Bagian 12 ; Minta Tolong

13.2K 648 4
                                    

Sesuai perintah Pak Bagas, setelah selesai jam kerja, aku enggak langsung pulang. Melainkan menghadap diri ke Pak Bagas. Aku juga enggak tahu kenapa Pak Bagas memanggilku ke ruangannya. Kalau masalah pekerjaan, sepertinya aku sudah menyelesaikan laporan yang dia suruh.

Tok! Tok! Tok!

Setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali, terdengar dari dalam kalau Pak Bagas mempersilahkan aku masuk ke dalam ruangannya. Di sana, Pak Bagas duduk di kursi kebesarannya. Alisnya berkerut ketika sedang meneliti laporan yang sedang dia lihat.

Aku berjalan mendekat ke meja berwarna hitam itu. "Kata Dimas, saya disuruh untuk nemuin bapak," ujarku ketika sudah tiba di hadapan Pak Bagas.

Pak Bagas menutup map yang sedang ia pegang, kemudian bangkit dari duduknya. Berjalan ke jendela besar yang memperlihatkan kota pada sore hari. Aku yang bingung, hanya tetap berdiri di tempat.

"Rena ... " panggil Pak Bagas masih melihat ke luar jendela. "Iya, Pak?" sahutku yang hanya menatap punggung Pak Bagas.

"Soal kemarin, sepertinya kamu salah paham," ucap Pak Bagas sembari membalikkan tubuhnya ke arahku. Keningku berkerut, bingung.

Salah paham?

"Saya tahu kamu bingung, tapi saya harus meluruskannya. Ini soal pernyataan saya kemarin malam," kata Pak Bagas sembari perlahan melangkah maju. Aku masih terpaku di tempat.

"Meluruskannya gimana, ya, Pak? Jangan berbelit-belit, langsung keintinya aja," ujarku.

Pak Bagas menghela napas. "Soal kemarin bukan gitu maksudnya, tapi ... " Pak Bagas menggantungkan ucapannya. Dia menggaruk kepalanya. Sepertinya Pak Bagas belum keramas, makanya kepalanya gatal. Lah? Ngapain aku ngurusin Pak Bagas sudah shampoan atau belum. Lupakan, enggak penting!

Eh, tunggu, maksud Pak Bagas soal kemarin itu yang tentang Pak Bagas nembak aku? Berarti kemarin itu bukan mimpi dong? Jadi memang benar Pak Bagas pengin aku jadi pacarnya?! Ya ampun! Bukan halu ternyata.

"Maksud bapak tentang pernyataan cinta kemarin? Yang bapak pengin saya jadi pacar Pak Bagas? tentang itu, kan?" tanyaku.

"Iya, tentang itu, tapi bukan jadi pacar. Tapi, jadi—"

"JADI ISTRI?!" aku memotong ucapan Pak Bagas. Aku terkejut. Kalau bukan jadi pacar, terus jadi apa?

"Bukan itu juga, Renata. Tolong, dengerin saya dulu, saya butuh keberanian buat ngomong ini," ucap Pak Bagas cepat.

Ini benar-benar membingungkan! Terlalu terbelit-belit.

"Iya, emang benar saya pengin kamu itu jadi pacar saya tapi, bukan dalam arti sesungguhnya seperti pasangan di luar sana, bukan seperti itu," jelas Pak Bagas. Ia berjalan ke arah sofa yang berada di ruangan ini.

"Kamu duduk sini," ucap Pak Bagas setelah duduk, menepuk sofa kosong di sebelahnya, dan menyuruhku untuk duduk di sana. Mau tidak mau aku pun menuruti perintah Pak Bagas.

Jujur, jantungku berdetak Dua kali lebih cepat.

"Gini, Rena. Maksudnya bukan dalam arti sesungguhnya itu, saya minta tolong ke kamu untuk jadi ... " Pak Bagas menggantungkan kalimatnya. " ... Pacar pura-pura."

Hah? Gimana?

Mataku mengerjap beberapa kali. Melongo mendengar ucapan Pak Bagas. Aku enggak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini benar-benar mengejutkan! Jadi pacar pura-pura?

Kalau kalian di posisiku, apa yang harus dilakukan?

"Kenapa Bapak minta tolong ke saya?" tanyaku. Pak Bagas menghela napas, dan berkata, "Karena kamu sekretaris saya."

Alasan macam apa itu?

"Ralat, saya bukan minta tolong, tapi ini perintah!" kata Pak Bagas cepat. Setelahnya, Pak Bagas menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat jelas kalau Pak Bagas tidak mau ada penolakan.

APA KATANYA?

PERINTAH?!

Kalau Pak Bagas sudah bilang "Ini perintah" aku yang notabennya adalah sekretarisnya tidak bisa menolak. Jika aku menolak perintahnya, itu berarti aku rela kehilangan pekerjaan. Dan, aku enggak mau jadi pengangguran. Kalau begitu, dengan terpaksa aku harus memenuhi perintah Pak Bagas.

Catat!

TERPAKSA!

***

Aku membanting tubuh ke atas kasur dengan kasar. Hari ini Pak Bagas mengantarku pulang. Dan juga hari ini, tepatnya malam ini, aku resmi jadi pacarnya Pak Bagas. Bukan, lebih tepatnya pacar pura-pura.

Pak Bagas sedikit bercerita ke aku kenapa dia harus melakukan hal konyol seperti ini. Katanya, Pak Bagas selalu diteror oleh ibundanya dengan pertanyaan "Kapan nikah?" karena sudah bingung banget gimana caranya supaya ibundanya diam dan tidak terus memaksanya, ide "Pacar bohongan" muncul begitu saja.

Memang, sih, yang aku tahu, selama aku kerja bersama Pak Bagas, aku belum pernah mendengar isu tentang Pak Bagas pacaran atau dekat dengan perempuan manapun. Ganteng-ganteng tapi jomblo.

Pak Bagas juga bilang kalau dia dikasih tenggang waktu oleh ibundanya, kalau sampai hari Minggu nanti Pak Bagas tidak membawa pacarnya, maka dengan senang hati ibundanya akan menjodohkan anak semata wayangnya itu. Heran aku, di jaman serba canggih ini masih ada yang namanya perjodohan.

Maka dari itu, hari Minggu nanti aku akan diperkenalkan dengan ibunda Pak Bagas. Dulu aku pernah bertemu dengan Nyonya Aditama, tapi itu pun hanya sekali saja, dan diperkenalkan sebagai sekretaris dari anaknya, Bagas Aditama.

Sedangkan hari Minggu nanti, aku akan diperkenalkan kembali tapi, sebagai pacarnya Pak Bagas.

Menyebut diri sendiri dengan sebutan "Pacarnya Bagas" membuat sekujur tubuhku merinding.

Mimpi apa aku semalam bisa terjebak di dalam masalah Pak Bagas.

The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang