampai jam pulang kantor, di sini," ucap Pak Bagas menatapku, diakhirnya ia tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat.

Ya ampun, jantungku!

***

Aku berdiri di depan pintu utama, menunggu seseorang pastinya. Sebelumnya, Pak Bagas menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Awalnya aku menolak, tapi Pak Bagas tipe orang yang tidak mau dibantah. Jadi, mau tidak mau aku mengiyakan ajakan Pak Bagas. Dan sekarang aku lagi menunggu Pak Bagas yang sedang mengambil mobilnya.

"Lama banget, sih!" gerutuku tidak sabar.

Detik berikutnya, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Bukan, itu bukan mobil Pak Bagas. Namun, ketika pemilik mobil itu keluar, aku terkejut.

"Kamu ngapain ke sini, Andra?" tanyaku kaget.

"Lewat sini, terus sekalian jemput kamu deh," jawab Andra. "Tadi aku ngelewatin restoran, dan kayaknya enak. Sekalian makan juga, ya? Kamu pasti laper, kan?"

"Kamu diam berarti jawabannya Iya," kata Andra lagi, karena tidak mendapat respon apapun dariku.

Menarik tanganku, Andra menyuruhku untuk masuk ke dalam mobilnya. Bahkan dia juga membukakan pintu mobil untukku. Setelah itu, Andra melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang tidak terlalu ramai.

Selama di jalan, aku banyak mengobrol —tentang film-film terbaru, maupun lama— sesekali aku juga tertawa. Hingga akhirnya aku teringat akan sesuatu.

Pak Bagas.

Aku lupa kalau tadi aku lagi nunggu Pak Bagas.

The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang