Bagian 21 ; Bunga Ungu

9.9K 646 20
                                    

Jam masuk kantor sudah Sepuluh menit yang lalu, tapi Pak Bagas belum juga menunjukkan batang hidungnya. Terlambat lagi. Atau jangan-jangan Pak Bagas sakit? Dengan cepat aku mengambil ponsel. Baru saja ingin menekan nomor kontak Pak Bagas, Pak Bagas melenggang melewati meja kerjaku, dan masuk begitu saja ke dalam ruangannya. Tanpa menyapa. Melirik pun tidak.

Apa Pak Bagas marah soal kejadian kemarin?

"Permisi, Pak." aku mengetuk pintu, dan masuk ke dalam ruangannya Pak Bagas. Di keduatangan, aku membawa nampan yang di atasnya ada secangkir minuman cokelat hangat. Sepertinya suasana hati Pak Bagas sedang tidak bagus, jadi aku berinisiatif untuk membuatkan Pak Bagas minuman cokelat.

Setelah menaruh cangkir berwarna putih di atas meja, aku diam beberapa saat. Apa sebaiknya aku menjelaskan tentang kejadian kemarin? Aku merasa tidak enak dengan Pak Bagas. Main pergi begitu saja, tanpa memberitahu Pak Bagas terlebih dahulu. Dan dengan asyiknya kemarin aku malah bersenang-senang dengan Andra, makan dan bercerita panjang lebar.

"Pak, soal kemarin saya minta maaf," cicitku. Pak Bagas diam saja, sibuk dengan komputer yang ada di depannya.

"Pak," panggilku lagi.

"Apa?" sahut Pak Bagas, masih menatap layar komputer.

"Soal kemarin saya minta maaf. Saya main pergi gitu aja, tanpa bilang ke Bapak lebih dulu. Soalnya kemarin itu ... " jedaku.

Duh, alasannya apa, ya? Masa aku bilang kalo kemarin aku pulang bareng Andra dan lupa kalo lagi nungguin Pak Bagas?

" ... Kemarin itu darurat, Pak. Biasa perempuan, jadi saya pulang duluan. Nungguin Bapak kelamaan, keburu bocor ke mana-mana, takutnya," lanjutku bohong. "Tapi Bapak langsung pulang, kan begitu tahu saya enggak ada di depan pintu utama?"

"Iyalah! Ngapain juga saya nungguin kamu? Enggak penting!" katanya dengan ketus.

Oke. Sepertinya Pak Bagas beneran marah.

"Pak, itu di atas meja bunga siapa?" tanyaku tiba-tiba ketika melihat ada buket bunga di atas meja. Mengalihkan pembicaran sebenarnya.

"Hah? Oh, itu tolong dibuang ke tempat sampah, ya, Ren," titah Pak Bagas.

"Kenapa dibuang, Pak? bagus lho itu bunganya," kataku.

"Jangan buat saya marah, Renata. Buang ke tempat sampah! Sudah enggak penting lagi, Paham?!" bentak Pak Bagas. Membuatku sedikit terkejut. Padahal aku tanya baik-baik, tapi kenapa respon Pak Bagas seperti itu?

"Saya Cuma bertanya, Pak, enggak perlu membentak segala," ujarku. "Bunganya akan saya buang, kalo gitu saya permisi," lanjutku. Sebelum keluar dari ruangannya Pak Bagas, aku mengambil bunga tersebut.

"Renata! Itu bunga mau kamu buang?" Dimas tiba-tiba muncul entah dari mana ketika aku membawa bunga dan hendak membuangnya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Itu bunga Pak Bagas, bukan?" tanya Dimas dan aku hanya mengangguk lagi.

Aku membuang bunga berwarna ungu itu ke tempat sampah, lalu meninggalkan Dimas yang tengah mengernyitkan kening bingung. Kenapa itu bocah? 

The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang