Ting!
Lift sudah mencapai lantai dasar. Begitu terbuka, aku melangkahkan kaki keluar. Mataku mengedar ke sekeliling, mencari seseorang yang menungguku. Di sana, berdiri seorang pria berpostur tegap, dan bertubuh tinggi dengan kaos hitam polos yang melekat ditubuhnya, ditambah sebuah jaket berwarna abu-abu yang terlilit dipinggangnya. Di lihat dari belakangnya saja aku tahu kalau itu Pak Bagas.
"Pak," panggilku. Yang dipanggil menoleh.
"Astaga!" aku terkejut ketika Pak Bagas benar-benar menghadap ke arahku. Mukanya serem banget. Tatapan matanya pun tajam.
"Bapak ngapain ngeliatin saya kayak gitu, sih? Bikin jantungan tahu!"
"Kamu lama banget!" gerutunya. Dan berjalan lebih dulu. Aku pun mengikutinya di belakang. Bagaimana pun aku hanya bawahannya, dan Pak Bagas adalah atasanku. Jadi, rasanya kurang pantas saja kalau jalan bersebelahan. "Jangan jalan di belakang."
"Apa?" tanyaku. Tiba-tiba Pak Bagas menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang.
"Jalan di samping saya. Beriringan," ucapnya. Lalu, berjalan kembali, meningggalkan aku yang masih terpaku. Segera tersadar, aku pun sedikit berlari untuk menyamakan langkah Pak Bagas. Dan berjalan di sampingnya.
***
Suara deburan ombak menyapa telinga ku. Sangat menenangkan, pikirku. Ya, benar, Pak Bagas membawaku jalan-jalan ke pantai. Jujur, sebelumnya aku belum pernah ke pantai saat malam hari. Dan, ini pertama kalinya. Bersama seseorang yang begitu menyebalkan. Pak Bagas.
Semilir angin malam menyentuh permukaan kulitku. Dingin. Kalau tahu ternyata Pak Bagas mengajak ke pantai, aku enggak akan pakai baju berlengan pendek.
Kedua sudut bibirku terangkat membentuk senyuman ketika mataku menangkap hamparan bintang di atas sana. Sangat indah. Hal semacam ini sangat jarang aku lihat di Ibukota, palingan hanya Dua atau Tiga bintang yang tampak.
Wuussh!
Hembusan angin membuatku memeluk tubuh sendiri. Semakin dingin, pikirku. Bahkan aku sudah mencoba menggesekkan kedua telapak tangan, berharap bisa mengurangi rasa dingin. Tapi, tidak pengaruh juga.
"Dingin?" tanya Pak Bagas yang sedari tadi hanya diam saja. Aku mengangguk sebagai jawaban. Pikiranku melayang ke mana-mana. Seperti di film romantis, jika wanitanya merasa dingin, lalu dengan sigap prianya akan memberi jaket ke wanitanya tersebut.
Aku bisa lihat Pak Bagas bergerak untuk melepas ikatan jaketnya yang berada di pinggangnya. "Eh, enggak us—" aku tidak bisa melanjutkan ucapanku karena Pak Bagas. Sebab apa? Dihadapanku, Pak Bagas memakaikan jaket miliknya itu ke tubuh dia sendiri. Iya, ke badan dia sendiri, bukan ke aku.
"Untung saya bawa jaket."
BODO AMAT!
AKU KIRA BAPAK MAU PAKEIN JAKET ITU KE AKU!
Oke, lupakan saja imajinasiku yang tentang 'Pria memberi jaket ke wanitanya' karena kenyataannya tidak ada seorang pria yang mau memberikan jaketnya begitu saja ke orang lain. Sekalipun orang yang dikenalnya. Contohnya, ya, Pak Bagas.
Hal-hal romantis seperti itu hanya ada di film-film.
Memang, realita tidak semanis drama Korea.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...