Bali, salah satu provinsi di Indonesia. Merupakan tempat pariwisata yang sudah dikenal dunia. Menariknya dari Bali itu, memiliki kesenian dan budayanya yang unik, dan juga banyak pantai indah yang menjadi pilihan orang untuk melepas penat. Salah satu orang itu adalah, aku. Bukan, aku dateng ke Bali bukan untuk berlibur, melainkan bekerja. Huft.
Aku merebahkan tubuh di atas kasur begitu masuk ke dalam kamar hotel. Menoleh ke arah kanan, dan mendapati jendela besar yang langsung menyungguhkan suasana pantai. Walaupun aku datang ke Bali untuk mencari uang, tapi nikmatin saja.
Oke, lama-lama aku jadi mengantuk. Merem bentar boleh kali. Belum sampai lima menit aku memejamkan mata, suara dering ponselku berbunyi.
Aku berdecak. "Siapa, sih?"
Terpampang di layar ponsel nama Pak Bagas. Lalu, aku menggeser panel hijau.
"Iya, Pak?"
"Jam Satu siang saya tunggu di restoran deket pantai."
Tuut!
Aku menatap layar ponsel dengan tampang tidak percaya. Kebiasaan! Selalu seperti itu. Dengan seenak jidatnya Pak Bagas menutup telepon sebelah pihak.
Ingin ku berkata kasar, tapi sabar Renata, sabar ...
Orang sabar disayang sama mantan. Eh? Kok jadi mantan, sih? Udah lupain aja. Jangan diinget-inget, entar kalo baper susah ngilanginnya.
***
Sesuai apa yang dibilang Pak Bagas, aku sudah berada di restoran dekat pantai. Sepertinya Pak Bagas belum datang. Segera, aku duduk di salah satu meja yang masih kosong. Menunggu Pak Bagas.
Tumben, biasanya tuh orang selalu tepat waktu.
Setelah menunggu kurang lebih Tiga menit, Pak Bagas akhirnya muncul juga. Dengan tangannya yang membawa laptop, sekaligus beberapa map.
Kerja lembur bagai kuda, sampai lupa ... lah? Kenapa aku jadi nyanyi.
Pak Bagas menarik kursi, lalu duduk berhadapan denganku. Aroma parfum yang maskulin tercium diindra penciumanku.
"Belum pesen?" tanya Pak Bagas. Aku menggeleng, kemudian Pak Bagas memanggil salah satu pramusaji. Dan memesan beberapa makanan.
Aku menghabiskan waktu dengan Pak Bagas sampai sore hari. Membicarakan bahan-bahan presentasi untuk besok. Proyek kali ini cukup besar, maka dari itu Pak Bagas dan aku harus menyiapkannya dengan benar-benar.
***
Malam ini, malam terakhir di Bali. Dan besok sudah harus kembali lagi ke Ibukota. Berhadapan dengan setumpuk pekerjaan. Padahal aku masih sangat betah di sini. Aku habiskan malam akhir di Bali hanya tiduran di atas kasur. Lagipula aku lagi males untuk keluar. Mendingan aku berselancar saja di Media Sosial.
Krringggg!
Lagi seru-serunya stalking Instagram cowok ganteng, seseorang meneleponku. Dan, pasti kalian tahu lah siapa yang telepon. Yup, Pak Bagas. Dengan segera aku menggeser panel hijau.
"Iya, Pak, kenapa?"
"Kamu udah tidur?"
Udah, dan lo ganggu! "Belum, Pak. kenapa, ya?"
"Temenin saya keluar."
Males! Keluar sendiri aja sana! "Baik, Pak."
"Saya tunggu di luar, ya."
"Iya, Pak."
Tuut! Sambungan telepon terputus.
"Pak Bagas mau ngajakin aku ke mana, ya?" aku berbicara sendiri.
Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan Pak Bagas akan mengajakku ke mana. Atau malahan membahas pekerjaan? Ah, tapi sepertinya bukan soal kerjaan. Lagipula sudah tidak ada yang perlu dibahas.
Beberapa menit aku habiskan untuk melamun yang tidak penting, dan tiba-tiba ...
Ting! Ponselku berdenting sebanyak Tiga kali. Ada pesan baru masuk.
Pak Bagas Galak.
RENATA!
CEPET!
LAMA BANGET SIH!
Seketika aku pengin banget nyakar mukanya si pengirim pesan singkat itu.
"Dasar enggak sabaran! Tukang perintah! Arrghh!" Teriakku. Semoga saja kamar hotel ini kedap suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss and I
General FictionBagas Aditama, pria dewasa yang sudah menginjak usia lebih dari Tiga puluh tahun. Diumurnya yang sudah kelewat matang ia belum menikah. Tepatnya, Bagas terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Bunda nya selalu cerewet dengan perta...