Menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang sambil mendekap boneka lumba-lumba, aku masih memikirkan kejadian beberapa saat lalu.
"Kamu mau jadi pacar saya?"
Gila, gila! Maksud Pak Bagas apa coba? Ngajak aku pacaran? Otak Pak Bagas ketinggalan di kantor apa?!
Aku enggak habis pikir sama Pak Bagas. Enggak ada angin, enggak ada hujan, enggak ada badai, lalu dengan tiba-tibanya bilang hal tidak terduga seperti itu? Memangnya Pak Bagas enggak inget umur apa? Seharusnya Pak Bagas itu mengajak seorang perempuan untuk menikah, bukan pacaran. Dan, Pastinya bukan aku!
Pak Bagas mabuk atau apa sih?! Ngomongnya ngelantur gitu?
Tapi, aku enggak salah dengar, kan?
"Kamu mau jadi pacar saya?"
"Arrgh! Pak Bagassssss, kenapa tiba-tiba, sih?!" aku teriak enggak jelas sembari mengacak rambut. Pernyataan cinta tidak terduga itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Sepertinya malam ini aku enggak bisa tidur.
***
Pagi harinya.
Kantung mata terlihat sangat jelas. Ya, semalaman aku enggak bisa tidur dengan nyenyaknya. Ini semua gara-gara Pak Bagas!
"Kamu mau jadi pacar saya?"
"Bodo amat!" Aku menyentak selimut, lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan menutup pintu cukup kencang. Oke, lupakan saja kejadian kemarin malam.
Setelah beberapa menit dihabiskan untuk membersihkan tubuh, kemudian aku memilih blus berwarna putih berlengan panjang yang dipadukan dengan rok span di bawah lutut. Rambut digerai begitu saja.
Suapan terakhir nasi goreng masuk ke dalam mulutku. Menenggak segelas air putih hingga tandas, kemudian mengambil tas selempang berwarna merah. Stiletto 5 cm berwarna hitam menjadi pilihanku.
Lupakan kejadian kemarin, anggap saja angin lalu. Aku terus mengulang kalimat itu di kepala. Baru beberapa langkah keluar dari rumah, aku dibuat terkejut dengan kedatangan seseorang. Di sana, seorang pria dengan setelan jas berdiri sembari bersandar pada mobil. Dengan malas aku menghampiri pria tersebut.
"Kenapa bapak dateng ke sini?" aku bertanya ketika sudah berdiri di hadapan Pak Bagas. Ya, benar, pria itu adalah Pak Bagas.
"Mau jemput kamu." Kalimat itu meluncur dengan bebasnya dari mulut Pak Bagas. Dan, Pak Bagas terlihat biasa saja? Seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Atau memang kemarin itu hanya mimpi? Tapi, kalau Cuma sekadar mimpi, itu terasa nyata.
Bisa gila aku! jelas-jelas Pak Bagas bilang "Kamu mau jadi pacar saya?"
Atau, kemarin aku Cuma halusinasi gara-gara kekenyangan? kemarin malam aku emang makan banyak.
Au ah gelap, lupakan! Toh, Pak Bagas juga terlihat seperti biasanya. Jadi, aku juga bersikap seperti biasanya saja. Seakan-akan hal kemarin itu tidak pernah ada.
***
Tapi, kalau kemarin itu Cuma mimpi, kenapa nyata banget? Ya kali aku halu? Jelas-jelas di dalam mobil Pak Bagas bilang kayak gitu. Telingaku juga masih normal kok, jadi aku enggak mungkin salah denger, kan?
"Renata!"
Aku tersentak kaget ketika seseorang membentak namaku. Begitu tahu siapa pelaku yang membuatku tersadar dari lamunan, aku pun buru-buru bangkit dari duduk.
"Bapak butuh sesuatu?"
"Laporan yang saya suruh mana? Udah selesai?"
Mampus aku! Gara-gara memikirkan hal tidak penting, membuatku lupa akan pekerjaan.
"Mmm, bentar lagi selesai, Pak," jawabku takut-takut. Pak Bagas menghela napas lelah. "Kamu itu kenapa sih, Ren? saya perhatikan dari pagi ngelamun mulu. Ada masalah?"
Masalah aku itu, ya, kamu, Pak Bagas!
Aku menggeleng. "Enggak ada masalah apa-apa kok, Pak."
"Kalau gitu cepat selesaikan laporannya! Dan taruh di meja saya, mengerti?!" sentak Pak Bagas membuatku sedikit kaget.
Baiklah Renata, lupakan kejadian semalam, dan mulailah bekerja. Nanti yang ada kena marah lagi sama Pak Bagas. Aku pun melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai.
***
"Sendirian aja."
Tiba-tiba seorang pria dengan kemeja berwarna biru muda duduk begitu saja di hadapanku. Saat ini sedang makan siang. Dan sedari tadi makananku tidak kunjung habis karena hanya diaduk-aduk. Entahlah, aku tidak nafsu makan.
"Kamu kenapa, sih? Ada masalah? Dari pagi kena omel Pak Bagas mulu lagi," tanya pria dengan kartu identitas dilehernya, Dimas. Dia, Dimas, teman kerjaku.
Aku hanya menggeleng lemah sebagai jawaban. Tiba-tiba, Dimas mengulurkan tengannya dan menyentuh keningku. Beberapa detik kemudian, aku segera menepis tangan Dimas. "Ngapain, sih?"
"Enggak panas, kok," kata Dimas. Kemudian, pria dengan julukan tukang gosip itu mulai memakan menu makan siangnya. Melihat Dimas, membuat aku sedikit demi sedikit mulai memasukkan nasi ke dalam mulut.
"Kalo kamu ada masalah, jangan dipendem sendirian." Dimas memecah keheningan setelah sekian menit.
Kalo aku cerita ke kamu, yang ada satu kantor pada tahu.
"Oh, ya, Ren—"
"Aku lagi enggak mau ngegosip," ujarku memotong ucapan Dimas.
"Bukan ngegosip elah! emangnya aku tukang gosip apa?" tanya Dimas.
Dih, enggak sadar dia. "Kamu, kan emang tukang gosip."
"Tapi, kamu suka ikut-ikutan, kan?" tanya Dimas dengan wajah meledek. Aku pun hanya cengengesan. "Tadi Pak Bagas pesen ke aku, setelah pulang kantor kamu disuruh temuin Pak Bagas di ruangannya," lanjut Dimas.
"Ngapain?" tanyaku. Dimas hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban kalau dia juga tidak tahu.
Ada perlu apa Pak Bagas manggil aku ke ruangannya? Dan kenapa setelah jam kantor selesai? Kenapa enggak sekarang aja? Dan kenapa pula bilang ke Dimas? Kenapa enggak ngomong langsung ke aku? Kenapa?
Kebanyakan pertanyaan deh!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...