"Selamat pagi, Pak."
Aku menyapa Pak Bagas yang baru saja datang. Tampak ada yang aneh dengannya. Tidak biasanya Pak Bagas terlihat berantakan seperti itu. Kancing kemeja teratas dibuka, tidak mengenakan dasi, bahkan rambutnya tidak ditata dengan rapi.
"Permisi, Pak." aku mengetuk ruangan Pak Bagas. Di sana, Pak Bagas rebahan di atas sofa, yang memang ada di ruangannya.
"Bapak kenapa? Enggak biasanya terlihat berantakan seperti ini," kataku jujur agak takut sebenarnya. Takut tiba-tiba disemprot pakai kata-kata pedasnya.
"Enggak apa-apa," jawab Pak Bagas seraya bangkit, lalu duduk. Aku terkejut saat Pak Bagas melihatku. Terlihat jelas bawah mata Pak Bagas berwarna hitam, seperti orang yang tidak tidur semalaman.
"Bapak begadang semeleman, ya? Itu matanya udah kayak panda." Aku bergidik ngeri. Segila kerjanya Pak Bagas, dia pasti menyempatkan tidur, meski Cuma dua jam.
"Jangan kerja mulu, Pak. Di rumah itu waktunya tidur!" kataku menasihati.
"Ini gara-gara kamu!" ujar Pak Bagas menyalahkanku.
"Loh, kok saya sih, Pak? Suruh siapa malem-malem enggak tidur? Bukan saya, kan! Itu salah Bapak sendiri," omelku. Pak Bagas tidak menanggapi, ia malah merebahkan tubuhnya lagi.
"Pak, jangan tidur," kataku seraya menarik lengan Pak Bagas supaya bangun. "Ayo Pak, bangun. Pake dasi dulu! Entar orang-orang kira saya enggak becus jadi sekretaris."
"Berisik, Renata! Saya ngantuk, mau tidur!" bentaknya seraya bangun.
Aku buru-buru memakaikan Pak Bagas dasi. Aku enggak mau jadi omongan satu kantor. Entar orang lain pikir aku enggak mengurus Pak Bagas dengan benar.
"Saya ngantuk banget, Ren. Dua jam ke depan jangan ganggu, saya mau istirahat dulu," titah Pak bagas.
Pak Bagas bergerak untuk rebahan kembali, tapi aku buru-buru menahannya." Jangan, Pak! Satu jam lagi Bapak ada meeting."
Pak Bagas mendengus kesal. "Undur meetingnya sampai Tiga jam ke depan!"
"Enggak bisa, Pak! Meetingnya harus sesuai jadwal," kataku sedikit kesal.
Pak Bagas menggerakkan tangan kirinya ke udara. "Iya iya! Saya merem sebentar, entar kamu bangunin." kemudian Pak Bagas menidurkan tubuhnya, menggerakkan kepala mencari posisi yang nyaman.
Tidak tega aku. Sepertinya mengantuk sekali. Lalu aku kembali ke meja kerja, dan menyiapkan keperluan untuk rapat nanti.
***
Kurang limabelas menit sebelum meeting, aku melangkahkan kaki masuk ke ruangan Pak Bagas.
Di sana, dengan posisi terlentang, Pak Bagas tidur dengan nyenyak. Tidak ada tanda-tanda kalau dia ingin bangun.
Aku segera menghampirinya. "Pak Bagas, bangun, Pak!"
"Bapaaaaak ... Bangun woy, kerja! Pak Bagas!"
Susah bener sih, berasa bangunin bocah mau berangkat sekolah.
Aku mengguncang tubuhnya dengan kencang. "Pak, bangun! Sepeluh menit lagi, nih."
Pak Bagas mulai menggerakkan tubuhnya, tapi masih dengan mata yang tertutup. "Apaan, sih? Ganggu orang lagi tidur!" lalu merubah posisi membelakangi aku.
Ya ampun!
Karena kesal dan tidak sabar, aku menarik paksa Pak Bagas untuk bangun dan terduduk.
"Apaan, sih, Ren?!" bentak Pak Bagas sambil menepis tanganku.
"Lima menit lagi Bapak meeting!" ucapku dengan suara yang tinggi. Saking kesalnya.
Pak Bagas mengerjapkan matanya. Mungkin terkejut?
"Aish, kenapa enggak bangunin saya dari tadi, sih?!"
APA KATANYA?! enggak bangunin dari tadi? Mulutku sampai berbusa cuma buat bangunin dia!
Dasar bos yang enggak mau salah!
"Entar dulu, Pak. Jangan main kabur aja." aku mencegat Pak Bagas yang main jalan begitu saja.
"Emangnya Bapak mau rapat dengan penampilan begini apa?" tanyaku seraya membenarkan letak dasi Pak Bagas. Penampilannya begitu berantakan —Setelah bangun tidur. Kemudian aku menyisir rambutnya dengan jariku. Setelah itu, aku mengambil jasnya yang menggantung rapi di tempat biasanya, lalu memakaikannya ke badan Pak Bagas. Menutupi kemejanya yang sedikit kusut.
"Sudah. Begini, kan rapi," kataku sambil melihat Pak Bagas dari atas sampai bawah.
"Calon istri."
"Hah? Siapa, Pak?"
"Kamu, calon istri saya."
Seenak jidatnya! Anak orang main dicap jadi calon istri!
"Sejak kapan saya jadi calon istri Bapak? Ngelamar secara resmi aja belum."
"Tunggu aja."
Aku berpikir sejenak. Sampai akhirnya aku teringat sesuatu.
"MEETING, PAK!"
***
Satu jam sebelum jam kantor selesai, aku dipanggil Pak Bagas untuk ke ruangannya.
"Kenapa, Pak?" tanyaku saat menghadap Pak Bagas.
"Setelah pulang kamu ikut saya."
"Ke mana, Pak?"
"Apartemen." jawaban Pak Bagas membuat ku membulatkan mata.
Maksudnya apaan?!
"Ngapain, Pak?" aku berusaha tenang.
"Tidur."
Mataku mengerjap beberapa kali, dan otakku berusaha menangkap pembicaraan yang dimaksud. Tapi aku malah berpikir yang macam-macam.
"Enggak usah mikir yang aneh-aneh." Pak Bagas membuyarkan pikiran kotor yang sempat terlintas begitu saja di otakku. Sejak kapan kamu jadi mesum, Renata? Ya ampun!
"Kamu harus tanggung jawab. Karena kamu, semalam saya enggak bisa tidur," lanjutnya.
"Kok saya sih, Pak?" aku tidak terima. Enak saja dia, main menyalahkan orang lain!
"Iyalah! Gara-gara kamu ngajak nonton film horor, hantunya masih terngiang di otak saya sampai saat ini!"
"Ya jangan diingat-ingat atuh, Pak. Lupain aja. Itu, kan cuma film," kataku.
"Pokoknya kamu harus ke apartemen saya dan nemenin saya tidur!" Pak Bagas dan perintahnya yang tidak bisa dibantah.
"Udah gede tapi takut hantu," cibirku dengan suara yang sangat kecil.
"Saya denger lho, Renata."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...