Bagian 7 ; Hal Yang Bodoh

14K 770 10
                                    

Aku mendesah pasrah. Siap aku kalau kena marah sama Pak Bagas. Lagipula ini memang salahku, masuk ke kamar orang sembarangan. Kalau berani berbuat, berarti harus berani bertanggung jawab.

Dengan takut-takut aku memutar tubuh, menghadap ke arah Pak Bagas. Di sana, Pak Bagas berdiri dengan kedua tangannya yang ia lipat di depan dada. Dan tampangnya yang menunjukkan kalau dia sedang marah.

Serem...

Aku bisa lihat Pak Bagas melangkah maju ke arahku. Dan itu membuat ku keringat dingin. Otak ku enggak bisa diajak berkompromi. Berpikir, Rena! Alasan apa yang terdengar masuk akal.

"Ehm anu, Pak." Aku gelagapan sendiri.

"Anu apa?"

Aku perlahan mundur teratur, karena Pak Bagas terus melangkah maju. "Sa—saya salah masuk ruangan, Pak."

Pak Bagas menghentikan langkahnya, membuatku bisa bernapas lega. Setidaknya untuk beberapa saat.

"Jadi maksud kamu kamar saya terlihat seperti toilet?"

Dengan cepat aku berkata, "Bukan itu maksudnya. Saya kira—" aku tidak tahu mau memberi alasan apa.

Seseorang, tolong aku!

Pak Bagas melangkah maju lagi. Aku menelan saliva dengan susah payahnya. Jangan lupakan posisiku yang lagi di balkon dengan ketinggian yang membuat merinding. Beberapa kali aku menoleh ke belakang. Posisiku semakin sempit. Dan ...

Dug! Punggungku terbentur pagar pembatas yang mengelilingi balkon.

Pak Bagas menyeringai. Astaga, Renata, kamu sudah melakukan kesalahan besar!

"Ba—bapak mau ngapain?" tanya ku dengan susah payah. Pak Bagas tidak menjawab, dia malah mengurung ku dengan kedua lengannya, membuat aku tidak bisa ke mana-mana.

Deket banget mukanya woy!

"Saya tanya, kamu kenapa masuk kamar saya?" pertanyaan yang sama meluncur dari bibir Pak Bagas.

Kan tadi udah aku bilang. "Saya salah masuk!"

Pak Bagas berdecak. "Kan kamu sebelumnya pernah ke apartemen saya. Masa lupa arah toilet?"

Iya, sih. Aku sebelumnya pernah ke apartemen Pak Bagas, dan aku juga sudah tahu letak toilet itu di mana. Namun, gara-gara rasa penasaran ku yang amat sangat tinggi, membuat aku terjebak di sini. Di dalam kungkungan Pak Bagas. Berasa masuk kandang singa.

"Ya—ya, kan udah lama, Pak. saya lupa lah," sanggahku.

"Masa, iya?" tanya Pak Bagas. Tiba-tiba Pak Bagas memajukan wajahnya, membuat aku sedikit memundurkan kepala, pun juga menahan napas. "Sekarang ini kamu lagi di kamar seorang pria dewasa lho, emangnya enggak takut?"

Glek!

Ini orang mau ngapain?!!

Jantungku sudah seperti orang yang habis lari maraton. Asli, kenceng banget!

"Udah malem, Pak. Be—besok, kan harus ke bandara. Sa—saya mau pulang." Setelah berucap seperti itu, aku mengumpulkan keberanian dan juga tenaga. Menghitung dari dalam hati, dan tepat saat hitungan Ketiga, aku mendorong tubuh Pak Bagas dengan keras. Dan, berhasil! Akhirnya aku terbebas dari kungkungan Pak Bagas.

Aku mengucap maaf karena sudah berani mendorong Pak Bagas yang notabennya adalah bos ku. Setelah itu, aku segera keluar dari kamarnya. Mengambil tas selempang, dan buru-buru keluar dari apartemen Pak Bagas.

Perlahan, aku bisa bernapas dengan baik, dan juga jantungku yang mulai berdetak dengan normal.


The Boss and ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang